56. Usahanya

295 28 1
                                    

Masih dengan suasana sibuk seperti biasa, Rivan cepat-cepat mengerjakan pekerjaan yang ia tinggalkan pada Dila. Ia tak menyangka bahwa sebagian besar pekerjaannya akan beres secepat itu. Mengingat ia hanya 4 hari tidak masuk kerja dan tumpukan yang seharusnya ada di meja kerjanya itu sudah hilang begitu saja.

“Pak Rivan, selamat datang kembali.”

Desi tersenyum ketika mengetahui bahwa RIvan menghampiri meja kerjanya.

“Terima kasih Desi. Apa Dila ada di dalam?”

“Bu Dila tidak masuk kerja karena perintah dari Pak Tsunemori.”

Rivan menatap pintu ruang kerja Dila yang tertutup rapat dan mengembuskan napasnya kecewa. Ia sudah merasa begitu bersalah dan menyadari kebodohannya yang benar-benar fatal. Di sisi lain ia tak tega pada Amara karena gadis itu menjadi tempat pelampiasan perasaan hampanya. Tak sekali pun terlintas dalam benaknya untuk menyukai Amara sama seperti ia menyukai Dila. Bahkan ia ragu jika ada yang bisa menggantikan pesona Dila di matanya.

Bukan sebuah kata mungkin lagi jika ia sudah melakukan hal yang bodoh.

Ia akan terlambat untuk semuanya. Untuk perasaannya, keinginannya, juga kebodohannya. Dila yang tak lama lagi akan segera ditarik ke Jepang pun tak akan bisa ia hentikan. Bukan kekuasaannya untuk menunda keberangkatan Dila.

Berharap dengan bodoh merupakan hal yang paling tepat untuk ia lakukan. Menenangkan jiwanya dengan sebuah harapan memuakkan juga kebohongan yang melimpah.

Dengan ekspresi ramah yang menyembunyikan perasaan kelamnya, Rivan melangkah ringan menuju ruangannya. Di satu sisi ia ingin bersama Dila namun di sisi lain ia tak mungkin meninggalkan Amara begitu saja. Tatapan Dila yang saat itu begitu kesakitan membuatnya tak berani untuk melangkah maju menghadapi kenyataan juga enggan melangkah mundur untuk menyerah.

Pandangannya menatap langit yang tertutup awan tebal. Ia tersenyum ketika mengingat bahwa Dila pasti sedang menatap langit di rumahnya. Menikmati sentuhan angin pada permukaan kulitnya dengan menyesap secangkir teh. Tak dirasa olehnya, telinga pria itu kini memerah hanya karena membayangkan Dila tersenyum dengan senyuman andalannya.

Berkali-kali ia menatap bimbang pada ponsel di tangannya. Berusaha untuk melakukan sesuatu yang kiranya akan membantu hubungannya dengan Dila. Kemudian secara perlahan tapi pasti, ia memanggil seseorang.

“Bila, Kakak ada perlu denganmu.”

Beberapa saat Salsabila tak menjawab apapun yang dikatakan oleh Rivan. Seakan menunggu apa yang akan pria itu katakan. Lalu dengan embusan napas yang kuat ia bertanya pada Rivan.

Ada apa Kak?”

“Apa kamu bisa menghubungi Dila. Kakak minta bantuanmu untuk memperbaiki hubungan Kakak dengan Dila.”

Apa?”

Teriaknya tanpa memerdulikan kondisi telinga Rivan.

Kakak gila?! Mau diapakan Kak Amara? Dia itu baik, cantik, keibuan, anggun, lemah lembut. Sudah dengan Kak Amara saja.”

Beberapa saat Rivan terdiam seakan bisu. Ia tak berani mengatakan apapun karena apa yang Salsabila katakana adalah sebuah fakta yang logis. Siapa yang tak ingin perempuan seperti Amara menjadi istri mereka? Namun ia kembali tertegun ketika mendengar Salsabila terisak perlahan. Ia terkejut bukan main.

“Bil, ada apa?”

Ucapnya memburu, bahkan tubuhnya menegap secara reflex.
Sudah sekarang Kakak fokus saja dengan Kak Amara.

Salsabila mengakhiri panggilan mereka, menyisakan Rivan yang kebingungan. Sementara Salsabila yang menghapus air matanya masih meringis.

Ia tahu bahwa Dila menerima lapang dada dengan keadaan Rivan yang memilih perempuan lain. Sosok perempuan yang begitu tangguh dengan alasan yang paling masuk akal untuk menerima keadaan sulit seperti itu. Ia bisa merasakan ada sebuah rasa kekecewaan saat melihat Dila memasak bubur untuk Rivan tempo hari. Namun ia bisa melihat pula ketulusan Dila pada Rivan.

Tak Rivan ketahui bahwa Salsabila, Laura, dan Ibunya mengeluarkan air mata ketika kepulangan Rivan dan Amara dari kediaman Maulana saat itu. Saat di mana mereka terkejut mengetahui fakta bahwa Rivan memiliki perempuan lain ketika ia baru saja putus dari Dila. Mereka menangis tanpa sepatah kata, suara, maupun isakan. Sebuah air mata yang meluncur dengan halus namun mengandung esensi rasa sakit paling mendalam.

Terlebih Ibunya yang benar-benar kecewa pada Rivan karena telah melakukan hal yang luar biasa menyinggung perasaan Dila di hadapan matanya. Walaupun Dila terlihat normal, tapi sebagai Ibu ia merasa begitu salah mendidik Rivan.

Sungguh menyakitkan bagi Salsabila ketika melihat Amara yang begitu telaten memerhatikan Rivan. Perempuan itu hanya mengetahui bahwa Dila adalah teman Rivan. Namun mereka berdua sudah lebih dari itu. Ia seakan menipu Amara dengan cara yang paling tak bisa diartikan oleh kata-kata.

***

Dila merengut ketika telinganya begitu panas. Kemudian mata yang masih begitu awas itu memerhatikan kondisi ruang kerjanya. Ada beberapa kertas yang diremas berserakan secara acak di dekat tempat sampah. Pensil juga beberapa alat pewarna sudah bekerja begitu keras untuk menghasilkan gambar yang memuaskan untuk diberikan pada penggemarnya.

Kali ini ia sedang berkutat dengan digital drawing untuk menyelesaikan chapter terakhir dari komiknya. Tangannya sudah cukup kebas dan pegal, maka ia bersandar cukup santai dan meraih ponselnya yang berdering keras-keras.

“Assalamualaikum."

Matanya beralih fokus pada kanvas yang tergantung di dinding.

Dila, aku akan datang ke rumahmu. Yuni akan menginap, jadi hari ini aku hanya akan mampir. Aku membawa kue kesukaanmu.

Tanpa bercakap-cakap lebih panjang, Dila memberi tahu mereka untuk langsung masuk jika mereka telah sampai. Kemudian ia bangkit dan duduk di meja khusus untuk mengerjakan traditional drawing. Ada satu kertas yang baru ia kerjakan sebagian.

Beberapa saat ia begitu fokus pada apa yang ia kerjakan, lalu pening menghinggapi kepalanya. Sedikit membuatnya mengerang namun tak menghentikan kegiatannya terlalu lama. Ia hanya ingin melupakan masalahnya dan menenangkan pikirannya yang begitu kalut. Satu jam saja ia tak melakukan apapun, rasanya begitu penat dan menyakitkan. Pikiran negatifnya akan mengerubungi tubuhnya hingga ia benar-benar merasa begitu tak berguna. Maka ia sebisa mungkin menghindari hal itu.

Kebanyakan pemikiran negatif itu berasal dari kemungkinan terburuk dari kondisi ayahnya yang akan meminta dirinya untuk tak kembali ke Jepang. Sementara ia tahu bahwa jika ia berada di Indonesia lebih lama, kondisinya akan semakin memburuk. Mungkin jika ia tak pergi ke Jepang, pilihan lainnya adalah Inggris. Ia selalu senang jika berada di Negara yang benar-benar asing baginya.

“Whoops. Aku harus meminum vitamin lagi.”

Ia menghalangi hidungnya yang kini mengeluarkan darah. Kertasnya ternodai oleh warna merah pekat dan rasa pening itu kembali mengganggu otaknya yang kini berkabut. Dila meraih tisu di ujung meja namun segera sadar bahwa tisu itu habis. Dengan sedikit mengumpat ia membawa botol obat di satu ujung meja yang lain sembari melangkah keluar untuk membawa tisu. Mengeluarkan sedikitnya tiga tablet dan meminumnya begitu saja.

***


“Dila, kue mu sudah datang!”

Lina berteriak cukup lantang dengan mengangkat tinggi-tinggi bungkusan berisi kue. Ia  menendang sepatunya agar terlepas dari kakinya lalu melangkah riang ke ruang keluarga.

Yuni hanya mengembuskan napas lelah dan merapikan letak sepatu Lina. Membuka sepatunya dengan gaya paling sopan dan lembut. Kemudian berjalan santai di lorong dan menatap kembali foto-foto yang terpampang di dinding lorong. Ia senang sekali menatap foto di sana lama-lama. Namun suara benda yang terjatuh dari arah ruang keluarga.

“Mbak Lina ada ap—“

Dila!”

***

A/N

Ohoho perasaan mereka sering banget teriak nama Dila xD

Jika kalian penasaran, silahkan tunggu kelanjutannya ^^
Jangan lupa untuk vote, comment, share, masukkan ke library dan reading list kalian ^^

See ya!

Warm regards,
Matsushina Miyura

Love? Trust? Work? or Hobbies? [Dalam Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang