48. Pertemuan

297 33 10
                                    

Terlihat kerutan-kerutan arti tak menyenangkan di wajah Dila yang kini duduk dan menjauhkan dirinya dari sergapan tatapan orang-orang di sekelilingnya. Ia bahkan terlihat memaki dan bergumam dengan kesal. Kedua tangannya di simpan di dada dengan kesan arogansi yang melambung tinggi.

You, take a look at this.”

Dengan nada yang tinggi-tinggi, Dila –yang mari kita sebut saja Caroline— menunjuk pipi kirinya yang lebam.

“Ok, ok. Aku bisa melihat itu semua. Bisakah aku, atau mungkin Airu mengobatinya? Matamu sampai merah begitu.”

Fadli duduk di ujung lain sofa, menjaga jarak, takut-takut Caroline menghajarnya.

Airu kemudian datang dengan sebuah pouch berisi es batu dan memberikannya pada Caroline. Tapi bahkan perempuan itu tak bergerak sama sekali untuk menerima sesuatu yang bisa menyembuhkan lebamnya. Sebaliknya, Caroline menatap dalam-dalam pada Airu seakan bersiap untuk membunuhnya. Lalu membuang napas kuat-kuat, mendelik dan mendecih tak senang.

Lina, Yuni, dan Airu secara tak sadar menahan napas mereka.

“Uh-oh, ok. Lalu apa kamu akan memberi tahu kami siapa yang melakukan hal itu?”

Caroline menatap Fadli dengan tatapan meremehkan, lalu ia tersenyum miring sebelum akhirnya mendecih kesal.

You know... Old soul. Ugh! Jika saja si Maulin sialan itu tak mengganggu ku, aku pasti sudah melemparkan tinju sekuat mungkin pada wajah gempalnya.”

Caroline mengakhiri rasa sebalnya dengan menyambar segelas jus strawberry yang sengaja ia pesan pada Lina. Menghabiskannya lalu kembali memasang wajah masam. Seperti tak senang dengan apa yang ada di pikirannya.

Fadli mengerutkan keningnya. Mencoba menafsirkan arti dari kalimat yang baru saja dilontarkan oleh sosok perempuan terbengis yang memiliki rupa seorang Dila Maulin Sucipto.

“Urgh! Bastard!”

Dalam sekali hentakan, gelas kosong itu sudah berserakan di lantai. Ujung-ujung runcing yang tercecer secara acak itu berhasil membuat semua orang membeku di tempat. Terlebih orang selain Fadli yang baru menyaksikan kepribadian Caroline yang super sensitif.

“Dengarkan! Aku akan beristirahat karena aku short-temper, aku tahu kalian ketakutan! Ketika bangun nanti, jangan katakan apapun pada Dila!”

Dengan begitu ia pergi menuju kamar tidur sembari menghentakkan kakinya keras-keras. Dibantingnya pintu kamar begitu kencang, gemaannya bahkan membuat siapapun merinding.

“Airu, lebih baik kau temani Dila.”

Fadli tanpa basa-basi memberi perintah pada Airu yang kini tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

“Tenang, Caroline tak akan menyakiti seseorang yang bukan menjadi alasan dasar rasa dendamnya.”

Yang kemudian Airu memilih untuk masuk kedalam kamar Dila dengan langkah yang ia buat sepercaya diri mungkin.

“Jadi, menurutmu siapa yang melakukan hal itu? An old soul...”

Lina mengerutkan keningnya sekali lagi sembari mengusap ujung dagunya. Ragu dengan apa yang sedang dipikirkannya.

“Ayahnya?”

Yuni akhirnya berani angkat bicara meskipun ada nada tak percaya di suaranya.

“Kau bercanda?! Tak mungkin Om Sucipto seperti it—“

“Menurutku Yuni benar.”

“What?!”

***

Love? Trust? Work? or Hobbies? [Dalam Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang