47. Hatinya

319 37 8
                                    

“Apa kamu menginginkan akhir yang seperti ini.”

Dila tak bisa berkata apapun ketika menatap kedua bola mata lawan bicaranya memerah. Air mata jatuh secara perlahan dan pasti, semakin lama semakin banyak dan itu sangat menyakitkan. Namun ia bertahan untuk melawan segala perasaan melankolis yang akan melemahkan semua fakta yang akan ia bicarakan pada orang di hadapannya.

Yang tak lain dan tak bukan merupakan ibu Rivan.

Mereka duduk di posisi yang cukup privat di dalam sebuah cafe. Jika saja mereka berbincang di tempat yang lebih terbuka, Dila yakin ia akan menarik begitu banyak perhatian. Ia harus segera menyelesaikan masalah yang sudah ia buat secepat mungkin. Tak ingin membawa sebuah dosa besar yang sebenarnya tak terampuni ini ke negeri sakura.

“Bisakah kau tetap tinggal di Indonesia. Apa yang kamu inginkan nak? Rivan bisa memberikannya.” Ujar wanita paruh baya itu terburu-buru sementara Dila memilih untuk bergeming.

“Tapi, kau bisa tetap bersama Rivan kan? Walaupun kau ke Jepang.”

“Aku tidak akan tinggal di Indonesia, Tante.” Mata itu menyiratkan rasa tak percaya.

Beberapa saat yang lalu, gadis di hadapannya masih memanggilnya ‘Mama’. Namun kali ini dengan nada yang paling menyakitkan, ia harus mendengar gadis yang sudah ia anggap sebagai anak sendiri memanggilnya dengan sebutan ‘Tante’.

“A-apa?”

“Sejak awal aku hanya akan tinggal di Indonesia selama 2 tahun. Setelah itu akan kembali dan menetap di Jepang.”

“Me-mengapa?”

“Aku tak bisa mengatakan apapun. Tapi maaf aku tak seharusnya datang ke kehidupan Rivan.” Dila menundukkan kepalanya, meminta maaf yang setulus-tulusnya.

Dila menyumpahi dirinya karena membuat ibu Rivan menangis. Ia benar-benar merasa nista dan kehilangan arah ketika melihat sosok keibuan itu menangis tersendu dihadapannya. Namun tak ada ekspresi menjijikan yang ibu Rivan tunjukkan padanya. Ia tahu betul bahwa wanita itu tak rela anak laki-lakinya ditinggalkan oleh seseorang yang disebut-sebut sebagai ‘calon istri’ nya.

Siapa yang mau bernasib buruk seperti itu?

Dila mematung tak bergerak sedikitpun ketika wanita itu mengangkat wajahnya. Membalas pandangan bersalah dari Dila yang kini tetap menyumpahi dirinya sendiri. Lalu senyuman yang dibuat-buat itu muncul di wajah wanita yang bahkan masih terlihat cantik.

“Kau begitu mirip seperti saudari kembarku.” Ada jeda tak nyaman di sana. Dila bahkan menahan napasnya.

“Datanglah ke rumah Mama 2 minggu lagi. Sebelum kau pergi ke Jepang, tolong ajarkan Mama beberapa resep makanan. Laura dan Salsabila pasti akan dengan senang membantu.”

Akhirnya dengan menghapus semua jejak air mata di wajahnya, wanita itu tersenyum lebih tulus dan nyaman. Lalu melenggang pergi meninggalkan Dila yang kini akhirnya bisa bernapas lega.

Dila tahu bahwa ibu Rivan pasti akan menangis habis-habisan di rumahnya.

***


Sungguh tak terduga. Rasanya seluruh kekuatan dan kendalinya ambruk ketika mengetahui semuanya terjadi dengan cepat dan ganas. Jika saja ia tahu bahwa akan jadi seperti ini, ia tak akan repot-repot datang ke rumah ayahnya hari itu juga. Lebih baik menenangkan pikirannya terlebih dahulu sebelum menghadapi raja.

“Sekali lagi, Ayah ingin mendengar omong kosong apa ini!”

Dengan begitu, dilemparkannnya surat pemindahan Dila ke Jepang. Nafas yang memburu itu seakan mengejar-ngejar batin Dila yang sedang goyah. Namun usahanya untuk tetap berkutat pada ekspresi poker face nya tetap bisa dikendalikan. Walaupun Ayahnya kini benar-benar mengaum dan mengeluarkan aura yang dulu pernah pria itu keluarkan ketika detik-detik terakhir Dila pergi ke Jepang.

Love? Trust? Work? or Hobbies? [Dalam Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang