Tapi Axel juga yakin bahwa Alan sudah memiliki rasa pada Vella. Axel memang tak bisa membuktikan itu, tapi entah kenapa ia merasa Alan mulai menyayangi Vella sebagai Vella, bukan sebagai Vio.

"Lo goblok sih, Lan." Untuk yang keberapa kalinya dalam hidupnya, Axel mengatakan bahwa Alan bodoh.

Alan mengangguk, lalu menghela napas berat. "Gue tau."

Tumben, Alan tidak marah saat Axel mengatakannya bodoh.

"Sekarang gue tanya, lo nyesel atau enggak?" tanya Axel, wajahnya yang biasanya ceria kini berubah menjadi serius.

"Antara iya atau enggak. Gue gak tau."

Axel mendengus. "Kalo lo belum tau jawabannya, gue jamin lo gak bakal bisa baikan sama Vella. Sekarang lo jawab pertanyaan gue, lo nyesel atau enggak udah jadiin Vella sebagai pacar lo?"

Alan terdiam. Kini pikirannya terbagi dua, tentang Vella dan jawaban yang harus ia berikan ke Axel. Jujur, ia bingung harus menjawab apa. Di satu sisi, ia memang menyesal karena sudah membuat Vella mencintainya. Tapi di sisi lain, ia tidak menyesal karena sekarang ia pun sulit untuk berjauhan dengan Vella. Alan merasa tidak menyesal karena jika ia tidak menjadikan Vella sebagai pacar waktu itu, ia tidak akan bisa dekat dengan Vella dan hanya terus-terusan menantikan Vio yang tentunya tidak akan pernah kembali lagi.

"G-gue gak tau, Xel."

Axel berdecak. "Kalo lo masih belum tau jawabannya, lo gak bakal bisa baikan sama Vella."

"Ya gue bingung, Xel. Di satu sisi, gue ngerasa nyesel karena udah bikin Vella nangis pas tahu alesan gue jadiin dia pacar. Tapi di sisi lain, gue ngerasa ... gue ngerasa gak nyesel." Alan memberi jeda sebentar sebelum melanjutkan ucapannya. "Karena kalo gue gak nembak Vella waktu itu, pasti gue gak bakal bisa deket sama Vella karena gue pasti terus-terusan mikirin Vio yang padahal gue tau dia gak akan pernah bisa balik lagi."

Axel tersenyum miring. Kini ia tahu Alan menyimpan rasa itu pada Vella atau tidak. "Gue tanya lagi, Lan. Sekarang di hati lo adanya Vella atau Vio?"

Alan diam lagi. Sekarang ia pun bingung harus menjawab apa. Jujur, ia masih belum tahu hatinya untuk siapa, untuk Vella atau untuk Vio yang sudah berbeda alam dengannya.

Tak lama, Axel bangkit dari bangku, membuat Alan mengerutkan dahinya. Axel tersenyum tipis, lalu menepuk pelan bahu Alan. "Gue cabut dulu. Kalo masih bingung, lo pikirin baik-baik aja."

Setelah itu, Axel pergi meninggalkan Alan yang masih sibuk dengan pikirannya sendiri.

🐶🐶🐶

Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam, namun Vella tak kunjung pergi dari jalanan yang sepi itu. Ia tetap saja duduk di atas trotoar sambil memeluk lututnya dan menangis. Ia tak peduli orang-orang menganggapnya apa. Yang jelas, ia tidak mau pulang ke rumah karena pasti Hana menanyakan seribu pertanyaan yang tambah membuatnya pusing.

Gue cuma dijadiin pengganti. Ya, pengganti doang.

"Cewek," panggil seorang laki-laki dengan nada genit. Vella yang mendengar itu langsung panik, namun enggan mendongakkan kepalanya.

Dua orang laki-laki itu terbahak keras, lalu mulai mendekat ke arah Vella, membuat Vella semakin takut. Apalagi suara mereka berdua yang membuat Vella merinding.

"Cewek, ngapain malem-malem sendirian aja? Abang temenin, yuk!" Salah satu dari mereka berani menyentuh bahu Vella, membuat Vella menepis tangan itu dengan kasar. Lalu orang yang satunya lagi malah terbahak keras.

She's MINE!! (✔)Where stories live. Discover now