[33] Maaf?

38 4 9
                                    

"Nad, kita dipanggil Yuni tuh," sahut Hanna, yang tadinya sempat terdiam, jadi menyahut dan ikut menghampiri Riri & Yuni. Aku pun mengikutinya dari belakang.

Kenapa kamu gitu sih Kak? Batinku malah merasa perih.

***

Sepulang dari Monas, kami mencari tempat makan terdekat, karena sejak tadi kami sudah kelaparan. Apalagi aku perutku sudah mengamuk masa ramai-ramai, didalamnya. Kami memesan, soto betawi, dan segelas teh manis hangat.

"Kita cuci tangan dulu ya," kata Yuni dan Hanna bersamaan. Sebelumnya aku dan Riri sudah duluan.

"Okey,"

"Nad, soal tadi, kamu nggak pengin Yuni tahu kita mau..-" potong Riri. Untung, tadi dia langsung mengerti.

"Iya.. Aku gak yakin dia mau nerima aku kejepang atau nggak. Aku takut sebenarnya. Gak tega juga," ucapku. Karena selain itu, aku merasakan perasaan tidak enak, jika aku benar, meninggalkannya. Apa lebih baik, aku memang tak usah ikut saja?

"Oke..,"

***

Semenjak dari Monas, aku melupakan permasalahan soal study tour-ku. Mungkin, aku bahagia? Ya, berkat Yuni, Hanna, dan Riri. Beban masalahku, terlupakan. Akan tetapi, saat aku menginjakkan rumah, rasanya berat, dan sakit. Aku segera berlari menuju kamar, dari arah tangga, aku belok kekiri, kamarku berada. Akan tetapi..

"Nadila," Kakhal mencegatku, dengan memegang tangan kananku segera. Tanpa aku sadari, dia sudah menungguku. Seketika aku teringat pesan yang ia kirim tadi.

"Lepasin Kak!" aku berusaha melepas cengkraman itu, tanpa mau menatapnya. Tapi, aku melihat sekilas, dia tampak sedih.

"Kakak, mau ngomong dulu, sama kamu?"

"Ngomong apa? Kakak nggak perlu ngomong apa-apa. Semua sudah jelas bukan?" aku pun, menatapnya dingin seraya mengernyitkan keningku.

"Nad, kakak bisa jelasin!"

"Kak, aku capek! Aku mau kekamar," aku melepas dengan paksa tanganku. Ini pertama kalinya, aku berkata separah ini kepada Kakhal. Yang biasanya bercanda. Tidak tahu kenapa, ini begitu serius. Bahkan, aku tak menyangka. Barusan, aku berbicara lancang padanya. Membuat tangannya melepas lengan tanganku, membiarkanku masuk kekamar.

Bam!
Suara pintu kamarku mendobrak begitu saja.

Dek, kakak bisa jelasin.. Dan dia hanya bisa menangis, karena, gagal dan menyesal. Rasanya sesak,

Mengingat, tadi pagi adalah awal mula yang buruk. Menjadikan diriku seperti, orang yang tak peduli, dan tak acuh..

***

Aku menyambar sarapanku, sepotong sandwich saja. Kemudian pergi, dan tak lupa mengucapkan salam. Tatapanku sedari tadi cuek, datar, dan dingin.

"Aku berangkat," ujarku tanpa menatap satu pun anggota keluarga dirumah yang sedang duduk manis dimeja bundar, melaksanakan sarapan bersama. Baru saja, aku keluar, setelah tahu ojek online yang aku pesan sudah didepan rumah. Aku baru keluar dari kamar, dan tidak ikut sarapan.

"Dek, kamu jangan sarapan sama sandwich doang? Ntar, drop gimana?" Tanya Mama akhirnya, saat aku sudah mau jalan, keluar ruang makan.

"Aku beli makanan dekat, rumah Riri," jawabku agak keras, segera yang masih melanjutkan jalan keluar. Padahal, aku tidak masalah, hanya memakan sepotong sandwich. Setidaknya, aku makan bukan?

Kakhal hanya murung saja, seperti perasaan tak enak. Dia sempat melirik sedikit kearahku. Nafsu makannya pum, hilang.

Papa menyeruput kopinya, sedangkan Mama hanya memperhatikan keduanya, aku dan Kakhal. Ya, aku, menjadi begitu cuek. Setelah kejadian tadi malam. Aku melihat ia yang ketahuan berdiri didepan kamarku.

Reach (The Story Of Lefty Hand)Where stories live. Discover now