76. Bertemu

170 16 3
                                    

Terjadi keheningan yang cukup panjang, namun tak bisa dipungkiri bahwa Ibu Rivan setuju dengan apa yang Dila katakan. Dila memandang Ibu Rivan yang kini hanya menatap kosong dan seakan sedang melihat masa depan seperti apa yang menunggu anak laki-lakinya. Tatapan penuh harapan namun ketajaman realita menusuknya hingga Ibu Rivan kembali mengerutkan keningnya dan meraih tangan Dila, mengusapnya lembut dan perhatiannya kini beralih pada kedua bola mata lelah milik Dila.

Sentuhan lembut sarat akan rasa rindu membuat hatinya pilu. Terbaring di ranjang itu, Ibu Rivan kembali tersenyum dengan tetesan air mata yang keluar tanpa bisa dihentikan.

"Itu yang ingin Tante katakan padamu selama ini. Maafkan Tante dan Rivan."

Tanpa menunggu lebih lama, Dila bangkit dari kursinya dan memeluk Ibu Rivan seakan ia tak akan pernah bertemu lagi. Dila memang tak bisa membuat semuanya kembali menjadi baik-baik saja. Kesalahan dan pilihan yang ia buat saat itu membuat semuanya kacau. Ia juga menjadi orang yang pengecut karena tak bisa mengatakan bahwa sebenarnya sejak awal, hubungannya dengan Rivan merupakan sebuah kebohongan besar. Lubang hitam besar yang secara perlahan mengambil segalanya. Seakan ia tak diperbolehkan untuk merasakan sebuah kebahagiaan yang nyata.

Semua berawal karena kebohongan semacam itu.

Sekali lagi ia ingin menghindari apa yang dinamakan dengan sebutan cinta. Ia ingin menarik diri dari segala macam perasaan yang ia miliki pada Rivan. Ia ingin mundur dan tak lagi bertemu dengan keluarga Maulana yang semula hangat tetapi terluka ketika bertemu dengannya. Ia ingin menghilangkan semua ingatan mereka yang bersangkutan dengan dirinya jika ia bisa. Ia ingin mereka berbahagia seperti sedia kala. Tanpa dirinya, keluarga mereka tak akan menghadapi kesulitan seperti yang ia miliki.

"Tante tahu kamu sekarang merupakan orang yang paling sibuk, semua orang pasti menunggumu."

Dila mengerti sekali apa yang dimaksud oleh Ibu Rivan. Ia pasti mengira bahwa Dila harus pergi secepat yang Dila bisa. Inilah langkah pertama yang akan ia ambil, pergi dari tempat ini dan tak pernah muncul lagi dihadapan mereka. DIla harus mengatakan pada Pak Tsunemori bahwa ia siap untuk kembali ke Jepang. Setidaknya ia tak akan bertemu dengan Angga, tak akan mengecewakan Ayahnya, tak berada di bawah pengawasan Tantenya.

"Maafkan aku. Di lain waktu, jika diperbolehkan, aku akan mampir."

Kebohongan lain.

Ibu Rivan tersenyum dan menepuk pundak Dila.

"Tentu saja, rumah kami selalu terbuka untukmu."

Sekali lagi Dila memeluk Ibu Rivan sebagai bentuk perpisahan, memberikan sebuah senyuman perpisahan, lalu melangkah pergi dari ruangan putih yang dingin dan kaku itu.

"Kami akan merindukanmu, Dila."

Itu merupakan kalimat terakhir yang Dila dengar sebelum akhirnya ia menutup pintu ruangan dan menemukan Salsabila yang sedang menangis lalu sedetik kemudian memeluk tubuh Dila secara erat. Dalam kondisinya yang rentan seperti sekarang, Dila bisa merasakan tusukan-tusukan menyakitkan di tubuhnya ketika Salsabila memeluknya erat seperti itu. Biasanya dalam kondisi normal ia tidak keberatan dengan hal seperti itu. Yang kini ia lakukan hanya menepuk puncak kepala Salsabila dan terkekeh pelan, menyembunyikan erangan kesakitan yang ia rasakan.

"Mbak, tadi seseorang datang dan mengatakan bahwa Mbak Dila harus pergi untuk menemui seseorang."

Jelas Amara yang kini terlihat lebih segar dan seakan lega bertemu dengan Dila. Ia mengangguk dan kembali mengusap puncak kepala Salsabila yang kini masih memeluknya.

"Aku harus pergi. Jaga semua ya?"

Oh, tidak. Kalimatnya kembali rancu. Seakan tak menyadari kesalahan yang Dila buat, Salsabila mengangguk dan melepaskan pelukannya. Membiarkan Dila pergi tanpa berani menatapnya.

Amara menawarkan diri untuk mengantar Dila sampai ke jarak pandang supirnya. Setidaknya Amara merasa bertanggung jawab untuk menjaga keberadaan Dila. Padahal sejujurnya, Dila sudah dijaga oleh para bodyguard yang kini sedang menyamar seperti warga sipil. Bahkan Rumah Sakit ini pun secara gamblang menghormati keberadaan Dila karena ia merupakan seseorang yang penting untuk Pak Tsunemori.

"Mbak Dila, kembalilah pada Kak Rivan. Aku sudah mundur—"

"Jangan bahas it—"

"Amara?"

What?

Dila dan Amara berbalik. Mereka tercengang ketika menemukan Rivan berdiri di sana dengan tatapan kebingungan. Tak ada seorangpun yang bergerak dari posisi mereka dan dengan kaku saling menatap satu sama lain tanpa mengeluarkan suara apapun. Kemudian tanpa berkata apapun Rivan menarik tubuh Amara dan membawanya pergi. Dila tak dapat berkata apapun dan menatap salah satu bodyguard didekatnya.

Tepat sekali Rivan menghindari keberadaannya. Ia tak akan menyalahkan Rivan tentang hal itu. Maka ia lebih memilih untuk berjalan menuju mobil yang sudah menunggunya di tempat parkir. Ia akan kembali secepat mungkin ke rumah dan memohon pada Fadli juga Pak Tsunemori untuk membiarkannya kembali ke Jepang. Jika bisa hari ini juga ia pergi.

"Apa urusanmu dengan Dila?"

Wow, ia tahu suara itu.

Dila berhenti sejenak dan melihat Rivan dari ujung matanya yang kini berdiri di hadapan Amara. Begitu tinggi di hadapan perempuan mungil itu. Tinggi badannya hanya bisa mencapai dada Rivan sementara tinggi badan Dila mencapai telinga Rivan, itupun jika menggunakan high heels tentunya. Jika tidak menggunakan high heels mungkin akan mencapai bahu pria itu.

Namun yang membuatnya cemas adalah nada suara Rivan yang begitu rendah juga ekspresi wajahnya yang keras dan tegang. Terlihat begitu emosi dan ia tahu pandangan itu seperti pandangan Ayahnya ketika marah.

"Aku hanya ingin Mbak Dila mengetahui yang sebenarnya."

"Apa yang sebenarnya?"

"Mbak Dila berhak kembali dan memutuskan untuk bersama Kak Rivan lagi."

Dila sekali lagi dibuat diam terkesima dengan keberanian Amara yang kini menatap balik pada Rivan. Perempuan itu memang luar biasa.

"Apa? Aku sudah memilihmu, ok? Mengapa kau memberikan waktu-waktu yang sulit padaku lagi?" Dila memejamkan matanya erat ketika Rivan secara lantang berbicara seperti itu.

"Memilihku? Dengar, sejak kapan Kak Rivan memilihku ketika Kak Rivan sendiri masih menderita seperti ini? Aku memudahkanmu untuk bersamanya. Aku memilih untuk mundur."

Bodyguard yang sedari tadi bersama Dila pun bergerak untuk mengambil alih perhatian Dila. Menyentuh bahu Dila dan memberitahukan bahwa ada seseorang yang mengikuti mereka. Dila tak menggubrisnya dan seluruh perhatiannya tetap tertuju pada Rivan yang kini menegangkan rahangnya. Rivan ini bukanlah Rivan yang Dila kenal. Ia tak pernah bertemu dengan Rivan yang seegois dan seemosi itu.

"Nona, lebih baik kita pergi. Ada yang membuntuti kita sejak tadi." Bisik sang bodyguard yang kini sudah kehabisan cara untuk membawa Dila pergi.

Alih-alih pergi bersama bodyguard, Dila berlari kearah Rivan tatkala pria itu mengangkat tangannya untuk menampar Amara yang masih terlihat emosi dan ketakutan. Wajah Rivan memerah menahan emosi karena Amara dengan lancang membawa Dila menghadap keluarganya tanpa seizinnya. Kecepatan Dila memang tak secepat ketika ia sedang sehat, namun ketangkasannya masih dapat diandalkan.

"Nona!"

PLAK!

Love? Trust? Work? or Hobbies? [Dalam Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang