[21] Pengakuan?

50 9 4
                                    

"Jawab! Kemarin gue lihat ada peserta yang mirip banget sama lo," bentaknya lagi, dengan cara paksa. Yuni hanya bisa diam menunduk saat itu. Dia tidak bisa mengelak.

Aku seperti ingin melerai dan membela antara Yuni dan Gisel. Tapi mustahil saja.. Aku kan sedang berjauhan.. Jadi, aku terpaksa, memilih diam dan memperhatikan mereka sedikit, sambil berpura-pura baca buku yang aku bawa. Agar tidak ketahuan memperhatikan.

"Mi-mirip aja kali.. A-aku nggak mungkin ikutan..," jawabnya terbata-bata.

Tatapannya masih tak percaya, "Bagus deh.. Soalnya.. Lo mana cocok ikutan kontes kayak gitu? Suara lo emang bagus?" Ledek Gisel.

Gue gak yakin yang gue lihat kemarin itu bukan lo. Jelas-jelas suaranya mirip saat dia sempat nyanyi dicafe kemarin.. Gue nggak suka, kalau dia bisa ikut kontes itu! Batin Gisel.

Emosiku sudah tidak tahan. Gisel meremehkan Yuni. Ia bilang Yuni nggak cocok? Manusia mana yang merendahkan diri seseorang dengan ia rasa benar? Apa ia tak sadar? Dirinya belum benar sepenuhnya..

Karena Yuni hanya bisa diam. Gambarnya pun dilihat oleh Gisel dengan memiringkan mulutnya dan tertawa kecil.

"Haha.. Gambar apa ini? Gak berbakat..," Gisel merobek kertas itu tanpa memikirkan, kerja keras Yuni. Dia tertawa puas.

Yuni menunduk terus, dia menahan rasa sabarnya, mencoba agar emosinya tetap terjaga. Dia tak ingin membalas.

Setelah itu Gisel pergi begitu saja dari kelas. Diujung sana, aku melihat Yuni yang lagi-lagi menangis sambil menutupi dirinya. Aduh, greget! Rasanya ingin lindungin Yuni.

***

"Nadila!" panggil Yuni sepulang sekolah. Ini kali pertama setelah sekian lama ia memanggil namaku. Namun aku menghiraukan karena sedang sibuk membantu piket.

"Nadilaa!" dia memanggil sekali lagi, dan menarik tanganku.

"Ada apa?!" ketusku.

"Kamu gak usah sok peduli sama aku. Ngapain kamu ganti buku perpus yang aku pinjam?" tanyanya. Sudah ketebak. Dia, pasti akan bertanya seperti itu.

"Apaan sih? Aku gak ganti apa-apa," maaf aku bohong..

"Kalau emang kamu ngerasa salah, karena kamu yang udah basahin bukuku, ngaku aja." bujuknya.

"Kok, kamu bicara gitu sih Yun? Terus terang, aku gak pernah lakuin itu ya?"

"Lihat, ada siapa yang lagi berantem?" bisik Gisel kepada Revva saat pulang, melewati koridor kelasku.

"Aduhh, hari ini, masih aja berantem.. Kuker banget dua orang ini," ujar Revva agak kencang.

Aku dan Yuni langsung menatap tajam mereka. "Mau apa lo kesini?! Hah?!" aku segera mengangkat sapu yang aku pegang, ingin rasanya aku menampol mereka sekali-kali dengan sapu. Karena, kalau udah ada mereka, pasti ikut campur, terus urusannya panjang, sok nambahin, dan nyebelin kan?

"Ehh mau apa lo?!" aku semakin berani dan mau marah mendekati mereka berdua, menampol dengan sapu yang ku genggam.

"KABUURR!!"

"Lu kali yang kuker, dasar!" gerutuku geram, saat mereka sudah lari.

Aku segera balik kekelas dan meletakkan sapu pada tempatnya, ingin segera pulang.

"Aku pulang dulu. Siapa pun yang bantu, buat gantiin bukumu, dia gak seharusnya disuudzon-in, dia udah niat baik sama kamu," ucapku tajam.

Dia hanya diam terpaku dikursinya. Saat melihat punggungku sudah tak ada dia hanya merenung.

Reach (The Story Of Lefty Hand)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang