80. Terluka

Mulai dari awal
                                    

Kesadaran Dila tak bisa melakukan apapun selain bingung karena ia seperti melihat sebuah film di bioskop. Ia berteriak tapi tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Ia mencoba bergerak tapi tubuhnya tak merespon apapun yang ia inginkan. Ia ingin membebaskan diri namun ia tak tahu bagaimana caranya.

Ia termangu akan fakta baru yang tak bisa ia kelola secara cepat.

Kesadaran Maulin muncul kepermukaan setelah pertarungannya dengan Caroline. Ia melepaskan genggaman erat jemari Dila pada rambutnya sendiri dan berdiri. Rasanya sangat panas dan ia tak bisa terlalu lama di tubuh Dila.

"Maafkan aku."

Dengan begitu ia berlari keluar dari kediaman saudaranya. Meninggalkan mereka yang masih limbung mengenai hal apa yang baru terjadi di hadapan mereka. Namun Maulin tak memiliki waktu banyak, ia harus membawa tubuh Dila ke kediaman Sucipto dan memanggil Fadli untuk menjemput Dila.

Dari udara sore yang hangat dan sapuan angin yang mendayu-dayu, ia berlari tanpa henti dan ia sadar bahwa laju napasnya tak teratur. Maulin tak bisa berhenti bahkan untuk sejenak saja, ia tak bisa membiarkan siapapun bertanya mengenai apa yang terjadi pada Dila. Maulin tak tahu bahwa kesadaran Dila dapat melihat semuanya secara jelas sekarang. Tak seperti dulu, kesadaran Dila tahu bahwa sesuatu mengambil alih tubuhnya.

Napasnya tercekat ketika kesadaran Caroline mulai menjadi-jadi. Sedikit lagi. Hanya sedikit lagi ia akan mencapai rumah dan melakukan apapun yang harus ia lakukan.

'Urusanku belum selesai, bitch!'

Maulin tak menghiraukan apapun dari suara yang berada di kepalanya. Ia tetap berlari dengan gigih dan akhirnya setelah perjuangan berlari kencang, ia mencapai pagar. Tanpa basa-basi ia membuka pagar dan dengan tergesa-gesa ia memasukkan kunci ke lubang pintu. Tangannya bergemetar karena Caroline sudah mulai kembali mengambil alih kesadaran tubuh Dila.

"Tolonglah." Erangnya dan ia memegang kunci dengan kedua tangannya. Meminimalisir getaran hebat di tubuhnya.

Tangannya yang bergetar hebat pun segera melepaskan kunci ketika pintu sudah terbuka. Dengan sedikit limbung, kepayahan ia berjalan ke arah kamar untuk mencari ponsel yang ia tinggalkan di sana. Napasnya tidak teratur dan ia bisa merasakan sesak yang sedikit demi sedikit berubah menjadi sesuatu yang menyakitkan.

'Kau siapa?'

Maulin mematung di tempatnya. Ia tahu, suara yang kini muncul di kepalanya itu adalah suara kesadaran Dila. Suaranya tak stabil dan terdengar sangat khawatir dan takut. Ia membulatkan matanya dan merasa gagal karena tak dapat melindungi Dila dari kenyataan yang pahit dan menyakitkan. Rasanya seperti teriris benda tajam yang berkarat. Terus terluka dan menimbulkan rasa yang sangat asing namun menyakitkan.

"Dila!"

Maulin berbalik dan menemukan Ayah Dila yang mencapai puncak kemarahan dengan matanya yang merah menyala dan garis wajah yang keras. Ia tak bisa mengingat apapun karena dalam sekejap wajahnya sudah menubruk tembok di sampingnya. Kepalanya berdenyut tak karuan dan Caroline menggunakan kesempatan itu untuk muncul.

"Old soul! Kau baru saja menghantamkan wajahku ke dinding ini?"

Ayahnya geram dan tanpa basa-basi berteriak di depan wajahnya.

"Kau anak kurang ajar! Persetan dengan semuanya."

Kesetanan merupakan satu kata yang menggambarkan kondisi Ayah Dila. Dengan beringas, pria paruh baya itu menarik kuat-kuat lengan atas Dila dan mendorongnya kuat-kuat hingga ia terjerembap ke lantai dengan dentuman paling kuat dan menyakitkan. Ia terbatuk, tubuh Dila yang lemah membuat Caroline tak berdaya.

Kesadaran Dila meringis dan menangis kencang. Berteriak sekuat tenaga, meminta pertolongan siapa saja agar ia bisa keluar dari ruangan kelabu itu.

"Anak keparat!"

Caroline terbatuk ketika tendangan mendarat di perutnya. Ia dengan susah payah membuka matanya untuk tetap tersadar dan memastikan bahwa ia membalas setiap hal yang Ayah Dila lakukan pada tubuh Dila. Ia bisa melihat Ibu tiri Dila yang kini mencoba menahan kepalan tangan Ayah Dila, namun gagal karena pria tua itu menyingkirkannya dengan tenaga yang luar biasa kuat hingga Ibu tiri Dila terpelanting jauh dan bahunya terluka karena langsung terantuk pada dinding. Caroline masih tetap batuk dan mencoba untuk bangkit ketika Ayah Dila pergi entah kemana.

Pria itu kembali dengan sapu di tangannya.

"Aku. Tidak. Pernah. Mendidik. Anak. Kurang. Ajar. Sepertimu."

Tiap jeda, Caroline bisa merasakan tubuh Dila terkena hantaman dari gagang sapu yang solid. Rasa panas yang menyengat muncul dari tiap jejak yang Ayah Dila berikan pada tubuhnya. Ngeri dan ngilu menjadi perasaan yang mendominasi tubuh Dila.

"Tolong hentikan."

Caroline yang menyerah kini digantikan oleh kesadaran Dila sepenuhnya. Rintihan Dila tertutup oleh suara histeris dari Ibu tirinya dan Denia yang kini kebingungan untuk melakukan apa. Dila memeluk tubuhnya dan membiarkan punggungnya yang menjadi sasaran empuk dari pukulan-pukulan keras yang di lakukan oleh Ayahnya.

"Kau anak tidak tahu diri!"

Ditariknya rambut Dila secara paksa membuat Dila meringis dan menangis kencang, mencoba untuk melepaskan genggaman erat Ayahnya.

"Help me..."

Dengan tenaga yang kecil, Dila mencakar tangan Ayahnya dan ia menendang tubuh pria paruh baya itu dengan tenaga terakhir yang ia miliki. Ia duduk bersimpuh dan berteriak sekencang-kencangnya.

"AARRGGHHH!"

Dila menarik-narik ujung rambutnya dan membenturkan tubuhnya ke dinding. Air matanya sudah tidak dapat di bendung lagi. Ia menangis sejadi-jadinya. Persetan dengan anggota keluarga lain yang mendengarkannya, ia tak dapat berbicara semestinya. Ia tak bisa mengekspresikan apa yang ia rasakan. Ia tak bisa menjelaskan rasa sakit apa selain denyutan-denyutan memilukan dari luka di tubuhnya yang pasti akan menimbulkan memar.

Ayah Dila mematung, dirinya yang sedang emosi pun terkejut ketika Dila tak henti-hentinya membenturkan tubuh dan kepalanya ke dinding.

"I—I felt they crawling inside of me... help me."

Bisikan yang berubah menjadi rintihan itu pun di akhiri dengan Dila yang mencakar tangannya sendiri. Ayah Dila terkejut bukan main ketika kuku-kuku panjang Dila menggores kulitnya sendiri. Menimbulkan goresan-goresan segar. Kemudian jemarinya meraih leher dan akhirnya menancapkannya di kulit dan menggaruknya kasar hingga ada luka-luka terbuka di lehernya.

Denia dengan panic membawa ponsel Dila di kamar dan dengan tergesa-gesa segera melakukan pesan yang sudah Dila titipkan padanya sebelum mereka berangkat ke acara keluarga. Ia menggigiti kukunya, menunggu Fadli menjawab teleponnya.

"Di-Dila?"

Dari kamar, Denia bisa mendengar suara Ayahnya yang mulai panik. Namun Denia lebih khawatir ketika melihat Dila yang berteriak dan menggaruk tubuhnya seperti itu.

"Assalamualaikum, Dil."

"Kak Fadli!"

"Uh... uh-oh? Denia?"

"Tolong, tolong Kak Dila." Denia menangis sejadi-jadinya karena ia tak tahu bagaimana cara menjelaskannya pada Fadli.

"Apa? Tolong jelask— tunggu, apa itu suara teriakan Dila?"

"Cepat bantu Kak Dila!" Ucapnya setengah berteriak.

"Aku kesana sekarang." 

***

A/N 

ALOHA MOOSE! 

Wow, maafkan edisi penyiksaan ini ;-; saya sendiri tidak tega tapi mau bagaimana lagi. 

Jika kalian suka, silahkan vote, comment, share, masukkan ke library dan reading list kalian ya ^^ appreciate it. 

See ya! 


Warm regards,  

Matsushina Miyura

Love? Trust? Work? or Hobbies? [Dalam Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang