56 - Mulainya Niat Awal

501 23 1
                                    

Enemy But Friends on going seperti biasa. Hiatus sudah selesai.
Selamat membaca dan maaf Dinda baperan hehe
***
Tepat jam setengah 5, Caroline dan lainnya memutuskan untuk bubar dan kembali ke rumah masing-masing. Dora dan Mackie pulang dengan motor ninja mereka, serta Caroline yang juga membawa motor ninjanya. Sedangkan pria yang duduk disamping Caroline saat makan di Restaurant Jepang tadi ia pulang dengan mobilnya.

Caroline kembali ke Villa keluarganya seperti niat awalnya. Memikirkan semuanya tanpa ada yang menganggu. Walaupun ia juga ragu, apa abangnya itu takkan mengganggunya. Sepertinya abangnya itu masih di Villa. Yang terpenting sekarang ia harus memulaikan niat awalnya. Ia tak mau harus tersiksa dengan pikiran-pikirannya sendiri yang bisa membuatnya mati dengan perlahan.

Caroline menghempaskan tubuhnya diatas ranjang dan menumpukan kedua tangannya diatas jidat. Hembusan nafasnya terdengar panjang menyiratkan kelelahan.

Bayang-bayang punggung Alfian dan wajah Shinta yang terlihat bahagia tadi terlintas dibenaknya. Itu membuatnya semakin lelah dan tak tahu harus berbuat apa sekarang.

Ia beranjak dari ranjangnya dan berjalan keluar untuk kelantai bawah. Ia ingin menemui abang tercintanya.

"Bang! Yuhu!" panggil Caroline dengan suara sedikit keras. Kepalanya menoleh kekanan dan kekiri mencari sosok bertubuh tegap dan atletis yang biasa dibalut dengan hoddie. Abangnya itu sepertinya sangat menyukai hoddie dan jaket, dari pulang Singapura dia selalu memakai hoddie atau jaket dengan tudung dikepala atau topi. Setiap hari. Tentunya dengan berbagai merk dan model, tidak mungkin memakai yang itu-itu saja. Nanti bau bawang dong.

Hanya suara ombak dari luar yang menyahut.

"Bang! Lu nyumput-nyumput gitu, awas disumputin wewe gembel beneran loh!" ancam Caroline sedikit jengkel.

Suara ombak tetap setia menyahut.

"Ba--"

"Den Rafi udah berangkat ke Singapura lagi, non," potong Bibi Tita menyahut dari arah dapur.

Caroline mengernyit, kok ia tak tahu?
Ia melangkah mendekati dapur dan berdiri dibelakang Bibi Tita yang sedang memasuki bahan-bahan kue yang tidak diketahuinya.
"Kapan perginya, bi? Kok Carol gak dikasih tau, sih?"

Bibi Tita mengulas senyum simpul sembari meraih telur untuk dimasukkan kedalam adonan. "Baru tadi siang, non, katanya den Rafi gak mau ngeganggu non yang lagi jalan-jalan sama temen-temennya."

Caroline merengut sebal. "Carol nyesel tadi jalan-jalan, mending nganterin bang Rapi ke bandara."

"Nah, itu, non, den Rafi gak mau nanti non malah nganterin dia, dan jadi gak main sama temen-temennya. Non Carol, kan, udah berusaha belajar buat ujian ini, masa gak main buat hari ujian terakhir? Gitu, non," ujar Bibi Tita menjelaskan.

Caroline menghela nafas dan mengangguk paham. "Yaudah, deh, bi."

Ia beranjak menuju meja makan dan duduk seraya menopang dagunya dengan tangan kanan dan termenung.
Padahal bang Rapi kesini cuman seminggu. Terus, pergi lagi. Bentar banget, batinnya menggerutu.

Caroline memutuskan untuk menelpon abangnya itu via videocall untuk protes. Terdengar deringan telpon ketika menelponnya, namun beberapa detik kemudian terdengar deringan yang menandakan telpon dimatikan.
Ia melihat layar ponselnya dan tercengang. "Dimatiin? What the...?"

Ia menaruh ponselnya diatas meja dengan sedikit bantingan dan bangkit dari duduknya. Ia melangkah menuju ruang keluarga yang berada ditengah-tengah Villa, menduduki bokongnya disofa panjang dan menghidupkan Tv.

Yang muncul berita tentang tsunami. Ia meraih remote-nya lagi dan menekan angka 2. Channel MNCTV. Seperti biasa, jam segini adalah jadwal tayangnya Upin dan Ipin.
Ia meraih tupperwear berisi kue kering dari atas meja dan memakannya dengan mata yang terfokus pada layar Tv.

Enemy But FriendsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang