Support Adit

22.2K 1.2K 8
                                    


Edward tercenung dikursi kebesarannya, kaki panjangnya terjulur keatas meja kerjanya. Tubuhnya melorot dan tenggelam disandaran kursi empuk itu. Matanya menerawang dan dibenaknya bermain-main satu nama yang baru saja diketahuinya. Ramona Valeria.

Ia tak menyangka wanita yang selama ini menghantuinya karena merasa bersalah malah berada dikantornya. Seminggu ini Ia bahkan berkeliling Jakarta untuk mencari informasi mengenai wanita itu dan keluar masuk club malam dan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya. Tapi hasilnya nihil, tak seorang pun mengetahui jati diri wanita itu apalagi peristiwanya telah terjadi sekian tahun yang lalu dan ia tak mengantongi sedikit pun petunjuknya apalagi nama. Edward nyaris putus asa dan berniat menghentikan pencariannya.

Dan ditengah keputus asaannya tiba-tiba wanita itu muncul dan berdiri dihadapannya, menatapnya dengan sorot mata terluka seperti yang pernah dilihatnya beberapa tahun yang lalu. Edward menghela nafas panjang, ia paham apa yang dirasakan Ramona, ia pasti sangat membenci Edward.

Edward sudah bertekad akan mengajak Ramona berbicara, meminta maaf padanya dan bertanggung jawab jika wanita itu memintanya. Tapi dari reaksi yang diperlihatkan Ramona tadi, Edward yakin semua ini tak akan semudah yang dibayangkannya. Ia tak yakin wanita mau menemuinya apalagi memaafkannya. Edward sadar perbuatannya dulu sungguh biadab dan keji, merusak kehormatan gadis yang tak berdosa hanya karena ingin memenuhi tantangan sahabatnya.

Edward kembali menghela nafas, ia berniat mengangkat gagang telpon dimejanya menghubungi Bu Arini, tapi belum sempat ia bergerak telpon itu berdering.

"Halo!"

"Halo Pak Edward, ada seorang pria bernama Pak Adit ingin menemui bapak," terdengar suara Sari, sekretarisnya diujung telpon.

"Suruh masuk!"

"Baik pak."

Edward meletakkan gagang telpon kembali ketempatnya dan menoleh kearah pintu kaca buram begitu mendengar suara ketukan.

"Masuk!!!"

Pintu didorong dari luar dan tersembullah kepala Adit sahabatnya yang sudah tak ditemuinya empat tahun belakangan ini. Senyum Edward langsung mengembang.

"Hai bro apa kabar," ia bangkit dan memeluk Adit hangat, mereka berhigtvive diudara.

"Gue baik, wuah hebat hebat CEO baru kita, baru datang dari Kanada langsung jadi bos." Adit menepuk pelan pundak sahabatnya.

"Ah elo, elo juga CEO sekarang kan diperusahaan bokap lo?"

Adit menggaruk kepalanya yang tak gatal, ia memang telah menjadi pimpinan diperusahaan milik keluarganya persis seperti Edward hanya saja perusahaan Edward jauh lebih besar dari perusahaan yang dipimpinnya.

Edward celingukan kearah pintu seperti mencari sesuatu, "Elo sendirian? Mana Dito?"

Adit ikut menoleh kearah yang dilihat Edward, "dia nggak bisa ikut, jadwalnya sebagai dokter sangat padat dan kami jarang bertemu karena kesibukan masing-masing."

Dito menjadi dokter dan praktek disebuah rumah sakit besar, semenjak kepergian Edward ke Kanada Adit dan Dito jadi jarang bertemu dan sibuk dengan urusan masing-masing. Adit melanjutkan kuliahnya dijurusan bisnis dan Dito dijurusan kedokteran. Sampai Dito berhasil menggapai cita-citanya menjadi dokter spesialis dan praktek disebuah rumah sakit. Adit dan Dito bertemu sesekali dan itu tak sehangat saat Edward masih bersama mereka.

Adit dan Edward duduk disofa bercerita pengalaman masing-masing selama ini, ditingkahi canda tawa keduanya.

Adit mengawasi rekannya lekat, Edward seperti menyimpan masalah besar dipikirannya. Adit bisa melihat itu disorot mata Edward.

"Ada apa? Lo seperti punya masalah berat."

Edward mendongak dan tersenyum tipis, ia memang tak bisa menyembunyikan rahasia didepan Adit, pria itu mempunyai bakat menjadi mindreader dan selalu bisa membaca pikiran Edward.

"Ada yang membebani pikiran gue selama empat tahun ini, kesalahan terbesar yang gue lakukan sebelum keKanada dan menghantui gue karena rasa bersalah."

Adit menegakkan tubuhnya dan menatap Edward antusias, "Maksud lo??"

Edward meneguk minuman dingin ditangannya membasahi tenggorokannya yang mendadak kering.

"Lo ingat tantangan yang kalian berikan waktu kita diclub?"

Adit menautkan alisnya mengingat-ingat, detik berikutnya ia menjentikkan jemarinya diudara, "ya gue ingat, tantangan lo harus tidur dengan seorang wanita kan?"

Edward mengangguk, "dan gue melakukannya, tapi sialnya gue memilih target yang salah."

Adit melongo, "maksudnya lo ngajak cewek jadi-jadian?"

Kepala Edward menggeleng, ia menceritakan tingkah laku brengsek yang dilakukannya pada gadis tak dikenal itu. Dibenaknya masih terpampang jelas kisah empat tahun lalu, yang menghancurkan masa depan gadis baik-baik.

"Jadi dia virgin? Dan lo yang merusaknya? Tapi jika dia gadis baik-baik kenapa bisa masuk ketempat seperti itu?"

"Gue nggak tahu, mungkin diajak teman-temannya, lagi pula ia datang memakai jeans dan kaos bukan dress kekurangan bahan seperti wanita lain. Dan lo tahu ia sangat marah sama gue, matanya menyorotkan kecewa dan luka mendalam. Ia hancur, sangat hancur dan itu meninggalkan rasa bersalah dalam hidup gue. Gue sudah mencoba menghapus rasa bersalah dan bayang-bayang gadis itu dengan mengencani gadis-gadis. Namun wajah gadis itu selalu mengikuti gue seperti hantu."

"Gue tersiksa, batin gue tersiksa Dit, akhirnya gue putuskan kembali kesini dan mencari gadis itu untuk meminta maaf.Seminggu ini gue berkeliling Jakarta mencarinya namun hasilnya nihil, tak satupun yang mengenalnya," Edward mengangkat bahunya pasrah.

"lalu?"

"Gue nyaris putus asa namun keajaiban terjadi, gadis yang selama ini gue cari tiba-tiba hadir didepan gue. Dia salah satu karyawan dikantor ini."

"Oh ya? Lalu lo sudah mengajaknya bicara? Lo sudah minta maaf padanya?" kejar Adit.

Edward menunduk lesu, ia menghela nafas pendek sebelum mendongak bertantang mata dengan Adit, "Kami belum sempat bicara dan tampaknya tak mudah minta maaf padanya, ia terlihat sangat membenci gue." Edward menangkup wajahnya dengan telapak tangannya dan menyentakkan keatas kepalanya, menyisir rambutnya dengan jemarinya.

Adit mengangkat bokongnya dan pindah kesebelah Edward, ia menepuk pundak sahabatnya memberi dukungan, "jangan putus asa, lo bahkan belum mencobanya, gue yakin gadis itu akan luluh dan memaafkan lo jika lo sungguh-sungguh."

Edward mengangguk, keduanya terdiam menikmati aluran pikiran masing-masing, "oh ya Dit, nanti malam ada pesta syukuran dirumah, lo datang ya sekalian ajak pak dokter. Dan gue berharap gadis itu juga hadir karena gue ngundang orang sekantor, gue akan coba bicara dengannya."

"Okey, nanti gue ajak Dito," Adit bangkit, "Kalau gitu gue pamit dulu, sampai bertemu nanti malam."

Edward tak menjawab, ia mengikuti punggung Adit yang menghilang ditelan pintu kaca. Memejamkan mata merancang kata-kata yang tepat untuk gadis itu.

***

Cinta Diujung LukaTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon