Konspirasi Alam Semesta: 12

Mulai dari awal
                                    

Ponselku terdengar bergetar di meja kerja. Tanpa berlama-lama aku bangun dari lantai dan segera meraihnya.

Nama mas Rama tertera di layar.

"Halo?"

"Ayun?"

"Ya, Mas?"

"Kenapa belum tidur?"

"Masih kerja."

"Jam segini? Yang benar aja kamu."

"Mas kenapa belum pulang?"

"Kenapa kamu jadi balik tanya? Mau membalik keadaan?"

"Jawab aja nggak susah kan, Mas?"

"Saya nggak bisa pulang sekarang. Ada yang masih harus saya urus."

"Apa itu?"

"Seperti yang ada di pikiranmu."

"Memang kenapa dia perlu diurus? Sakit? Kesusahan? Kenapa? Siapa tahu aku bisa bantu."

Terdengar helaan nafas di seberang sana.

"Kamu nggak perlu tahu. Dan saya harap kamu masih bisa menjaga sopan santun dengan saya. Pertanyaan-pertanyaanmu barusan sudah sangat melenceng."

Karena aku sudah tidak tahan lagi, aku geram dengan mas Rama, maka kukatakan ini padanya. "Perlu kutambahi? Mas pulang sekarang atau saya jemput dengan beberapa orang disini yang bisa mencari keberadaan Mas Rama, detik ini juga. Bagaimana?"

"Kamu main-main dengan saya??" Suara mas Rama sedikit berubah, intonasinya begitu terdengar mengintimidasi. Aku tidak kaget dengan responnya. Justru bukan ide untuk menulis yang muncul, malah ide untuk memancing emosi sang Putra Mahkota yang terjadi.

"Lupain aja, Mas. Aku mau tidur.."

Kuputuskan sambungan telepon genggamku, kemudian kumatikan. Aku mencoba memgambil nafas panjang. Sepenuhnya sadar telah membuat marah mas Rama, kepalaku terasa berputar pusing, hanya membayangkan apa yang akan mas Rama lakukan setelah ini.

Akhirnya kuputuskan untuk tidur dan pasrah atas apa yang akan terjadi.

***
Pagi berikutnya matahari menyapa jendela kamarku. Semalam kepalaku berdenyut hebat. Aku pikir karena telah 'bermain' dengan kesabaran mas Rama, tapi setelah kuingat-ingat, aku terlalu lama tidur di lantai semalam.

"Sudah bangun, Yun?"

Aku tersentak. Kaget mendengar suara itu dan kudapati pemiliknya tengah duduk santai di sofa kamar dekat meja kerja.

Aku masih memilih diam. Berpura-pura untuk menelaah keadaan, seperti adegan seseorang yang baru bangun tidurnya. Kenyataannya kepalaku masih berdenyut meskipun tidak separah semalam.

Tanpa aba-aba mas Rama mendekati kasur yang tengah kududuki sekarang. Kasur kami. Ia duduk di pinggir kasur dan mengamatiku.

"Sepertinya tidurmu kurang nyenyak, apa yang bikin begini? Hm?" Tanyanya sambil mengelus puncak kepalaku. Kemudian dengan lembut Ia meraba bawah mataku.

Dalam hati aku sudah siap Ia akan mencekikku, atau menamparku, sesuka hatinya. Tapi itu tidak terjadi.

"Beri alasan kenapa semalam kamu memerintah saya untuk segera pulang."

"Memangnya yang tadi malam terdengar seperti perintah?"

Mas Rama mengangguk. Ia masih menatapku dengan lekat.

Aku tertawa kecil dan mendengus. "Jangan jadikan itu perintah Mas. Itu sudah kewajiban Mas sebagai seorang suami untuk pulang ke rumah."

"Dan lagi, Mas sepertinya harus membaca ulang perjanjian yang Mas buat sendiri. Dimana kita harus saling mengingatkan untuk menjaga citra kerajaan. Aku nggak mau ada berita macam-macam Mas pulang dini hari, terlihat bersama perempuan lain."

Tanpa persiapan dan hitungan, mas Rama meraih kepalaku dan membawaku dalam pelukannya. Sembari itu Ia mengelus rambut panjangku yang tergerai bebas.

"Baik. Saya terima alasanmu barusan..." mas Rama menghentikan ucapannya sejenak, kemudian Ia lanjutkan.

"..meskipun saya tidak yakin sepenuhnya hanya karena itu."

Tenggorokanku tercekat. Apa maksud mas Rama?

Dan sejujurnya aku baru menyadari ada yang salah dalam diriku ketika aku seberani itu untuk menyuruh mas Rama segera pulang. Rasa ingin menantang Amithya keluar dari 'kandangnya' mungkin? Sungguh, aku hanya penasaran dengan sosok Amithya secara langsung, tidak ada maksud lain..

"Apa kamu sudah mulai tertarik dengan saya, Yun?" Tanya mas Rama yang berhasil membuat sekujur tubuhku mematung dalam sekejap.

Konspirasi Alam SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang