47 - Pengakuan

Mulai dari awal
                                    

(Menyimpan rasa-Devano Danendra)

Hingga petikan terakhir mata Alfian masih tertuju pada manik mata Caroline membuat sang empunya sedikit salah tingkah. Bukan sedikit lagi sih. Tapi, sangat.

Deg

Deg

Kenapa gue deg-degan gini sih?, batin Caroline tak nyaman. Tuh mata juga ngeliat mata gue, gak salah dong kalo gue deg-degan? Aelah!, sambungnya menggerutu.

Lagi dan lagi Alfian menggenggam kedua tangan Caroline lembut. "Itu lagu buat lu. Lu ngerti maksud gue, kan?"

Caroline mengangguk kaku. "Gue paham kok. Terus?"

"Kok malah terus? Lu gak pernah ditembak orang ya sampe malah nanya kayak gitu?" tanya Alfian sembari sedikit mengejek. Ia tertawa ngakak.

Caroline mengerucutkan bibirnya sebal. "Mereka tuh pada takut ditolak, mangkanya pada gak mau nembak! Padahal mah aslinya banyak yang suka." Caroline mengibaskan rambutnya dengan percaya diri.

"Bukan karena takut ditolak, karena memang lu nya gak laku kali!" Alfian semakin ngakak. "Lagian, muka lu tuh serem kayak om-om preman, mangkanya pada gak mau nembak lu!" tambah Alfian disela-sela tawanya.

Wajah Caroline semakin masam.
"Gak usah ketawa, mulut lu bau dosa!" tanya Caroline dengan meremehkan.

"Apa hubungannya?" tanya Alfian dengan wajah yang meremehkan gadis didepannya itu.

"LDR! Udah ah, anter gue pulang!" pinta Caroline dengan wajah masamnya bercampur asin.

"Bayar ya, neng," ujar Alfian sembari kembali membungkus gitarnya dengan kainnya dan menaruhnya di joke paling belakang.

"Pake apa?" tanya Caroline bingung.

"Cium dipipi aja kok, gak lebih," balas Alfian dengan menatap Caroline menggoda.

Caroline memukul lengan Alfian dengan kesal dan salah tingkah. "Apa sih! Udah lah, cepet! Gue mau cepet-cepet pulang, bang Rapi pasti udah nungguin gue!" Ia merogoh slingbag-nya ingin mengambil ponselnya, namun tidak ketemu.

Ia panik, dan menarik slingbag-nya hingga tepat didepan matanya. Tangannya mengecek tasnya itu lagi dengan panik.
"Mana hp gue?!"

Alfian yang mendengar itu mengernyit. "Mungkin ketinggalan di cafe, bis."

Caroline menepuk dahinya keras-keras. "Oh iya! Masih diatas meja! Bentar ya, pan!" Dengan terburu-buru ia membuka pintu mobil dan menutupnya.

Belum dua detik Caroline keluar, pintu mobil kembali terbuka membuat Alfian refleks menoleh.
"Jangan ninggalin gue! Awas ya lu!" Setelah mengatakan itu, Caroline kembali menutup pintu dengan membanting keras karena panik ketika mengingat ponselnya masih didalam cafe. Ia takut ponsel itu sudah ludes diambil wewe gombel! Eh maksudnya diambil pelanggan atau pelayan!

Alfian melihat pintunya yang dibanting keras menjadi sedih, ia memeluk pintu itu dan mengelus-elusnya. "Yang sabar ya, pintu."

Caroline dengan tergesa-gesa membuka pintu cafe hingga lupa jika pintu itu cara membukanya dengan didorong kedepan, bukan digeser. Hingga pelanggan yang keluar dari cafe yang melewati pintu disebelahnya dengan mendorong kedepan pun melihat Caroline dengan heran, namun tak sedikit juga yang tertawa. Bahkan pelanggan yang didalam cafe yang melihatnya pun terheran-heran dan menertawakan dirinya.

Caroline yang melihat itu menjadi terperangah, lalu dengan cepat mendorong pintunya dan masuk kedalam. Ia sedikit menutup wajahnya karena malu, dan berjalan pelan ke meja yang tadi ia tempati dengan Alfian.

Enemy But FriendsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang