7. Si Perfeksionis

1.3K 67 8
                                    

"Assalamualaikum." Dila melepas high heels nya dan melangkah gontai ke dapur.

Hari yang cukup melelahkan baginya, mengingat ia sudah menyelesaikan begitu banyak tugas. Ditambah dengan profesi sampingannya sebagai psikolog bagi Rivan. Ia baru saja makan malam dengan Si Bibit Unggul Indonesia itu. Sudah lewat 1 bulan namun belum ada tanda-tanda kemajuan dari prosesnya itu.

Satu tegukan air mineral dingin dapat mengembalikan semangatnya. Kembali ia dipusingkan dengan pegawai yang berleha-leha. Mulai dari laporan yang berantakan, bahkan telatnya mengumpulkan sebuah pekerjaan yang jelas menjadi tanggung jawabnya.

Ooh... agaknya itu membuat kepala Dila meledak.

Dilemparnya tas tangan itu sembarang, lalu menjatuhkan tubuhnya di atas sofa. Merasakan kenyamanan yang terkuak begitu saja ketika decitan kecil yang menandakan sofa itu berpindah tempat. Dila kembali mengusap wajahnya gusar. Sudah kesekian kali ia menatap layar ponsel yang berada di genggamannya. Tak tahu apa yang harus ia lakukan.

Dila memejamkan matanya. Berusaha untuk tenang dalam mengambil keputusan. Lalu dengan perlahan ia hembuskan napas beratnya.

Sebenarnya ia sendiri tak tega untuk melakukan hal yang kini sedang ia bayangkan. Namun sebagai atasan yang memiliki tanggung jawab yang cukup berat, mau tak mau ia harus mengambil sebuah keputusan.

Dengan rasa enggan, Dila menekan beberapa kali layar ponselnya. Hingga akhirnya ia terhubung dengan Herlambang.

"Assalamualaikum. Herlambang, maaf mengganggu waktumu."

Dila mendudukkan dirinya. Mencari beberapa posisi nyaman.

"Tak apa. Ada apa ini? Tak biasanya menggunakan kalimat formal dalam panggilan."

"Besok perintahkan Tiara yang memberikan laporan langsung padaku."

Suara datarnya dibalas dengan helaan napas enggan dari Herlambang.

"Apa Maulin si perfeksionis kembali?"

Dila memutar kedua bola matanya.

"Lakukan saja."

Dengan segera Dila memutuskan hubungan ponselnya. Ia tak ingin kembali memikirkan hal mengenai pekerjaan. Sudah cukup ia stress dalam waktu 2 minggu terakhir. Semua laporan dari bawahannya begitu kacau. Hingga ia sendiri harus memutar balikkan otaknya hanya untuk memahami satu lembar dari tumpukkan laporan.

Bekerja di Indonesia menurutnya cukup sulit. Ia tak menyalahkan atasan terdahulunya -jangan pikirkan Pak Sudrajat-, hanya saja ia cukup lelah bekerja di negara tempatnya lahir ini. Ia harus bekerja dua kali lipat dari sebelumnya. Dan itu cukup menguras tenaga dan pikiran.

Ia melirik pada dinding kaca yang langsung memperlihatkan halaman belakangnya. Siluet-siluet yang dihasilkan oleh pencahayaan tecetak indah di dinding. Dila sendiri sudah terlalu nyaman untuk berpindah tempat. Karena menurutnya, kini tempat inilah yang terasa begitu damai.

Angin yang menyapu dedaunan kering. Juga gesekan dari daun yang masih berada di pohon. Memperhangat suasana rumah miliknya meskipun penghuninya hanya Dila seorang. Ia suka kesendirian. Ia suka kesepian. Karena ia akan menemukan berbagai ide dari kesendirian miliknya. Hingga akhirnya ia terbuai dengan semua keindahan dan kenyamanan itu. Lalu terlelap, melupakan sejenak permasalahan kantornya.

***

Raut wajahnya sudah tak bersahabat sejak pagi. Bahkan beberapa karyawan yang terbiasa menyapa terlihat enggan untuk sekedar bertukar senyum dengan Dila yang kini menekukkan wajahnya. Jelas ia sedang dalam keadaan tak senang.

Love? Trust? Work? or Hobbies? [Dalam Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang