83. Caroline

199 19 6
                                    

Ia sadar betul jika di luar sana, dimana angin bertiup secara perlahan beserta gerakan flamboyan dedaunan di setiap tangkai pohon, cuaca sangatlah dingin dan senyap. Di balik kaca tebal, ia hanya bisa memandangi pantulan dirinya yang berdiri mematung sejak beberapa jam yang lalu. Bukan mengenai mimpi buruk namun ini mengenai tubuh yang tidak bisa diistirahatkan. Pikirannya mengacau tatkala ia mencoba untuk sedikitnya memejamkan mata, menetralisir perasaan campur aduk yang kini mendera alam bawah sadarnya. 

Cahaya langit yang redup namun ada kilasan-kilasan suasana cerah bisa membuktikan bahwa hari akan segera dimulai. Napasnya terasa berat sementara dirinya memang tak berniat untuk beranjak dari tempat tersebut. 

Sepagi buta ini ia bisa mendengar deruan mesin mobil di depan pagar rumah. Ia juga bisa secara jelas mendengar derapan santai dari kaki seorang pria. Lalu gerakan pintu yang berbunyi kasar mencampuri pemikirannya yang sudah kelam. Siapa lagi jika bukan orang itu.

"Dila, apa kau sudah bersiap-siap? Kita akan segera pergi ke tempa-" 

"Caroline."

Tanpa melihat pun ia sudah bisa merasakan sebuah keragu-raguan yang dipancarkan oleh Fadli. Gerakannya menjadi tak luwes dengan bahu yang menegang. Ia mengalihkan perhatiannya pada pria yang saat ini memandangnya dalam. Seakan menusuk dan mencoba masuk kedalam kesadaran Dila. Ia kemudian mengembuskan napas panjang sebelum melangkah ke tengah ruangan sembari menunjuk tas di sofa.

"Done."

Ia membalas tatapan Fadli, merasakan bahwa pandangan yang ia lemparkan itu penuh dengan kekecewaan yang mendasar dan mengerak di pikirannya. Ia merasa terkhianati oleh perlakuan pria itu. 

"Why you left her?"

"Aku.. okay listen, dia memintaku untuk pergi dengan pandangan yang sama seperti itu. Aku tidak mungkin menolak." 

"You should stay with her! Karena kemarin pria brengsek itu datang!" 

Sontak itu menjadi sebuah hantaman bagi Fadli. Ia bukanlah orang bodoh yang tidak mengerti siapa itu 'pria brengsek' yang dimaksudkan oleh Caroline. 

"Apa?"

"What, are you deaf? you've heard me! you've fucking heard me." 

Caroline berteriak di hadapan wajah Fadli dengan tampang geram. Telunjuknya berkali-kali menekan dada Fadli dengan kekuatan yang cukup memberikan sebuah rasa ngilu di titik tersebut. 

"Dia datang? Bagaimana bisa?"

"Aku tidak tahu! Good job."  

Caroline mengambil langkah lebar untuk pergi namun Fadli kembali menahannya dengan menggenggam lengan yang kini sudah mengecil.

"Dengar, aku tahu bahwa aku salah dan aku minta maaf."

Matanya saling menatap satu sama lain dengan intensitas yang berbeda. Caroline menatapnya tajam sementara Fadli menatapnya penuh dengan kesan serius serta lembut. Caroline mengerlingkan matanya dan mengempaskan tangan Fadli. Tanpa berbalik sedikitpun, Caroline meninggalkan Fadli dan memilih untuk segera masuk kedalam mobil yang terparkir rapi di depan gerbang. 

Ia bisa melihat Fadli yang dengan gerakan canggung masuk ke dalam mobil bersama tas yang sudah ia siapkan untuk keperluan di acara pernikahan Maya dengan Herlambang. 

Jalanan masih cukup sepi dan terlihat dingin. Ia bisa merasakan kepalanya berdenyut tak karuan, memberikan sebuah kesan bahwa tubuhnya tidak dalam kondisi yang baik-baik saja. Ia tahu bahwa batas waktunya semakin menipis. Namun ia bisa mengingat dengan jelas bagaimana kondisi Dila saat dirinya yang satu itu melihat Rivan. Ia benci semua perasaan itu, sebuah perasaan yang menjadi beban bagi Dila merupakan kenyataan yang paling Caroline benci. Dila yang begitu pemaaf membuatnya semakin membenci kehidupan yang Dila jalani. Tanpa ia sadari ia sudah mendecih beberapa kali.

"Aku tahu bahwa kau kesal, tapi apakah kira-kira Dila mau kembali sadar?" 

Ia hanya melirik dan mendecih. 

"Kau tahu, ini adalah pernikahan Maya dan Herlambang. Dila pasti ingin-"

"I know. Just shut up.

Fadli akhirnya menutup mulutnya dan mencoba untuk bersabar tiap kali Caroline memotong pembicaraannya. 

"That bastard came and she said that she love him." 

Hampir saja Fadli membantingkan kepalanya ketika mendengar pernyataan Caroline yang keluar secara mendadak. Mengejutkan sekali ketika mendengar Caroline berbicara dengan nada yang sangat santai.

"Ia benar-benar mengatakan hal itu pada Rivan?"

"Yeah, dan ia juga mengatakan bahwa ia tak bisa bersama dengan pria brengsek itu. Setelah itu ia menangis tanpa henti dan yang aku tahu adalah aku yang harus mengambil alih tubuhnya." 

Fadli sedikit mengerutkan wajahnya dan bisa merasakan sebuah kesulitan yang pasti Dila alami. 

"Mengapa sulit sekali membawa Dila pergi dari tempat ini, huh?"

Fadli sedikit melirik Caroline yang kini hanya memandang keluar jendeala, pandangannya mirip sekali seperti Dila yang dulu ia kenal. Pandangan yang selama ini ia rindukan dari seorang Dila Maulin Sucipto. Pandangan sarat akan kehidupan yang kini sudah meredup, digantikan oleh pandangan skeptis dan rasa khawatir. 

"Aku sudah mencoba secepat mungkin, namun banyak hal terjadi."

 "No shit, Sherlock. You really do a good job." 

Kembali Fadli mencoba untuk melapangkan dada mendengar sarcasm yang terlontar dari mulut perempuan itu. 

"Apa yang menyebabkanmu muncul?"

Fadli bisa mendengar Caroline yang sedikit tertawa meremehkan bersamaan dengan munculnya senyum miring penuh ejekan.

"Aku muncul ketika ia membutuhkan bantuan namun tak ada seorang pun yang mau membantunya."

Akhir kata yang menggantung, Fadli memilih untuk diam dan berharap bahwa Caroline akan membicarakan banyak hal padanya.

"You know, semua tenaga medis yang berurusan dengan Dila pasti menginginkanku untuk menghilang." 

Ini merupakan topik yang menarik bagi Fadli, ia melirik sedikit pada Caroline yang masih saja melihat keluar jendela dan menopang dagu seperti sedang bosan.

"Aku akan berhenti jika Dila tidak lagi mengalami masalah seperti ini. Buktinya ketika masalah kecil muncul, aku tak pernah bangkit. Namun gadis bodoh ini malah mengambil sebuah resiko besar dengan berhubungan bersama pria brengsek itu."

Fadli mengangkat sebelah alisnya dan memandang secara penuh pada Caroline. 

"Jadi maksudmu, kau akan menghilang ketika Dila pindah ke Jepang?"

"More or less, yes. Meskipun tidak hilang seutuhnya, namun lebih kearah hibernasi." 

Saat itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama ia menangani Dila, ia melihat ekspresi Caroline yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Perempuan itu menampilkan ekspresi penuh tekanan dan kesedihan. Terlihat begitu pasrah tak seperti Caroline yang biasa ia lihat. 

Tangannya terulur dan menepuk bahu Caroline, mencoba untuk memberikan sebuah pemberitahuan bahwa ia mengetahui apa yang sedang perempuan itu rasakan. Ia sadar bahwa memang bukanlah Caroline ataupun Maulin yang harus disalahkan di situasi seperti ini. Ia juga tidak bisa menyalahkan Dila dengan segala pilihan hidup yang sudah ia ambil.

"Sebentar lagi, Caroline. Aku akan pastikan bahwa Dila bisa kembali tersenyum dan berbahagia seperti sedia kala." 

Sedetik itu ia bisa merasakan bahwa dunianya kembali. Ia seakan melihat kepribadian Dila yang tersenyum tulus padanya. Sedetik itu ia bisa merasakan sebuah kehangatan palsu yang Caroline tunjukkan padanya. Sedetik itu ia sadar bahwa ia harus kembali membuat Dila tersenyum tulus seperti Caroline yang tadi tersenyum padanya. 

Sisi kisah yang berbeda membuatnya semakin berkeinginan untuk membawa Dila pergi jauh dari tempat ini.

Love? Trust? Work? or Hobbies? [Dalam Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang