95. Tanpa Mengingkari

152 13 4
                                    

"Aku akan mengerjakan tugas di tempat biasa." 

"Sampai bertemu besok, Yuni." 

Anggukan merupakan hal tercepat yang bisa ia lakukan sembari mengemasi apapun yang berada di atas meja. Dari mulai pensil yang berserakan hingga kertas-kertas yang tadi ia gunakan untuk menyalin berbagai macam penjelasan dari dosen yang berada dalam list dosen killer. 

Yuni memang terbiasa untuk mengerjakan tugas di cafe terdekat semenjak Dila kembali ke Jepang. Biasanya ketika ada tugas yang menurutnya sulit atau rumit, ia selalu melarikan diri ke rumah perempuan itu untuk sekedar mendapatkan ketenangan. Meskipun di rumahnya sendiri terbilang cukup hening, namun bisa dikatakan tidak ada orang yang mampu diajak berdiskusi. Sementara jika bersama Dila ia bisa berdiskusi mengenai hampir semua mata kuliah yang ia ambil. 

Ia bahkan tak mengerti mengapa Dila memiliki pengetahuan yang begitu luas karena jika dilihat dari background pendidikannya, perempuan itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan jurusan yang Yuni ambil. 

Tapi itu adalah sebuah berita baik. 

Dan sayangnya kini ia merindukan perdebatan intelektual yang selalu ia lakukan bersama Dila. 

Ia mengambil napas dalam-dalam selagi berjalan cukup santai. Wilayah kampus yang masih cukup ramai memberikan kesan hangat dan sibuk meskipun cuaca sedikit mendung dan berangin. Matahari hanya muncul pagi tadi dalam intensitas yang tak terlalu membutakan mata sebelum akhirnya terhalang oleh awan kelabu yang sampai saat ini menutupi langit. 

"Yuni." 

Merasa terpanggil, ia berhenti namun tak bisa memastikan apakah itu hanya sebuah halusinasi atau memang ada yang memanggil namanya. Tapi dapat dipastikan ia familier dengan suara yang baru saja ia dengar. 

"Yuni!" 

Kini ia tahu suara itu berasal dari mana. Ia berbalik dan menemukan pria yang sering ia lihat di figura yang berada di lorong rumah Dila. Pria yang cukup membuat Dila mabuk kepayang hanya dengan melihat penampilannya saja. 

Sebagai seorang perempuan muda, ia paham mengapa Dila bisa menyukai pria yang kini menghampirinya dengan ekspresi kesulitan dan terlihat terengah-engah itu. Pria itu tinggi, bersama dengan garis wajah yang tegas namun ekspresinya selalu lembut, menggunakan kacamata pula. Nah, itu yang dinamakan sebagai tipe ideal Dila. 

"Mas Rivan?"

"Kakak saja. Tidak enak di panggil 'Mas'."

Yuni membulatkan matanya lalu mengangguk secara perlahan. Ia tak yakin ia bisa menjawab apapun yang akan ditanyakan oleh Rivan karena alasan Rivan menemuinya pastilah tak jauh dari Dila. 

"Maaf aku muncul tanpa pemberitahuan." 

Rivan tersenyum dengan ekspresi yang halus membuat Yuni semakin yakin bahwa pria itu pasti akan bertanya mengenai Dila. 

Bukan ia benci pada Rivan, sejujurnya siapa yang bisa membenci pria baik hati ini? Tidak ada. Bahkan Lina yang terbilang paling repot mengurusi Dila ketika perempuan keras kepala itu sulit diatur pun tidak membenci Rivan sama sekali. 

"Ah... tidak apa-apa. Tenang saja." 

"Apa kau memiliki waktu luang sekarang?" 

Apa yang harus ia katakan? Ia tak tahu apa yang harus ia katakan namun ia tak tega untuk meninggalkan pria itu tanpa memberikannya kesempatan untuk bertanya apapun yang ingin ia tanyakan. 

"Ya, tentu saja. Aku baru saja mau ke cafe." 

Senyuman Rivan semakin lebar dengan tubuh yang lebih rileks seakan seluruh rasa lelahnya terangkat dan tergantikan oleh perasaan lega yang menyenangkan. 

***

Ia mungkin baru beberapa kali bertemu dengan Rivan dan kini ia sadar bahwa Rivan adalah seorang pria yang canggung dalam bersosialisasi. Tapi ia sering mendengar Dila membicarakan Rivan dan mengatakan bahwa pria yang kini duduk di hadapannya itu merupakan pria yang mampu melakukan banyak hal secara profesional. 

Mungkin maksud dari perkataan Dila itu adalah dalam bidang kantor. Tidak dalam artian bersosialisasi di luar kantor. Jika memang itu artinya maka ia bisa memaklumi. 

"Aku tahu pasti kau sudah bisa menebak mengapa aku menemuimu kan?" 

Yuni tidak mengatakan apapun selain tersenyum dan menikmati kopinya secara perlahan. Tak ada yang perlu dikatakan dengan semua kebenaran yang melayang-layang di udara itu. 

"Apa kau mendengar kabar dari Dila?" 

Ia tak segera menjawab pertanyaan yang terlontar itu dan hanya menikmati waktu saat aliran hangat dari kopi masuk kedalam tubuhnya. Setelah ia merasakan sensasinya, barulah ia angkat bicara.

"Mbak Dila baik-baik saja. Ia bekerja dengan giat dan ia kini sedang menikmati musim gugur di sana." 

Rivan mengangguk untuk meyakinkan Yuni bahwa ia mendengarkan apa yang ia katakan. 

"Aku tahu bahwa Dila mengalami sesuatu yang cukup tidak menyenangkan selama ia di Indonesia." 

Ini baru mengejutkan. Ia semakin tak yakin apa ia bisa menjawab pertanyaan selanjutnya yang akan diajukan oleh Rivan. Berharap tidak bertanya mengenai Dila saat di ICU.

"Aku bahkan tidak yakin kau akan menjawabnya jika aku bertanya tentang hal apa yang terjadi pada Dila." 

Ia mengambil napas lega dan bersyukur Rivan tak menempatkan dirinya di tempat yang sulit. Ia jelas ingin membantu Rivan untuk kembali mendapatkan kepercayaan Dila. Siapapun di dunia ini tahu seberapa besar Dila menyukai Rivan hingga ia dengan berat hati harus melepaskan Rivan hanya karena ia percaya dengan apa yang di sebut sebagai 'demi kebahagiaan Rivan'.

"Jadi Kakak ingin bertanya apa?" 

"Apa hubungan Fadli dengan Dila?" 

Ini jelas merupakan hal yang menarik untuk dibicarakan. 

"Kak Fadli sahabat dekat Mbak Dila selama SMA. Mereka memang sudah akrab bersama dengan Kak Herlambang." 

"Apa Fadli menyukai Dila?" 

"Mungkin. Mereka sering mendapat ocehan bahwa mereka adalah pasangan yang cocok." 

Dilihat dari ekspresinya, Rivan jelas merasakan sebuah tusukan tajam yang menyakitkan di ulu hatinya. Yuni hanya mengatakan yang sejujurnya agar Rivan bisa menerima apapun yang dunia ini berikan padanya. Meskipun ia tak tahu apakah Dila kini akan memilih untuk membalas perasaan Fadli atau tidak, tapi ada baiknya mempersiapkan Rivan yang masih terlihat tidak mau melepaskan Dila pada suatu kemungkinan terburuk yang ada saat ini. 

Ada keheningan panjang di antara mereka dan jujur saja itu membuat Yuni tidak nyaman. 

"Apa Kakak masih menyukai Mbak Dila?" 

Rivan mengangkat pandangannya. Selama ini ia tak pernah menatap mata Yuni ketika berbicara namun detik ini mata Rivan jelas sekali menatap mata Yuni dengan sebuah semangat yang membara. 

"Ya." 

Jawaban singkat penuh penekanan itu cukup meyakinkan Yuni bahwa pria itu benar-benar masih ingin mengejar Dila. Sungguh disayangkan jika Rivan pernah mengambil langkah yang salah bersama Dila. Jika saja mereka meneruskan hubungan tanpa ada kendala seperti ini, ia pasti sudah menyiapkan diri untuk menggunakan baju seragam bersama saudara-saudaranya yang lain. Ia juga pasti sudah melihat Dila tersenyum disamping Rivan. 

Dila pasti sudah bahagia. 

Hanya saja faktanya hidup tidak pernah semudah itu. 

Kepalanya ingin dirinya membantu Rivan, namun hatinya tetap bertahan untuk menjaga janjinya pada Dila. Tapi setidaknya ia bisa membantu tanpa harus mengingkari janjinya pada Dila, bukan?

"Kalau begitu, cari tahulah apa yang terjadi pada Mbak Dila selama di Indonesia. Baru ada baiknya Kakak putuskan apakah lebih baik Kakak mundur atau tetap maju." 

Ia tak mengatakan apapun lagi dan membiarkan Rivan mengada-ngada tentang apa maksud dari kalimat yang terlontar dari perempuan itu.

Love? Trust? Work? or Hobbies? [Dalam Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang