Konspirasi Alam Semesta: 17

14.4K 2.2K 97
                                    

Hari ini waktunya menagih janji Sundari. Mas Rama masih belum kembali sejak waktu itu kami berpisah di rumah sakit tempat Amithya dirawat.

Mungkin Amithya sekarat, sampai-sampai suamiku itu tidak punya waktu untuk pulang sekedar melihat istrinya apakah masih hidup.

Bicaraku kasar. Tapi potret perumpamaan ini adalah nyata. Bahkan di hari ini dimana sang Raja dan istrinya pulang, mas Rama juga tidak menghadap. Entah apa alasan yang dirinya buat sehingga bisa membuat sang Raja percaya.

"Ndoro putri.. ini yang ndoro minta. Sebelumnya mohon ampun, jangan bocorkan ini nggih Ndoro.. nyawa saya ada di tangan Ndoro Putri.. tetapi saya ikhlas membantu."

Aku tersenyum. Yang diberikan Sundari lebih dari sekedar melepas sepi. Tapi sebuah petualangan yang bisa aku lakukan setiap hari.

Keluar-masuk Keraton setiap hari, setiap waktu tanpa ada akses perizinan dan lainnya.

Sundari memberikan selembar kertas yang di dalamnya tergores pena gambar suatu denah. Dari situ mulailah Sundari memberikan penjelasan, jalur-jalur yang bisa kugunakan, ruangan yang harus kulewati, waktu-waktu aman, orang-orang yang kemungkinan tidak mengerti siapa diriku dan sebagainya. Semata-mata untuk mendukungku keluar dari sini tanpa perijinan yang cukup ketat.

Bagaimana aku tahu ada hal sedemikian rupa?

Entahlah. Firasat. Aku juga pernah bermimpi satu kali dan itu sangat jelas. Bahwa aku menemukan suatu jalan yang bisa membawaku keluar dari tebing tinggi ini. Tanpa sadar aku menceritakan mimpi dan firasatku pada Sundari. Waktu itu Sundari nampak terkejut, seperti ceritaku itu ada benarnya.

Ternyata takdir tidak melulu membelakangiku. Ada kalanya Ia ada di pihakku.

"Sundari.. untuk hari ini cukup sampai jadwal para abdi dalem saja. Besok kita cicil lagi mengenal siapa orang-orang yang ada di gerbang belakang."

Sundari mengangguk. Sepeninggalnya aku segera menyimpan secarik kertas itu ke suatu tempat yang seorang pun tidak akan menemukannya kecuali aku.

Jam makan siang tiba, tengah berhadapan denganku Ibu tiri mas Rama. Jadi, wanita yang nama aslinya adalah Ayu Pamilih Wiraretna ini adalah istri ke dua sang Raja. Ibu kandung mas Rama sudah lama meninggal waktu mas Rama masih berusia 5 tahun. Itulah kenapa wajah Ibu jauh terlihat lebih muda dibanding sang Raja. Mereka berdua baru meresmikan pernikahannya—karena sebelumnya beliau adalah selir—sekitar 12 tahun yang lalu.

"Apa kamu bosan di Keraton, Ayun?" Tanyanya dengan kosakata yang agak baku tetapi masih lembut.

"Saya mencoba mencari kesibukkan, Bu. Masih terus menulis, sebentar lagi juga saya harus melepaskan pekerjaan saya sebagai pengajar."

"Itu keinginan Gusti Pangeran?"

Aku mengangguk.

"Gusti Pangeran itu sudah saya anggap sebagai anak sendiri. Begitu beliau ditinggal Ibu kandungnya, kerabat kami tidak pikir panjang langsung meraihnya. Menganggap Gusti Pangeran sebagai anak kandung kami."

Kami, kerabat, disini yang dimaksud adalah para selir. Selir sang Raja yang diceritakan mas Rama saat itu ada 4 orang. Sejujurnya, sang Raja tidak mau menikah lagi, namun karena tuntutan, akhirnya Ia harus meresmikan pernikahannya dan menunjuk pengganti Permaisurinya.

"Wataknya yang keras dari kecil sudah bisa dilihat. Tapi semakin bertambah usianya, terlebih setelah sempat mengenyam pendidikan di luar, hidup mandiri, mungkin mencetak kepribadiannya menjadi lebih kuat. Apa-apa harus serba sendiri."

Aku diam. Tidak membalas pernyataan Ibu.

"Begini, Ayun. Ada hal yang harus Ibu ceritakan. Sebenarnya, Ibu tidak tahu apa sepatutnya ini keluar dari mulut Ibu..."

Aku fokus menatap mata Ibu. Ibu seperti orang yang gelisah.

"..tapi Ibu rasa, memang Ibu yang harus menyampaikan."

"Ada apa, Bu?" Tanyaku lembut, tidak terkesan menuntut hanya saja ingin tahu yang ditahan.

"Apa kamu kenal Amithya?"

Deg.

Aku belum menyiapkan jawaban ketika anggota keluarga menanyaiku tentang ini. Lalu..

Aku memutuskan untuk menggeleng dengan halus. Mencoba menutupi semuanya.

"Jadi, sebelum bertemu dengan kamu, Gusti Pangeran sudah bertunangan dengan wanita bernama Amithya. Gusti dan Amithya sudah berpacaran selama enam tahun lamanya.."

Sudah bertunangan..

"Lalu, Bu?"

"Lalu, Gusti Pangeran menyiapkan segala hal untuk mempersiapkan Amithya masuk ke dalam tebing tinggi Keraton ini, karena Gusti tidak mau Amithya merasa tertekan. Pada intinya, Gusti ingin Amithya merasa siap mentalnya.."

Aku masih diam menyaksikan Ibu bercerita dengan seksama.

"Di tengah persiapan selama tiga bulan di dalam Keraton, ternyata Amithya ingkar. Selama dua bulan, Ia seringkali keluar masuk Keraton melalui jalur rahasia namanya Catur Kelok Sekawan."

Deg. Jantungku kembali berdegup tidak seperti biasa. Karena jalur itu adalah yang diberikan Sundari pagi tadi kepadaku. Ternyata memang histori itu sudah ada sejak lama.

"..lebih parahnya, Amithya keluar-masuk bersama seorang laki-laki. Mendengar hal ini, Raja pun murka. Merasa dihina dan dikhianati oleh calon menantunya. Maka dari itu, Raja begitu membenci Amithya, sedangkan rasa cinta yang dimiliki Gusti kala itu masih begitu dalam."

Tatapan Ibu kemudian beralih padaku seketika Ia tersadar dari pandangan mengawangnya sembari bercerita.

"Ibu minta maaf, kalau ini membuatmu gusar. Hanya saja, Ibu benar-benar ingin kamu adalah yang terakhir dan terbaik untuk Rama, Ayun.. Kamu mengerti kan maksud Ibu? Kalau ada apapun yang kamu rasakan salah, tolong segera beritahu Ibu."

Aku mengangguk sambil tersenyum tipis. Tidak ingin memperlihatkan wajah kakuku yang mengetahui banyak hal dalam sepersekian waktu saja. Kemudian aku pamit undur diri ke kamar, sembari menenangkan perasaanku.

Amithya dan Catur Kelok Sekawan.

Sesampainya di kamar, kedua hal itu masih terngiang di telinga dan pikiranku, sampai-sampai kedatangan mas Rama tidak kuperhatikan.

Ia membelakangiku saat aku tengah duduk di sofa. Aku sedikit terperanjat kala tiba-tiba Ia mencium puncak kepalaku dari belakang dan memelukku.

"Kaget? Memikirkan apa?" Tanyanya dengan intonasi suara yang kurindukan beberapa hari belakangan.

Aku sedikit tidak nyaman dengan perilakunya ini. Ada rasa ingin membuat jarak, tapi aku tidak ingin kedua hal tadi bisa dibaca pikiran mas Rama.

"Berpikir kenapa suamiku nggak pulang-pulang, apa udah diambil alih sama yang lain hak patennya."

Mas Rama berangsur menjauhiku, aku bisa merasakannya.

"Jangan bicara sembarangan. Saya harus melihat kondisi Amithya membaik. Hanya itu yang bisa saya lakukan sementara ini."

Aku memandang mas Rama culas, kini mata kami berdua bertemu. "Nggak usah sementara juga nggak papa, Mas. Mau selamanya juga boleh. Bukannya awalnya begitu? Amithya dan Rama, bukan dengan Pembayun."

Tanpa cepat kusadari kedua mata Rama terlihat terbakar dari dalam. Ekspresi kemarahan itu muncul lagi. Kali ini memang dia murka, dia langsung menarikku ke arahnya dan menghujaniku dengan ciuman-ciuman kasar.

"Mmph! M-mas!! Stop!" Aku memberontak.

"Biar saya jelaskan sekali lagi, apa kuasa saya pada kamu, Pembayun."

Dan malam ini rasanya tenagaku tidak cukup kuat dari amarahnya. Lagipula aku bisa apa, dia suamiku yang berhak atas diriku, aku bisa saja mengelakknya dengan perjanjian yang kami miliki sebelumnya, tetapi kenyataannya seluruh hati dan pikiranku sudah dimiliki olehnya..

Konspirasi Alam SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang