46. Alasan

328 36 6
                                    

Sudah berapa hari Rivan rasa tiap pagi selalu mendung. Terkadang akan ada godaan untuk kembali tertidur namun ia mendorong jauh-jauh dan bersiap untuk menghadapi hari yang terkadang terasa berat.

Terutama beberapa hari terakhir. Ia sendiri tak tahu apa penyebabnya, namun tubuhnya begitu lelah dan tak bisa berhenti untuk memikirkan sesuatu yang bahkan ia tak tahu apa itu. Mungkin efek kekurangan tidur, namun secara jelas hal yang begitu abu-abu itu selalu menjadi halangan aneh.

Dengan sebuah dokumen di tangannya, Rivan berjalan santai ke sudut di mana biasanya ia bisa menemukan Dila sedang tertunduk fokus pada apa yang sedang ia kerjakan. Berniat untuk mendiskusikan beberapa hal mengenai produk baru dan kemungkinan-kemungkinan keuntungan yang bisa di dapatkan oleh perusahaan secara detail.

Atau mungkin ia hanya ingin bertemu dengan Dila?

Entahlah.

Keadaan para pegawai di pagi menuju siang terlihat begitu sibuk. Memikirkan dan mengerjakan hal-hal yang menjadi tanggung jawab mereka. Sementara ia bisa melihat Desi yang merupakan sekretaris Dila sedang mengangkat telepon. Menjawab panggilan dari siapapun itu.

“Ada apa Pak Rivan?”

Ujar Desi saat ia selesai berbincang.

“Saya ingin melakukan rapat mengenai detail tentang produk baru ini dengan Bu Dila.”

Sejenak Desi mengangkat sebelah alisnya dan melihat dokumen yang dibawa oleh Rivan. Ia mengangguk dan kembali menatap Rivan.

“Produk ini sejak awal sudah diambil alih oleh Pak Anton. Kebanyakan tender pun sudah berada di tangan Pak Anton.”

Kali ini Rivan yang tak tahu harus berbicara apa.

“Bu Dila sudah disibukkan oleh dokumen-dokumen dari Jepang. Ia bahkan begitu fokus hingga terkadang tak sadar jika aku berada di ruangan yang sama dengannya.”

Desi mengeluh dan memberikan kembali dokumen ke tangan Rivan.

“Pak Anton mungkin bisa berbicara dengan Pak Rivan setelah makan siang.” Kali ini Desi kembali tersenyum.

“Em... Kalau begitu saya ingin bertemu dengan Bu Dila.”

“Ah... Bu Dila diliburkan oleh Pak Tsunemori karena sudah bekerja terlalu keras. Aku dengar ia sakit.” Desi mengendikkan bahunya dan kembali tersenyum.

***


Di awal pagi tadi begitu mendung namun semuanya berubah menjadi cerah ketika siang hari. Mentari pun begitu terik hingga Dila tak tahan untuk menata halaman depannya. Ada beberapa tanaman yang layu dan harus segera dipotong agar tak ada hama yang hinggap. Dengan gunting khusus tanaman yang sudah berada di tangan, Dila sudah memotong beberapa dahan kecil yang bisa ia capai.

Sudah begitu lama ia tak merapikan halaman depan, ia lebih fokus pada halaman belakang yang tentunya lebih sering ia lihat dibandingkan dengan halaman depan yang hanya ia pandang selewat. Namun keindahannya sama, begitu natural dan sejuk.

Di dalam rumah sudah ada Airu, Yuni, Lina, Maya, Fadli juga Adel, si anak imut nan manis. Para perempuan itu sedang mencoba untuk membuat Sachertorte yang tentunya merupakan kesukaan semua orang. Ia tak ingin membantu karena ia yakin mereka bisa melakukannya.

Dila berusaha menggapai dahan layu yang tinggi tanpa bantuan apapun. Ia harus memotong dahan itu. Ia tak ingin halaman depannya terlihat buruk.

“Aku tahu bahwa tanganmu terluka bukan karena teriris pisau.”

Dila yang sedang berjinjit pun berhenti sejenak, menemukan Fadli yang kedua tangannya di letakan di dada. Terlihat begitu kecewa sementara Dila berkspresi datar. Berusaha untuk terlihat biasa saja. Akhirnya ia membalikkan tubuh dan mencoba untuk menggapai dahan tadi.

Love? Trust? Work? or Hobbies? [Dalam Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang