18. Saatnya

911 64 1
                                    

Tempat itu hampa. Hanya sebuah lautan kegelapan tak berujung yang menyakitkan. Dila berdiri di sana. Mengandai-andai apa yang sedang ia lakukan di tempat itu. Ia dibalut gaun putih selutut. Ia bisa merasakan ujung kakinya yang menggigil entah karena apa. Kulitnya berwarna pucat menyedihkan.

Lalu tubuhnya seakan tertarik. Dibawa begitu saja oleh angin yang begitu besar bagaikan badai. Rambutnya seakan tertarik oleh sesuatu yang sengaja menyakiti dirinya. Ia berteriak sekuat tenaga. Namun yang ia dengar adalah hembusan angin.

Cahaya begitu menyilaukan. Ia menutup kedua matanya erat, tak menginginkan cahaya matahari menusuk kedua bola matanya. Dengan perlahan ia membukanya, menelisik lingkungan yang ia rasa familier dengan sesuatu yang menyebalkan.

Ia berdiri, bersembunyi di satu pohon besar. Tertutup oleh rindangnya pohon itu, terhalang oleh bayang-bayang yang sejuk. Merasa tak asing, ia memutar tubuhnya. Menatap setiap sudut tempat itu. Ini adalah gedung sekolahnya. Saat ia berada di SMA yang cukup populer. Namun kali ini ia berada di belakang gedung. Terdengar sesuatu yang cukup berisik. Dila memutar tubuhnya ke arah sumber suara. Menatap 3 orang gadis sedang menyeret satu gadis yang terlihat acuh.

Itu dirinya.

Dila pada saat SMA.

Dila kebingungan dengan semua ini. Ia berjalan untuk mendekati kerumunan gadis itu. Namun sesuatu menghalanginya, sesuatu yang transparan. Seakan menyekapnya dalam dimensi yang berbeda. Dila berteriak, berusaha memberitahu Dila yang lain untuk tak berbuat macam-macam. Semuanya nihil.

"Aku cinta dia! Menjauhlah kau anak menjijikan!"

Salah satu dari gadis itu menarik kuat-kuat rambut Dila. Namun Dila yang lain itu tak mengeluarkan ekspresi apapun.

Dila menutup mulutnya. Menatap sebuah penyiksaan batin yang begitu mengerikan. Ia tetap berusaha untuk mendekati dirinya yang lain. Garis dimensi itu begitu kuat, memenjarakannya pada sebuah rasa bersalah dan juga depresi.

"Kau anak jalang!"

Satu gadis yang berkuasa mendorong Dila yang lain hingga tersungkur. Kembali Dila berteriak dan menendang garis batas untuk membantu dirinya yang lain.

"Oh? Lihat apa yang ia bawa. Kacamata untuk seorang gadis kutu buku menjijikan sepertimu."

Salah satu dari gadis itu mengambil secara paksa kacamata yang sedang Dila genggam. Lalu dengan tak memiliki perasaan, dilemparkannya kacamata itu dan diinjaknya hingga patah.

Matanya terbuka dengan horor. Ia tak bisa bernapas pun bergerak. Ia hanya mematung di sana bagaikan mayat yang kaku. Dalam sekali hentakkan ia bisa merasakan udara kembali mengalir di paru-parunya. Dengan kegelisahan yang tinggi ia segera duduk, membuka laci di samping kasurnya. Menemukan sebuah kotak dan segera membawanya kedalam pelukan.

Ia meraih ponselnya dengan susah payah. Sesegera mungkin ia mencari nomor seseorang yang sangat ia butuhkan saat ini. Tubuhnya masih dilanda sebuah kegelisahan akut, ia tak pernah mau meminum obat penenang yang disarankan psikiater. Menghubunginya akan menjadi sebuah obat tersendiri bagi Dila.

Beberapa saat ia menunggu untuk jawaban.

"Assalamualaikum? Ini dengan siapa? Malam-malam seperti ini."

Love? Trust? Work? or Hobbies? [Dalam Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang