19 - Pecel Lele

54.5K 2.7K 79
                                    

"Yaelah, Bang Daniel malah bengong." Tak mau menunggu terlalu lama, akhirnya Alvaro menghampiri Daniel yang sedang duduk lumayan jauh dari tempat Alvaro dan Alan. "Ayo, Bang. Pindah ke tempat gue aja."

Daniel menggeleng. "Gak usah, Al. Gue disini aja."

Alvaro berdecak. "Masa lo gak kangen gue, Bang? Udah lama banget 'kan kita gak ketemu."

Pasrah, Daniel mengekori Alvaro yang berjalan menuju tempat Alan. Sampai di sana, mata Daniel dan mata milik Alan bertemu. Tetapi tak lama kemudian, Alan langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain karena tak mau menatap Daniel terlalu lama.

Alvaro mengernyit bingung. "Kenapa diem, Bang Dan? Ayo duduk."

Baru saja Daniel ingin mendudukkan dirinya di kursi, Alan menyelak. "Gak. Biarin dia balik ke tempatnya aja."

"Loh? Kenapa?" Alvaro yang sama sekali tidak mengerti apa-apa itu menatap kakaknya dan Daniel secara bergantian.

Daniel menghela napas berat. Andai saja jika Alvaro mengetahui masalah yang terjadi di antara Daniel dan Alan waktu itu. Memang sih, kejadian itu sudah lama sekali. Namun, Alvaro sama sekali tidak mengetahui apa-apa. Karena ketika ia bertemu setahun sekali dengan Alan waktu lebaran, Alan tidak menceritakan apapun padanya.

Tetapi sepertinya tak mungkin jika Daniel harus menceritakan kejadian yang menyebabkan dirinya dan Alan bermusuhan itu kepada Alvaro. Ia tak mau mengingat-ingat lagi, apalagi jika tiba-tiba Alan mengamuk dan semakin marah pada Daniel. Tidak, Daniel tak mau itu terjadi.

Daniel sendiri sebenarnya masih berharap bahwa Alan masih menganggapnya sebagai sahabat. Tetapi, sepertinya hal itu hanya akan menjadi harapan Daniel. Buktinya, Alan saja selalu bertingkah seakan-akan ia tidak mengenal Daniel saat mereka bertemu di sekolah yang sama.

Waktu itu, Daniel memang sempat ingin pindah sekolah karena masalahnya dengan Alan. Namun karena ibunya yang hanya bekerja sebagai penjaga kasir sebuah restoran itu tak memiliki cukup uang agar Daniel bisa pindah sekolah. Walaupun Daniel tak tahan dengan sikap Alan yang seakan-akan sangat membencinya, namun ia harus berusaha tegar karena tak ada pilihan lain selain tetap bersekolah di satu sekolah yang sama dengan sahabat lamanya itu.

Dan sekarang, Daniel sudah merasa cukup lega karena telah menceritakan kisahnya dan Alan kepada seseorang yaitu Vella, pacar Alan sendiri. Daniel tahu, Vella tak akan memberitahu siapa-siapa. Ia sangat yakin bahwa perempuan seperti Vella tak akan berani ikut campur dalam urusan mereka.

Alan mendengus. Matanya memandang ke segala arah. Yang terpenting, ia tak mau melihat Daniel. "Lo gak perlu tau, Al. Karena itu gak penting."

Tak lama kemudian, akhirnya Bu Ningsih datang dengan membawa sebuah nampan berisi makanan di tangannya. Bu Ningsih meletakkan nampan berisi makanan itu di atas meja. Kemudian ia menatap Daniel sambil menyipitkan matanya.

"Daniel, ya?" tanya Bu Ningsih semangat.

Daniel tersenyum tipis, lalu mengangguk. "Iya, Bu."

"Oalah!" Bu Ningsih menepuk dahinya, seolah-olah lupa akan sesuatu. "Daniel yang dulu sering makan bareng Alan sama Alvaro, kan?"

Ketiganya terdiam. Mereka tak mengeluarkan suara apapun kecuali menatap Bu Ningsih. Apalagi Daniel yang bingung harus menjawab pertanyaan Bu Ningsih seperti apa. Dulu, Alan, Alvaro, dan juga Daniel memang sering makan di warung Bu Ningsih ini. Ya, tempat makan favorit mereka sejak dulu memang warung Bu Ningsih karena rasa masakannya yang selalu lezat.

Daniel menggaruk lehernya yang tidak gatal. "Ehm ... Bu, saya makan di tempat saya yang tadi aja. Soalnya saya lagi nunggu temen."

"Yaudah, kenapa temennya gak diajak gabung aja?" tanya Bu Ningsih.

She's MINE!! (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang