71. Secepat Ini?

251 23 1
                                    

"Kak Amara kenapa?"

Salsabila kini duduk di samping sembari mengusap bahu Amara yang masih bergeming layaknya patung. Salsabila merasa bersalah karena memberitahu mengenai hubungan antara kakaknya dengan Dila. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Hal itu tidak patut menjadi rahasia karena bukanlah suatu aib. Salahkan RIvan yang tidak memberitahu sejak awal mengenai hubungannya. Lagipula semuanya sudah terlambat.

Tetap saja, gadis itu kebingungan akan apa yang menyebabkan Amara menangis hingga tak berkutik seperti itu.

"Aku merasa bersalah pada Mbak Dila."

Loh?

Salsabila kini kembali terkejut dengan pernyataan yang dilontarkan oleh Amara. Atas dasar apa ia merasa bersalah?

"Kakak tidak melakukan apapun yang memiliki sangkut paut pada hubungan mereka." Salsabila menerangkan tanpa menyembunyikan ekspresi bingungnya.

Amara kini bergerak untuk menghapus air mata yang masih mengalir. Kembali sadar dan tersenyum lembut pada Salsabila. Ia tak akan mengatakan apa yang membuatnya menangis karena ia akan menyelesaikan semua ini sendiri. Ia kemudian menepuk bahu Salsabila.

"Maafkan aku, mungkin karena efek hormon."

"Hormon?"

"Maksudku tamu bulanan."

Salsabila tertawa sesaat kemudian berhenti dengan kerutan yang muncul di dahinya.

"Maaf jika Kak Rivan tidak memberitahu hal ini lebih awal."

Amara hanya mengangguk. Ia tahu jika Rivan berpikir bahwa dirinya akan merasa tidak enak jika mengetahui situasi sebenarnya. Yang mana Dila merupakan mantan kekasih dari pria itu. Belum lagi ia pernah makan bersama dalam kondisi yang mungkin saja sedang tidak nyaman. Memang kini ia merasa tidak enak pada Dila. Tapi ia tidak akan berpura-pura buta pada kenyataan yang sudah ia ketahui.

Ia tahu bahwa RIvan adalah pria yang baik dan ia tak meragukan hal itu. Karena alasan itu juga ia mengetahui bahwa dirinya tak pernah menetap di hati Rivan. Sebelumnya ia tidak pernah memikirkan siapa orang yang sepertinya selalu mengganggu pikiran dan menetap di hari Rivan. Kini ia mendapatkan jawaban mutlak.

Mereka berjalan beriringn menuju kamar Ibu Rivan. Laura tetap setia menemani Hardi yang meskipun sudah siuman tetap selalu terlelap karena sedang dalam tahap penyembuhan. Laura tidak terlalu ceria seperti biasa. Ia terlihat seperti single parent yang kesulitan membesarkan dua anaknya. Amara sering membantu untuk mengawasi Fairuz dan Askar jika ia tidak sibuk dengan toko bunga miliknya. Tetapi tak aneh juga jika Laura sesekali menolak bantuan Amara dengan alasan tidak enak karena merepotkan Amara.

"Kak, aku harus kembali ke rumah. Aku harus menyelesaikan tesisku." Amara berbalik sebentar dan mengusap kepala Salsabila.

Tanpa obrolan yang lebih panjang lagi, Salsabila meninggalkan Amara. Memberikannya tanggung jawab untuk menemani Ibu Rivan.

Sepanjang perjalanan ia mengembuskan napas lelah. Akhir-akhir ini toko bunga terlalu sepi, kurang peminat dan sepertinya akan ada kerugian yang menunggu di akhir minggu nanti. Tapi ini semua merupakan proses. Setiap usaha memiliki kesempatan untuk untung maupun rugi dan itu bukan merupakan anomali.

Saat ia sudah membuka pintu ruangan Ibu Rivan, ia bisa melihat Ibu Rivan yang duduk tenang dan tersenyum kepadanya dengan semua keramahan yang bisa ditunjukkan oleh seorang ibu.

"Oh? Tante..." Amara kemudian duduk di samping Ibu Rivan dan memberikan novel yang biasa Ibu Rivan baca.

"Kamu sedang memikirkan banyak hal bukan?"

Love? Trust? Work? or Hobbies? [Dalam Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang