Chapter 3 - Jadilah Temanku

765 87 25
                                    

.... bersediakah kau menjadi temanku? Aku memang tak dapat melihat karena mataku buta, namun hatiku tak buta aku dapat merasakan hangat jiwamu, dan telinga ku tak tuli, aku dapat mendengar keluh kesah mu, serta mulutku tak bisu, sehingga aku bisa setiap saat menghiburmu. Jadi, bersediakah kau menjadi temanku?...

*
**
***

[No proofreading. Typos bersebaran.]

Hari itu, Nadine telah berjanji kepada teman-teman nya untuk kembali pergi mencari informasi tentang kota Fredericksburg.

Pagi yang cukup dingin di Kota London, namun itu tak menganggu langkahnya untuk keluar dari rumahnya.

Sama seperti beberapa hari yang lalu saat ia melewati jalan sepi itu, angin berhembus seakan berbisik dan hawanya dingin, walaupun memang pagi itu dingin, namun dingin ini berbeda. Seperti dingin yang misterius, menusuk ke dalam jiwa yang lara.

Lampu jalan tua yang sama, dan kursi taman tua yang sama pula. Disana, dikursi itu, sama seperti beberapa hari yang lalu. Seorang pria buta misterius yang sama duduk di kursi itu, seperti de javu, Nadine melangkah ragu melewati pria itu. Jika pria itu tak buta, ia pasti telah menyapa nya. Namun ia sedang tak ingin menyapa, ia pikir belum tentu juga sang Pria buta itu masih mengingat suaranya. Lain, jika ia hanya pura-pura buta. Daripada memikirkan banyak resiko, ia memilih untuk tak menyapa dan berlalu pergi.

Namun, langkah Nadine terhenti saat mendengar suara dari pria itu.

"Nona! Apakah kau ingat padaku?" Tanyanya.

Nadine sungguh keheranan, ia sungguh tak merasa sedikit pun mengeluarkan suara dari mulutnya, dan kakinya berusaha tak menginjak genangan air. Lalu, darimana pria itu tau bahwa dia ada disana, dia seorang 'nona', dan lebih mencengangkan darimana ia tau bahwa dia Gadis yang sama, yang mengantarkannya ke halte bis beberapa hari lalu.

Walaupun ragu Nadine perlahan mendekati pria buta itu, dan menjawab "I..iya, Tuan. Saya yang waktu itu..." Ucapnya terbata, entah mengapa ia kembali menggunakan bahasa formal.

Pria itu tesenyum, "kalau begitu, pakai saja bahasa non-formal seperti waktu itu, dan jangan panggil aku 'Tuan', panggil saja nama depan ku. Apakah kau lupa namaku, Nadine?"

Nadine setengah tak percaya, bukan hanya ingat tentang dirinya, pria ini-pun mengingat namanya. Nadine mencoba mengingat-ingat nama pria itu, dan ia memang mengingat nya, namun ia sedikit canggung untuk memanggilnya dengan nama itu.

"Jangan ragu, Nad. Sebut saja namaku, bila memang kau masih ingat.."

"Ja..mes..." Ucap Nadine pelan.

Pria itu kembali tersenyum dalam pandangan kosong di balik kacamata hitamnya, "iya, seperti itu. Kalau begitu, Ayo duduklah di samping ku, aku memang buta, tetapi aku tau kau masih berdiri... Sekarang, ayo duduklah.."

"I..iya, Ja..james..." Bibirnya masih terbata saat menjawab sembari ia duduk di kursi taman tua itu bersama sang Pria buta itu.

Dinginnya permukaan kursi taman itu terasa menusuk di kulit Nadine yang berbalut celana jeans.

Nadine membisu, ia bingung harus berkata apa. Ia sebenarnya ingin berpamit pergi karena teman-teman nya pasti sedang menunggu nya. Namun, ia masih menunggu pria itu berbicara, siapa tau ia ingin meminta bantuan lagi.

Dengan sedikit memberanikan diri, Nadine pun membuka suaranya, "Ja.. James... Apa kau butuh bantuan lagi?"

James tersenyum lagi, "iya, aku butuh bantuan... Lagi..."

Dari Balik Mata Sang GagakWhere stories live. Discover now