16. Mimpi Buruk

974 63 4
                                    

"Jadi apa yang dikatakan Ayahmu mengenai hal ini?"

Lina menyandarkan tubuhnya dan menghandap secara penuh pada Dila yang sedang mengaduk adonan.

"Well, Ayah tak curiga. Bisa ku bilang ini setengah berhasil."

"Setengah berhasil?" Yuni menyahut dari belakang Dila.

"Yap! Aku belum berbincang empat mata dengan keluarganya, jadi jika anggota keluarganya mempercayaiku, semua ini akan jadi berhasil 100%." Dila mengacungkan tangannya, lalu kembali mengaduk adonan.

"Tapi aku tak pernah berpikir bahwa kau akan membawa Rivan untuk berkunjung ke rumah ini."

Ujar Lina dengan begitu hati-hati. Dan tentunya ia tak mendapatkan jawaban apapun dari Dila.

Yuni mengambil alih adonan, sementara Dila berjalan dengan santai ke arah lemari pendingin untuk membawa nanas dan juga cokelat batang. Lina dengan lihai mencetak kue-kue itu sebelum akhirnya ia memanggang setiap loyang yang sudah siap ke oven.

Ada sebuah pandangan mencurigakan yang Lina lemparkan pada Dila. Ia menyadari hal itu sepenuhnya tetapi ia sebisa mungkin tidak menghiraukannya. Yuni secara diam-diam tersenyum miring dan memunggungi Dila. Lalu tawa tertahan itu sampai di telinga Dila.

Dengan mau tak mau akhirnya Dila menatap mereka dengan tatapan bosan. Sepertinya ia harus mengatakan mengenai Tante Fitri yang ternyata mengenal Rivan. Dan hal lain yang akan membuat mereka tertawa.

"Aku tahu. Aku tahu. Tante Fitri mengenal Rivan bukan? Lalu bagian apa yang kiranya akan membuat kami terhibur, Maulin."

Lina tetap memasang senyum miringnya dan akhirnya Yuni dengan berani tertawa di hadapan Dila.

Ia menceritakan semua itu dengan menggunakan ekspresi yang kiranya sama dengan apa yang di tunjukkan oleh Vina dan juga tante Fitri. Dengan saksama mereka mendengarkan setiap detail yang diceritakan oleh Dila, sesekali mereka tertawa lalu kembali mendengarkan dengan ekspresi yang benar-benar konyol.

"AND FOR GOD SAKE! Wajah mereka!"

Yuni hanya tersenyum sembari kembali mengolah adonan. Lina sendiri begitu heboh tertawa ketika ia sudah memasukkan kue kedalam oven. Dengan puas ia duduk dan tertawa. Dila tertawa dan segera menahannya ketika ia harus mencetak kue-kue itu. Namun hal itu gagal hingga ia akhirnya memutuskan untuk duduk bersama Lina dan tertawa bersama. Hanya iman Yuni yang tetap bertahan dan kuat untuk tetap mengolah adonan.

"Kali ini kau sudah melemparkan kue pie tepat di wajah mereka. Tanpa meleset."

Lina menepuk punggung Dila cukup kencang. Mereka tertawa dan terbatuk bersama.

Dila sadar lebih awal dan kembali memusatkan perhatiannya pada kue-kue yang sebentar lagi matang. Cepat-cepat ia beralih untuk mencairkan cokelat batang sebelum kue-kue itu matang. Yuni dengan santai masih bergelut dengan adonan dan mencetaknya penuh kesabaran.

Di saat seperti ini, Dila tak menyangka ia sedang memikirkan Rivan. Bukan memikirkan Rivan secara romantis, hanya saja ia tak yakin apakah ia akan tampil meyakinkan di hadapan keluarga Rivan. Karena bagaimanapun Dila sendiri tak yakin dengan hal itu. Ini baru pertama kalinya ia berlaku sangat skeptis. Ia belum pernah sebegitu skeptisnya hingga meragukan kemampuannya untuk memanipulasi manusia di sekelilingnya. Ia adalah manusia manipulatif.

Secara tak sadar ia menghembuskan napas berat. Ia rasa ia ingin mundur begitu saja. Namun bayang-bayang ekspresi Rivan yang begitu polos kembali meneguhkan hatinya untuk tetap datang pada acara makan malam dengan keluarga Rivan nanti.

Lalu kembali ia memikirkan keadaan lain. Ia belum mengirimkan uang untuk Adi -Adik Dila-, belum pula mengunjungi panti asuhan, dan juga belum memberikan barang-barang yang tersimpan rapi dalam kardus di sudut ruang kerjanya. Ia seharusnya memberikan itu pada anak-anak di panti asuhan tempat ia sering berkunjung kala kehilangan inspirasi. Lalu ia merasa seakan menjadi manusia tua karena menghembuskan napas berat terlalu sering.

Love? Trust? Work? or Hobbies? [Dalam Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang