96. Berita Bagus?

189 15 0
                                    

Ia menatap bayangannya di cermin. Tidak pernah menyangka bahwa warna rambutnya yang kini ia ubah menjadi golden blonde atas dasar rekomendasi Airu memang cocok dengan rambutnya yang sudah memanjang. Ia terlihat lebih feminim dan santai. Terakhir kali ia memiliki rambut panjang ketika ia masih di bangku SMP dan memutuskan untuk kembali ke gaya rambut pendeknya ketika SMA dan tidak banyak perubahan sejak saat itu hingga sekarang ia cukup terkejut dengan dirinya yang terlihat benar-benar feminim. Mungkin ia akan bertahan dengan gaya rambut panjang ini meskipun biaya mengurus rambutnya pun harus naik. 

Tubuhnya sudah membaik dan berat badannya tidak sekecil saat ia sedang mental breakdown, ia kini sudah di perbolehkan untuk berolahraga ringan dan kini tangannya pun sudah terlihat berisi. Tahap penyembuhan yang luar biasa cepat dan membingungkan dokter yang mengawasinya. Caranya berbicara pun sudah mulai membaik. Ia kehilangan sebagian kemampuan untuk berbicara namun beruntung kemampuan bahasa yang ia miliki tidak hilang sepenuhnya. Ia hanya cukup diingatkan mengenai bahasa yang harus ia kuasai dan dalam waktu yang cepat ia sudah mulai bisa menyusun kalimat dan berbicara ringan menggunakan bahasa yang pernah ia kuasai.

Jujur saja, rasa percaya dirinya sudah mulai kembali berkembang. 

Mungkin dengan tahap penyembuhan yang cepat ini Pak Tsunemori tak perlu menunggu lama untuk lengser dari posisinya. 

Dila sekali lagi menyisir rambut nya dengan hati-hati. Tersenyum geli dengan segala perubahan yang sudah ia lakukan pada tubuhnya sendiri .

"Maulin?" 

"Aku di kamar." 

Lihat? Ia bisa berbicara normal sekarang.

"Aku membawakanmu blueberry muffin." 

Ia mengangkat kedua alisnya dengan ceria dan keluar dari kamar, menemukan Fadli di ruang makan dengan muffin yang ia janjikan di tangan. 

"Terima kasih." 

Fadli tak berhenti menatap Dila yang kini menyantap muffin dengan lahap dan tersenyum riang. Ia menyadari perubahan besar yang terjadi pada penampilan Dila.

"Kamu mengikuti saran Airu?" 

Dila berhenti sejenak dan menyentuh rambutnya. Tak perlu berbicara lagi ia kembali tersenyum dan lagi-lagi menyantap muffin kedua. Tak habis pikir bagaimana bisa Dila menyantap muffin secepat itu membuat Fadli menggelengkan kepalanya. 

"Kulitmu cocok dengan warna itu. Oh ya, di luar dingin sekali. Angin sudah mulai kencang jadi gunakan mantel abu mu itu." 

Fadli memberikan rekomendasi spesifik untuk Dila karena setahunya mantel paling tebal yang Dila punya adalah mantel berwarna abu yang diberikan oleh Pak Tsunemori ketika Dila kembali ke Jepang. Ia mengatakan itu adalah hadiah kepulangan yang secara khusus dipesan untuk Dila. 

"Kau akan mengantarku?" 

"Tentu saja, aku kebetulan harus pergi ke Universitas." 

Dila mengangguk dan secara jelas menyatakan bahwa ia tak terlalu mendengar apa yang baru saja Fadli katakan melihat ia yang kini sangat terikat oleh muffin di tangan. Fadli hanya mengembuskan napas dan tersenyum sembari mengacak rambut Dila. 

"Kita harus pergi sekarang." 

Dengan begitu Dila membulatkan matanya dan terlihat panik. Tak perlu ditanya pun Fadli tahu bahwa Dila panik karena belum mempersiapkan penampilannya yang kini hanya menggunakan sweater rajut yang longgar dan celana santai yang sopan. Rambutnya pun masih terurai meskipun make up sudah sempurna. 

"Tenang saja, Airu mengatakan bahwa hari ini tidak ada klien. Ia mengatakan kau bisa menggunakan pakaian kasual."

"Begitu? Bisakah ambilkan mantel dan tas di kamar?" 

Love? Trust? Work? or Hobbies? [Dalam Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang