"Sudah berapa kali aku katakan, jangan memanggilku 'Yang Mulia' untuk urusan yang bukan mengenai kerajaan."

Ia berbalik, kedua tangannya tersampir ke belakang sambil menatap lelaki muda yang tengah menghaturkan sembah di depannya itu.

Perlahan, kedua tangan yang ditangkupkan di depan dada itu diturunkan dan pandangannya pun menatap kedua mata lelaki tua itu.

"Ada apa Ayahanda?"

Lelaki tua itu maju beberapa langkah ke depan. Napasnya dihembuskan secara perlahan, terlihat dari raut mukanya, ia menampakkan sebuah kerisauan yang tak dapat dimengerti.

"Tidak biasanya Ayah seperti ini." kata Rakai.

Lelaki itu kembali menghembuskan napas panjang sebelum akhirnya mulai berbicara.

"Kita sudah pernah membahas ini berkali-kali, putraku"

Rakai mengerutkan dahinya mencoba mengerti apa yang tengah dikatakan Ayahnya itu.

"Umurku tidak akan lama lagi, kau tahu kan apa yang terjadi jika kerajaan ini kehilangan seorang pemimpin?"

"Ayah, aku sudah tahu. Kerajaan, takhta, kepemimpinan. Tenang saja Ayah aku akan menjadi seorang raja yang baik"

"Baik saja tidak cukup, Nak!" bentak Raja Garung.

Kepalanya didongakkan, menunjukkan kewibawaannya sebagai seorang raja. Kabut pada mukanya hilang dan digantikan oleh tatapan tajam pada putranya tersebut.

"Kau sudah terlalu banyak bersenang-senang dan dari sikapmu di balairung istana pagi tadi itu sama sekali tidak mencerminkan seorang pewaris takhta."

"Maafkan putramu ini, tapi aku tidak senang mengotori Kerajaanku dengan darah orang asing, Ayah" potong Rakai, ia mengerutkan keningnya, menandakan bahwa ia tidak suka dengan semua hal itu.

"Rakai!" bentaknya lagi.

Rakai langsung terdiam. Ia memaklumi segala amarah yang dilontarkan ayahnya kepadanya. Ia hanya diam menunggu reaksi Ayahnya yang selanjutnya.
Namun, dugaannya salah. Ternyata Raja Garung tak berminat untuk memarahinya melainkan langsung mengalihkan pandangan dengan memunggunginya.

"Kau harus kembali berguru, karena sepertinya pengetahuanmu masih belum cukup untuk menjadi seorang raja," tegasnya.

Rakai tercengang dengan keputusan ayahnya. Ia telah berguru di pasraman selama satu dasawarsa lamanya dan yang benar saja, ia harus kembali untuk waktu yang lebih lama lagi?

Pada umurnya yang ke dua puluh tahun ini, ia baru kembali dari pasraman beberapa bulan yang lalu untuk dinobatkan sebagai putra mahkota dan mempelajari sistem kerajaan dari para petinggi yang lainnya. Awalnya Raja Garung berpikir bahwa dalam waktu dekat ini sudah saatnya untuk menobatkan putranya sebagai raja. Namun ternyata ia salah.

Selama tinggal di kerajaan Rakai lebih senang menghabiskan waktunya untuk berburu, berkuda, dan hal-hal lainnya yang tidak berkaitan dengan persoalan kerajaan. Jadi, Ayahnya berpikiran untuk mengembalikannya ke Pasraman sampai dirinya benar-benar siap untuk menjadi seorang raja.

"Ayah bercanda!?"

"Tidak. Aku sungguh-sungguh." tekannya sekali lagi.

Pandangannya masih menatap pemandangan hutan malam yang luas dari balik jendela.

Rakai mengumpat dalam hati. Baru beberapa bulan menikmati kehidupan kerajaan kini ia diusir kembali dari rumahnya sendiri.

Rakai mengembuskan napas gusar. Ia kembali menangkupkan kedua tangannya di depan dada dan menghaturkan sembah sebagai tanda bahwa ia menerima segala keputusan ayahnya yang merupakan seorang raja.

"Baik Ayah, aku akan pergi. Aku mohon doa restu Ayah,"

"Baiklah, aku akan mempersiapkan pasukan untuk mengantarkanmu besok," ucap Raja Garung.

"Tidak, biarkan aku melakukan perjalananku sendiri," balasnya.

Raja Garung berbalik, ia menatap putranya yang masih dalam posisi menyembah. Ia tersenyum melihat sikap putranya yang seperti ini. ia pun mendekat, menyentuh kepala Rakai dengan tangan kanannya sebagai tanda bahwa ia memberkati perjalanan putranya besok.

Rakai menghaturkan sembah yang terakhir seraya minta diri untuk dipersilahkan pergi dari ruangan tersebut. Mungkin malam ini adalah yang terakhir kalinya ia bertatap muka dengan Ayahnya sebelum akhirnya melanjutkan pendidikan untuk beberapa tahun kedepan.

Rakai berjalan menuju bilik kamarnya, tidak dihiraukannya beberapa prajurit di sepanjang jalan yang menunduk ketika Rakai berlalu dihadapannya mereka, tatapan Rakai masih tetap lurus ke depan. Wajah tampan yang diterpa sinar rembulan itu tidak menunjukkan ekspresi apapun. Tatapannya tetap datar sampai ia berpapasan dengan pengawal pribadinya, Kampa.

"Pangeran," Kampa menunduk sambil menyatukan kedua tangannya di depan dada.

"Persiapkan semua barang-barang ku untuk segera pergi besok pagi," perintah Rakai.

"Baik," jawabnya sambil menganggukkan kepala.

"Ingat, besok pagi-pagi sekali sebelum ayam jantan berkokok."

"Memangnya, kemana kita akan pergi, Pangeran?" Kampa kembali bertanya ketika Rakai sudah memunggunginya. Rakai pun hanya menjawab singkat tanpa mengalihkan pandangannya seinci pun.

"Pawitra"

***

"Kau terluka, Panji?"

"Ah, ini hanya luka kecil karena kejadian di hutan tadi, Resi." Ia tersenyum masam.

Resi Adwaya mengerti, ia tidak mudah untuk dibohongi. Luka seperti itu tidak mungkin disebabkan oleh dahan-dahan runcing di hutan, melainkan lebih tepatnya benda berujung tajam seperti anak panah.

"Bermalamlah di sini. Setelah lukamu diobati, besok pagi kau baru boleh pergi," perintahnya

"Baik Resi," jawab Panji.

Setelah beberapa saat kemudian Panji menanyakan suatu hal yang terus mengusik pikirannya kepada Resi Adwaya.

"Maaf sebelumnya, Resi. Apa ada yang sedang Resi tutupi saat ini? Apa Resi tahu tentang siapa itu Ratih sebenarnya?"

Orang tua itu diam sejenak, kepalanya mangut-mangut mendengar pertanyaan yang di berikan mantan muridnya itu.

"Aku tidak tahu siapa dia. Dari parasnya dia adalah wangsa Syailendra tapi dari logatnya, ia bukan berasal dari negeri ini," jawabnya sambil terus berpikir.

"Apa maksudnya Resi? S...Syailendra?" tanyanya sambil mengerutkan kening. Ia cukup terkejut saat mendengar nama wangsa itu disebut.

"Memang lebih baik jika banyak yang tidak mengerti," timpal Adwaya.

"Apa maksud Resi adalah..."

Panji menghentikan ucapannya. Ia tidak yakin dengan perkataan yang akan dilontarkannya. Ia memandang Resi Adwaya yang terlihat seperti tengah memikirkan sesuatu, dan Panji hanya menunggu reaksi sang resi kemudian.

Setelah beberapa saat, Adwaya memandang Panji seketika seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja berkelebat di pikirkan.

"Pramodawardhani," ucap Adwaya lirih.

"Pramodawardhani," ucap Adwaya lirih

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


ABHATIWhere stories live. Discover now