[15] Caira

53 12 2
                                    

Aku jadi tahu derita apa yang dirasakan jika di bully. Nggak enak. Ngerasa ingin menyendiri dan menjauh. Lalu, menjadi trauma sendiri akhirnya, dan memang, tidak semua orang mencintai kita, pasti ada saja pembenci. Nggak perlu orang suka sama kita kan? Tapi bukan berarti juga, aku nyaman, jika seperti ini. Justru aku rasa ini cobaan berat bagiku.

"K-kak, kakak nangis. Ini aku ada tisu buat Kakak,"

Aku kaget saat aku sedang menutupi wajahku dengan kedua tanganku, dan berusaha tak menyuarakan isak tangisanku ini yang sebenarnya, ingin.. Sekali, aku menangis sekencang mungkin.

Aku melihat kearah depanku melihat keatas.
Ada seorang anak kecil sekitar 9 tahun, memakai baju yang lusuh berwarna merah, dan rambutnya dikuncir, dia menawarkan tisu jualanannya kepadaku, sambil membawa satu kantung plastik besar berisi setumpuk tisu, dia cantik, matanya belo, dia seperti iba kepadaku. Aduh, ketahuan berarti? Jadi malu..

Segera aku hapus air mataku.

"Kak, ini pakai ini aja. Gratis buat Kakak. Karena memberikan sesuatu dengan ikhlas, lebih baik." katanya lagi yang membuatku lama-lama merasa tidak enak. Dia menyodorkanku satu tisu kemasan.

Tapi karena aku terus diam, mukaku tertunduk, tak menjawab apa pun. Dia langsung meraih tanganku, dan memberikan tisunya. Aku terpaku.

"Kakak nggak boleh nolak ya. Tisu adalah penyelamat Kakak, tangisan nggak boleh nggak dihapus Kak. Nanti kalau bekas tangisan Kakak ketahuan. Aku nggak tega sama Kakak, aku tahu perasaan Kakak," lanjutnya lagi.

Aku mengenduskan nafas, berhenti menangis karena, dia seperti tahu, apa yang aku rasakan, bahkan dia tidak ingin bekas tangisanku ketahuan. Aku jadi teringat suka memberi tisu kepada Yuni siap sedia jika dia menangis, atau pun berceceran tinta, dan akhirnya, mau angkat bicara, "Terima kasih, dek,"

"Sama-sama Kak,"

"Dek, tunggu dulu!" cegatku.

"Ada apa ya Kak?"

"Sini dulu sebentar,"

Dia berbalik, dan berjalan kearahku lagi, lalu ku minta untuk duduk disampingku.

"Namamu siapa?"

"Caira Kak,"

"Sebelumnya, terima kasih, Caira. Karena kamu udah mau kasih kakak ini. Mm.. Udah makan belum?" tanyaku.

"Mmm..," dia seperti tak mau menjawab. Sebenarnya, aku sudah bisa menebak.

"Kalau belum.. Sebagai balas budi, Kakak, mau ngasih ini," aku mengeluarkan kotak makan berisi nasi goreng buatan Mbak Inem untuk bekalku, yang tidak aku makan. Karena tak nafsu.

"Ng-gak usah Kak," tolaknya sungkan-sungkan.

"Kakak nggak mau kalau kamu nggak makan. Kakak ikhlas kok. Anggap saja, sebagai balas budi Kakak, bawa pulang saja sekalian kotaknya ya,"

"Baik Kak. Terima kasih ya.. Mm.. Aku makan sekarang ya, kayaknya enak," katanya.

"Iya, sama-sama, nggak apa-apa Kok. Pasti enak," aku pun tersenyum melihatnya. Dia mau makan. Seneng banget. Nggak tahu, kenapa, ada rasa kebahagiaan karena bisa berbagi kesesama. Meski dia masih kecil, tapi perhatiannya sangatlah so touch to heart. Aku kagum, bahkan sampai mengelus rambutnya itu.

"Oh iya, nama Kakak siapa?" tanyanya lupa.

"Eh iya. Nama Kakak, Nadila."

"Kelas berapa Kak?"

"9 SMP. Hehe,"

"Ohh,"

Sambil melihat ia makan dengan lahap, aku juga bertanya-tanya kepadanya. Dia tinggal tak jauh dari sini. Didekat danau. Sekarang duduk dibangku kelas 3 SD. Uang dari hasil jualannya, untuk biaya kebutuhan sehari-sehari. Sekolahnya, sudah ada yang membiayai tapi untuk sehari-hari harus mencari nafkah. Aku terharu melihat gadis seumurannya, yang harusnya menikmati masa-masa bermain, dll.. Tapi dia harus berjualan disekolahnya, dan sepulang sekolah, ia kesini untuk berjualan, atau distasiun yang tak berada jauh dari sini. Lalu dia belajar. Ibunya berjualan sebagai penjual kue, dan ayahnya bekerja sebagai penjual barang bekas. Sedangkan aku? Dulu soal kebutuhanku terfasilitasi semua. Aku harus lebih, bersyukur sepertinya.

Reach (The Story Of Lefty Hand)Where stories live. Discover now