58 - Waktunya Berhenti

522 41 3
                                    

"Everybody wants happiness, nobody wants pain, you can't have a rainbow without a little rain."

***

"Alfian?" Caroline mengulang penuturan wanita paruh baya itu dengan bingung.

Bibi Tita mengangguk. "Iya, non. Dia nunggu dibawah. Permisi ya, non."

Bibi Tita berlalu pergi dan menutup pintu kamar nona mudanya.

Caroline mengangguk dengan wajah yang masih terlihat bingung. Buat apa Alfian datang malam-malam seperti ini?

Memikirkan Alfian, tanpa sengaja mengingatkannya dengan bingkai foto yang diberikan Shinta dikotak tadi.
Matanya melirik bingkai foto itu lalu bergegas turun ke ruang tamu.

Suara derap kaki terdengar dari arah tangga membuat Alfian mengalihkan perhatiannya dari ponsel menuju object tersebut. Caroline.

Caroline berjalan mendekatinya dengan wajah yang sedikit aneh sekaligus bingung.
"Kenapa? Lo tau, kan, semingguan ini gue gak mau diganggu dulu?"

Alfian menghela nafas dan mengangguk. "Iya, gue tau. Tapi, bunda ngotot pengen ketemuan sama lu malam ini. Dia udah pulang dari luar kota dan lagi nungguin lu dirumah."

Caroline terkejut mendengarnya, namun kembali menormalkan mimik wajahnya. "Lo bisa bilang ke bunda kalo gue lagi diluar kota, kan? Imposibble."

Alfian menggeleng cepat. "Enggak bisa! Daritadi gue udah bilang gitu, tapi dia tetep gak percaya."

Caroline berdecak sebal. "Gue enggak mau. Udah gue bilang dari awal kalo gue gak mau diganggu dulu." Ia memutar tubuhnya dan bersiap melangkah menuju tangga untuk ke kamarnya lagi.

Melihat itu, dengan segera Alfian menarik lengan kanan Caroline hingga sang empu berbalik menghadapnya. "Please, Car. Kalo gue gak bawa lu, bisa-bisa malam ini gue tidur dihalaman rumah."

Caroline seperti merasa tersengat listrik ketika pria itu memegang lengannya. Refleks ia hempaskan tangan Alfian, dan meliriknya sedikit.
"Itu nasib lu."

Alfian tak mau menyerah, ia kembali memegang lengan Caroline dengan memohon. "Tolong, Car. Kali ini aja. Setelah itu gue gak akan deket-deket lo lagi, gue bakal menjauh."

Menjauh? Kenapa dada gue sesek dengernya?, batin Caroline membatu.

"Tolong gue kali ini aja." Alfian menatap punggung gadis yang berada dihadapannya itu dengan memohon.

Caroline tersadar dan menghela nafas panjang. Ia mengangguk singkat. "Oke, kali ini aja."

***

Caroline memasuki rumah Alfian yang selalu membuatnya takjub. Sangat minimalis dan elegant.

Seorang wanita dengan hijab hijaunya yang cantik berjalan cepat menuju dirinya dari sofa ruang tamu. "Caroline!"

Caroline mengulas senyum manis dan menyambut pelukan hangat Fitri--ibu Alfian. "Hai, bunda. Bunda sehat?"

Fitri melonggarkan pelukannya dan mengangguk antusias. "Iya, sayang, bunda sehat-sehat aja. Kamu gimana? Sehat?"

Caroline mengangguk dengan senyum yang masih menghiasi wajah cantiknya. "Sehat, kok, bun. Kenapa bunda manggil Caroline malam-malam begini?"

Fitri tersenyum khas keibu-ibuannya. "Bunda kangen kamu, anak perempuan bunda. Ups! Bukan! Maksudnya calon menantu bunda." Fitri tersenyum-senyum geli menatap Caroline dan anak lelakinya yang terkejut mendengar penuturannya barusan.

Enemy But FriendsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang