08 - Kejar-Kejaran

75.5K 4.4K 163
                                    

Alan memarkirkan mobil warna hitamnya di parkiran mobil yang ada di SMA Cinta Bangsa. Ia mematikan mesinnya, lalu menoleh ke arah Vella.

"Vella, jangan turun dulu."

"Eh?"

Alan turun dari mobil, lalu berjalan ke sebelah kiri tempat dimana pintu penumpang depan. Tanpa ragu Alan membukakan pintu itu untuk Vella.

"Sok gentle," cibir Vella.

Alan tertawa mendengar perkataan kekasihnya itu. "Emang gentle kali."

"Ah, masa?"

"Iya lah. Udah yuk, masuk."

Alan menggandeng tangan Vella seraya berjalan masuk menuju sekolahnya. Di depan, mereka langsung disambut oleh seorang guru piket yang berdiri di sana.

"Udah saya bilang, dilarang pacaran di wilayah sekolah!" teriak Pak Soni dengan suara khasnya yang seperti transgender.

Vella mengelak. "Siapa yang pacaran, Pak? Kita--"

"Emang kenapa, Pak?" Alan memotong ucapan Vella. "Oh, apa jangan-jangan, Bapak iri ya ngeliat kita berdua? Bapak kan jomblo padahal udah tua, hehe."

Mendengar perkataan kurang ajar Alan, Pak Soni melotot marah. Lubang hidungnya membesar. "Alano Adiputra! Kamu berani berbicara seperti itu di depan saya?!"

"Lah, emang kenapa, Pak? Justru harusnya Bapak seneng lah, karena saya ngomong langsung ke orangnya, bukan di belakang. Lagipula, saya kan cuma ngingetin Bapak aja kalo Bapak itu jomblo. Mending Bapak cari pacar deh, daripada Bapak jadi perjaka tua," kata Alan sambil menahan tawanya.

Vella menggigit bibirnya. Oh, jadi begini sifat Alan dan sikapnya terhadap guru? Menurut Vella, Alan sangat berani terhadap guru, namun sedikit kurang ajar. Vella tahu, niat Alan memang baik supaya Pak Soni segera mencari pendamping hidup. Tetapi, Vella merasa Alan terlalu berani terhadap guru.

Pak Soni semakin melotot, membuat Vella ataupun Alan ngeri, karena takut mata guru itu keluar dan menggelinding lalu masuk ke dalam tempat sampah. Pak Soni menatap mereka semakin tajam, khususnya Alan.

"KAMU ITU KURANG AJAR!" marahnya.

Sekedar info, Pak Soni selalu membawa sebuah tongkat kecil. Entah digunakan untuk apa, yang jelas Pak Soni selalu membawanya disaat mengajar maupun tidak.

Pak Soni mengangkat tongkat itu tinggi-tinggi, bersiap memukul kepala Alan tanpa belas kasihan. Namun, Alan selalu menghindar ketika Pak Soni melayangkan tongkatnya.

"Ke sini kamu! Jangan menghindar!"

"Ayo, sayang, lari!" Alan menarik tangan Vella agar bisa melarikan diri dari Pak Soni yang sepertinya sudah tidak waras.

Akhirnya, Pak Soni terus mengejar mereka dengan kecepatan yang bisa dibilang rendah. Perutnya yang buncit seperti ibu hamil bergoyang-goyang seirama dengan lariannya. Sesekali ia menggaruk rambut ikalnya yang mungkin terdapat banyak kutu rambut.

"ALANO ADIPUTRA! JANGAN LARI KAMU!"

Alan mengeratkan genggaman tangannya pada Vella, seraya menambah kecepatan larinya agar bisa melarikan diri dari Pak Soni yang tak menyerah untuk mengejar mereka, terutama Alan.

Nafas mereka terengah-engah. Setelah lama mereka berlari, akhirnya mereka tidak menemukan keberadaan Pak Soni lagi. Vella yang masih lelah itu menatap Alan dengan kesal.

"Heh, kalo mau lari-larian tuh gak usah ngajak-ngajak!" marah Vella.

Alan masih terengah-engah. "Kan niat aku baik, Vel. Pak Soninya aja yang sensi sama aku."

"Ya tetep aja! Kamu bikin aku keringetan!"

Dengan kesal, Vella menjauhkan diri dari Alan. Ia melepas rambutnya, lalu menguncirnya lagi agar lebih rapi. Tiba-tiba, Alan mendekatinya, kemudian melepaskan ikatan rambut Vella sehingga rambut cewek itu terurai indah.

"Ngapain dibuka?! Udah tau aku lagi kepanasan!" marah Vella.

Alan terkekeh. Matanya sibuk memandangi wajah Vella yang terlihat kesal. "Gak papa, kamu lebih cantik kalo rambutnya diurai kayak gini."

Tidak peduli dengan ucapan Alan, Vella mengikat rambutnya kembali. "Udah ah, aku mau ke kelas aja!"

"Aku anterin ya?"

"Gak, gak usah."

Vella mempercepat langkahnya untuk meninggalkan Alan. Alan yang tertinggal jauh itu tertawa geli, lalu berlari agar menyeimbangkan langkahnya dengan Vella. Lalu tanpa dugaan Vella, Alan mengangkat tubuh Vella dan menggendongnya, membuat mata Vella membelalak.

"ALAAANNN!!!" Vella memekik kencang, membuat Alan terkekeh.

"Apa, sayang?"

"TURUNIN AKU!"

"Gak ah."

"Ih, aku berat," ucap Vella pelan.

Alan yang mendengar itu lantas tertawa kecil. "Gak ah, biasa aja."

Tanpa mendengarkan Vella yang terus-terusan merengek, Alan tetap menggendong cewek itu, seraya berjalan menuju kelas Vella yaitu kelas X IPA 1. Semua mata tertuju pada mereka, membuat Vella menutup wajahnya dengan tangan karena malu.

"Tuh kan, Lan, semua orang ngeliatin kita," bisik Vella.

"Udah, biarin aja. Ngapain sih kamu peduliin mereka?"

Beberapa orang yang sudah tiba di sekolah langsung mengarahkan pandangan mereka ke Vella dan juga Alan. Mereka berbisik-bisik, membicarakan Vella dan juga Alan.

"Hah? Itu pacar Alan?"

"Iya, baru ditembak kemarin!"

"Gila! Jadi ternyata Alan sukanya adek kelas?"

"Iya! Ah, tau gitu gue gak usah naik kelas aja biar Alan suka sama gue," timpal yang lain.

Tak lama kemudian, mereka tiba di depan kelas Vella. Alan membuka pintu kelas dengan cara menendangnya, karena kedua tangannya dipakai untuk menggendong Vella.

Seperti tadi, semua mata langsung tertuju pada mereka berdua. Menyadari itu, Vella meringis pelan. Ia sudah tahu pasti akan seperti ini.

Alan yang menyadari Vella tak nyaman itu langsung berdecak sebal. "Ngapain sih lo pada ngeliatin kita! Iri bilang aja!"

Semuanya langsung menundukkan kepala. Dimarahi kakak kelas seperti Alan memang sangat tidak menyenangkan.

Sampai di tempat duduk Vella, Alan menurunkan Vella dengan hati-hati. Akhirnya, Vella menghela napas lega.

"Udah sana, kamu masuk ke kelas kamu."

"Lah, kamu ngusir aku?"

"Bukan gitu. Maksud aku, mending kamu ke kelas kamu aja, ngobrol sama temen kamu."

Alan akhirnya mengangguk. "Oke. Aku ke rooftop dulu ya."

Mendengar pengakuan Alan, Vella mengerutkan dahinya. "Lho? Kok malah ke rooftop?"

"Males di kelas. Bosen. Ngantuk."

Vella mendengus. "Masuk kelas, Alan. Mau enggak naik kelas?"

"Gak mau, males."

"Masuk!"

Akhirnya, Alan mengalah. Ia menghela napas berat. "Iya-iya, aku masuk kelas. Ini pertama kalinya lho, aku mau masuk ke kelas karena dipaksa. Dan itu karena kamu yang nyuruh, kalo orang lain yang nyuruh juga aku gak mau."

Vella terkekeh. "Yaudah, sana masuk."

Alan mengangguk. Tetapi sebelum pergi, Alan membungkuk, mendekatkan wajahnya ke telinga Vella. Tanpa dugaan siapapun, Alan membisikkan sesuatu yang membuat jantung Vella berdegup kencang.

"Alan sayang Vella," bisiknya, lalu tersenyum lebar. Usai mengatakan itu, Alan berjalan menuju pintu dan keluar.










She's MINE!! (✔)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora