56 - Mulainya Niat Awal

Start from the beginning
                                    

Caroline menaruh kotak itu dibawah dekat kakinya serta ponselnya sebelum mengambil pena itu dan segera mentandatangani tempat yang ditunjukkan pria itu.
"Makasih ya, mas," ujarnya dengan senyum.

Pria itu mengangguk dan membalas senyum Caroline sebelum beranjak pergi dengan motor matic-nya.

Caroline kembali mengambil kotak itu dan masuk kedalam Villa. Ia duduk diatas sofa panjang di ruang keluarganya dan menaruh kotak itu diatas meja.
"Siapa yang punya, sih? Apa Bibi Tita beli online?" gumamnya bertanya-tanya. "Panggil Bibi Titanya aja deh."

"Bi Tita!" panggilnya dengan setengah menjerit.

Bibi Tita berlari dari arah dapur menuju dirinya. "Kenapa, non?"

"Bibi beli barang online ya? Itu punya Bibi?" tanya Caroline sembari menatap kotak itu dan Bibi tita bergantian dengan sarat bingung.

Bibi Tita melihat kotak itu dan menggeleng dengan tatapan yang juga bingung. "Bibi aja gak tau cara beli online gitu, atuh, non. Maklumlah, namanya juga wong deso."

Caroline mengangguk-angguk paham. "Yaudah, deh, bi. Oh ya, bi," ujarnya kembali menoleh melihat wajah Bibi Tita yang sudah sedikit keriput membuat Bibi Tita yang tadinya ingin ke dapur lagi menjadi terhenti.

"Kenapa, non?"

"Bibi buat kue apa?" tanya Caroline penasaran.

"Bibi buat kue bolu pandan buat non Carol," balas Bibi Tita dengan senyum keibu-ibuannya.

Caroline tersenyum senang. "Udah jadi, bi?"

Bibi Tita mengangguk. "Udah, non, ini mau bibi ambilin buat non." Bibi Tita hendak berlalu, namun lagi-lagi terhenti oleh suara Caroline.

"Eh, enggak usah, bi! Biar Carol yang ambilin aja," tolak Caroline lembut.

"Bilang aja non mau ambil yang banyak, kan?" Entah pertanyaan atau pernyataan yang terlontar dari bibir Bibi Tita membuat Caroline cengengesan.

"Bibi tau aja."

Bibi menggeleng-geleng dan berjalan menuju dapur dengan diikuti Caroline dibelakang.

Nampak kue yang berwarna hijau dengan diatasnya berbalur keju parut berada diatas meja makan dengan dua piring kecil ada disampingnya. Tak lupa 2 sendok juga ada diatas piring itu.
Caroline yang melihatnya, sontak berlari meraih pisau kue didalam tempat sendok dan garpu, lalu memotong kue berbentuk bulat dengan ditengahnya berlubang itu pelan-pelan agar kejunya tak berjatuhan.

Bibi Tita yang melihat itu hanya bisa mengulas senyum simpul dan mencuci semua alat yang dipakainya untuk membuat kue tersebut.

Caroline bingung melihat piring kecil yang hanya berjumlah 2. Padahal yang tinggal di Villa ini berjumlah 3. Apa Bibi Tita tak bisa berhitung?

Mungkin aja, batin Caroline seraya mengedikkan bahunya acuh.

Ia mengambil piring kecil lagi didalam rak piring dan segera menaruh 2 iris kue pada masing-masing piring. Setelah selesai, ia mengambil dua piring dan bergegas keluar dari dapur.

Bibi Tita yang melihat Caroline membawa dua piring menjadi terperangah. "Non! Kok bawa dua piring? Kalo laper makan nasi, atuh, non!"

"Satunya buat pak Surya, bi! Yakali Carol makan empat? Piring yang dideket kue itu punya bibi ya!"

"Bibi gak usah, non! Buat non Carol aja!" tolak Bibi Tita tak enak hati.

Caroline berhenti berjalan dan menolehkan sedikit kepalanya pada Bibi Tita yang tak bergerak dari depan wastafel.
"Pokoknya itu buat bibi! Kalo Carol mau lagi, kan, bisa ambil lagi, dan kalo abis bisa minta bibi buatin lagi."

Bibi Tita akhirnya mengangguk meng-iyakan, walaupun masih tak enak hati. "Baik, non. Makasih sudah baik ke saya ya, non. Saya terharu." Perempuan setengah baya itu malah hampir meneteskan air matanya karena terharu dengan sifat baik nona mudanya. Ia tak percaya masih ada gadis muda yang kaya seperti nona mudanya memiliki sifat baik dan ramah. Biasanya ia selalu mendapatkan nona muda yang manja, kasar dan pemaksa dari majikannya yang dahulu. Tapi, sekarang ia sangat bersyukur mendapat nona muda seperti Caroline. Ia jarang bertemu Caroline, bahkan baru sekali ia melihat Caroline saat liburan semester 1 di SD kelas 5 nya.

Caroline yang melihat itu, sontak terkejut. "Eh-eh, jangan nangis, bi! Gak papa kok, bi. Walaupun bibi itu pelayan di keluarga saya, kita derajatnya masih sama, kok, dimata sang pencipta. Jadi, bibi jangan sungkan-sungkan sama saya kalo ada apa-apa ya, bi. Bilang aja ke saya."

Bibi Tita tersenyum bahagia. "Baik, non!"

Caroline ikut bahagia melihatnya. Hatinya menghangat dan pikirannya bisa tenang sekarang. Hanya karena membuat orang lain bahagia, ia menjadi seperti ini. Memang indah membuat orang lain itu bahagia. Walaupun kita sendiri tak merasakan itu, dan yang terasa hanya sakit didada. Setidaknya ia mendapat pahala dari yang diatas.

Caroline berbalik dan menghela nafas sebelum kembali berjalan menuju pintu Villa.
Setelah beberapa langkah, ia membuka pintu utama Villa dan terlihatlah seorang pria dengan tubuhnya yang sedikit berisi serta berkulit coklat duduk dikursi teras Villa itu. Pak Surya.

Pak Surya spontan menoleh ketika suara pintu terbuka dan mengulas senyum ketika tahu bahwa nona mudanya yang keluar.

Caroline balas tersenyum dan mendekati Pak Surya. "Ini kue buat bapak," ujarnya seraya mengulurkan piring kecil berisi 2 iris kue bolu pandan tadi.

Pak Surya terkejut. "Beneran buat bapak, non?" tanyanya sedikit tak percaya.

Caroline mengangguk dengan senyum yang masih melekat. "Iya, pak. Dimakan ya."

Pak Sura menerimanya dengan senang. "Makasih ya, non."

Caroline ikut senang melihatnya.
"Yaudah, pak, Carol masuk ya soalnya dingin banget. Bapak pake jaket, gih, nanti sakit."

Memang benar apa kata Caroline, malam ini entah kenapa udara lebih dingin dari biasanya. Caroline yang sudah memakai piyama panjang saja masih bisa merasakan udara yang menusuk-nusuk kulitnya, apalagi Pak Surya yang hanya memakai kaus pendek?

Pak Surya menggeleng pelan dengan kepala yang menunduk.

Entah kenapa pria setengah baya itu terlihat sedih.

Caroline mengernyit bingung. "Loh, kenapa, pak? Udaranya lagi dingin banget, masa gak mau pake jaket?"

"Saya mau pake jaket, cuman jaketnya gak mau dipake saya," balas Pak surya dengan mendongak dan tertawa.

Tawanya terdengar hambar ditelinga Caroline. Jika saja yang mengucapkan itu Dora ataupun Mackie, pasti ia sudah mengejek mereka habis-habisan dan tertawa sekencang-kencangnya. Namun, bedanya ini yang mengatakan Pak Surya dengan tawa hambar, bukan mereka. Tak mungkin jika ia mengejek pria itu dan menertawakannya, bukan? Bisa dianggap anak majikan yang tidak sopan dan kejam.

"Maksudnya, pak?" tanya Caroline tak mengerti.

"Saya gak punya jaket, non," balas Pak surya menjelaskan langsung keinti.

Caroline terkejut bukan main mendengarnya.

"Gaji bulan ini udah bapak bayar buat bayar listrik sama bayar sekolah anak bapak yang bungsu. Jadi, bapak gak ada uang buat beli jaket. Yang ada cuman kaus ini." ujar Pak Surya menunjuk kaus coklat lusuhnya sendiri dengan sarat kesedihan yang sangat terlihat.

Caroline rasanya ingin menangis mendengarnya. Ia bisa hidup enak-enak, menghambur-hamburkan uang, sedangkan orang lain bersusah payah mencari uang demi keluarga mereka. Belum lagi Pak Surya yang umurnya bisa tebak 50an. Pasti sangat susah mencari kerja dengan umur yang segitu.

"Anak sulung bapak udah kerja?" tanya Caroline pelan.

Pak surya menggeleng dengan menghela nafas lelah. "Belum, non, dia pengangguran."

"Umurnya berapa, pak?"

"16 tahun."

ABCDSPSZNJSJKASK---

TBC
See you.

Regards,

Dinda.

Enemy But FriendsWhere stories live. Discover now