23. Kebersamaan

835 57 1
                                    

Di depan cermin ia terdiam. Menatap setiap sisi bagian dari wajahnya yang berwarna kuning langsat itu. Ia sadar bahwa penampilannya saat ini jauh berbeda dari penampilannya saat SMA. Mungkin karena ia sempat berada di Jepang dan segala macam musimnya itu mempengaruhi keadaan kulitnya. Tapi untuk urusan make up, sejak SMA ia tak menyukai penggunaan make up yang berujung hanya menggunakan apa yang umum digunakan oleh wanita. Tak jauh hanya foundation, bedak, lalu mungkin lipstick yang terlampau tipis, lalu eye liner jika ia tak malas untuk berlama-lama di hadapan cermin. 

Lalu ia menghela napas panjang. Ibu Rivan dan antek-anteknya sedang berada di ruang tengah. Terlihat asyik mengobrol mengenai Fairuz dan Askar. Ia bingung harus berhadapan dengan Ibu Rivan di kondisi seperti ini.

“Maaf, apa kalian menunggu lama?”

Dila keluar dengan pakaian yang lebih enjoy namun terlihat rapi. Atasan panjang berwarna abu yang di bagian lengannya ia lipat hingga ke siku.

“Waw, kau mandi cukup cepat.”

Laura terkekeh menanggapi perkataan yang terlontar dari mulut Ibu Rivan.

“Bagaimana jika aku adakan trip singkat mengelilingi rumah ini?”

Salsabila berdiri tegap dengan langkah lebar mendekati Dila dan memeluknya erat. Menunjukkan bahwa ia setuju untuk melihat-lihat isi rumah Dila. Laura berdiri dan bersiap untuk mengikuti trip kecil-kecilan itu.

“Jadi, apa kamu tinggal sendiri di rumah ini?” Laura bertanya di belakang Dila.

Mereka berjalan menuju kamar utama di mana Dila menghabiskan malam-malam yang terkadang damai tapi akhir-akhir ini tak nyaman itu. Dila membuka pintu selebar mungkin agar mereka masuk dan melihat sekilas keberadaan kamar itu.

“Ya begitulah.”

Dila menjelaskan bahwa ia memang menyukai view tanaman yang menenangkan. Ia menyukai halaman yang luas dan warna-warna alami yang menyejukkan mata. Karena bisa diketahui bahwa Dila selalu bekerja di hadapan monitor, lalu ia sering menghabiskan waktu untuk membuat lembar demi lembar komik. Yang tentunya itu semua memerlukan ketajaman mata. Meskipun pada kenyataannya mata itu sudah sedikit cacat karena terkadang jika ia harus menghapus sebuah garis sketsa yang terlampau tipis, ia harus menggunakan kacamata untuk mempertajam pengelihatannya.

Well, mata tajam menusuk itu tidak terlalu rusak. Masih dalam kondisi yang bugar.

Lalu mereka berjalan ke arah kamar tamu. Dila sendiri mendesain kamar tamu agar sefleksibel mungkin. Warna-warna yang netral namun tetap dalam lingkup yang alami dan liar. Tetapi jika diteliti lebih dalam, kamar tamu ini seakan menjadi kamar pribadi karena kebanyakan properti dan hiasan memiliki ciri-ciri dari barang-barang favorit milik Lina ataupun Yuni. Bagaimanapun merekalah yang sering menempati ruangan itu. Dila tak terlalu memusingkan hal sepele macam itu.

Salsabila lalu menunjuk sebuah ruangan di samping kiri lorong masuk utama. Karena memang 3 ruangan berada di sebelah kiri dan 1 ruangan di sebelah kanan dekat dengan dapur. Dila mengangguk, menyetujui hal itu dan membiarkan mereka untuk melihat ruangan yang satu itu.

“Ini ruang kerja ku. Meskipun secara teknis aku tak pernah membawa pekerjaan kantor ke rumah, tapi bisa dibilang jika ini adalah ruangan hobi ku.”

Dila membuka pintu itu perlahan dan mereka benar-benar terlihat tak sabar untuk melihat isi ruangan itu. Dila hanya terkekeh dan membukanya sesegera mungkin.

Mata mereka berbinar.

Ruangan itu berwarna biru, dengan udara yang cukup sejuk. Ada beberapa pot tanaman kecil yang memang sengaja di simpan dibeberapa titik untuk membuat ruangan itu lebih nyaman. Dari pintu masuk yang langsung mereka lihat adalah meja yang cukup luas dan rak-rak yang berisikan begitu banyak alat tulis dan gambar. Kertas-kertas khusus tertata rapi di rak bagian atas.

Love? Trust? Work? or Hobbies? [Dalam Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang