Malaikat kecil

23.4K 1.2K 5
                                    


Fajar menyingsing meninggalkan semburat merah diufuk timur. Udara terasa sangat dingin dan titik-titik embun laksana mutiara bergelayutan diujung dedaunan. Masih terlalu pagi untuk memulai semua kegiatan tapi kesibukan sudah terjadi dirumah mungil itu.

Ramona mengaduk nasi goreng diatas wajan, setelah dirasa matang jemarinya bergerak memutar kenop kompor mematikan apinya. Memindahkan nasi goreng ke dua buah piring dan menghias piring dengan isi yang lebih sedikit memakai sosis dan telur ceplok. Ia menambahkan potongan mentimun dan sebagai sentuhan terakhir menaburkan bawang goreng diatasnya.

"Alif!!!"

"Ya ma!!" terdengar derap langkah kecil menuju ruang makan, sebuah kepala mungil tersembul dari bawah meja dan pemiliknya bersusah payah menaiki kursi.

Ramona tersenyum dan membantu putranya naik kekursi, "Habisin ya sayang."

"Oke ma," jempol mungil Alif terangkat keudara, ia mulai menyuap nasi goreng dihadapannya. Kakinya yang menggantung bergoyang-goyang dibawah meja dan kepalanya terangguk-angguk mengikuti lagu anak-anak yang mengalun dari televisi. Itu memang kebiasaan Alif, bergoyang didepan televisi mengikuti gaya penyanyi cilik yang sedang beraksi sambil menunggu sang mama menyiapkan sarapan mereka.

"Ini susunya," Ramona mengangsurkan gelas berisi susu coklat kearah Alif. Bocah tiga tahun itu dengan semangat menghabiskan isi gelasnya, lidahnya terjulur menjilati sisa susu yang menempel disudut bibirnya.

"Sudah ma," ia menyodorkan kembali gelas kosong pada mamanya.

"Pinter anak mama," Ramona membereskan peralatan makan mereka dan mencucinya. Setelah menyelesaikan semuanya ia mengambil tasnya dan tas milik Alif. "Ayo sayang kita berangkat."

Keduanya beriringan keluar dari rumah dan berjalan menuju halte menunggu busway. Kehidupan terus berjalan dan Ramona mengikuti alur yang telah ditentukan oleh yang kuasa. Baru enam bulan rumah mungil itu ditempatinya bersama Alif, buah hatinya.

Semenjak mengetahui dirinya hamil, Mona memutuskan pergi dari rumah dan tinggal di apartemen Rossie. Sahabatnya itu banyak membantunya dalam suka dan duka. Setelah melahirkan Mona kembali menyelesaikan kuliahnya dan mencari kerja sambilan. Tidak mudah memang, apalagi ia memikul beban menghidupi bayi mungil yang terlahir dari rahimnya. Semua dijalaninya penuh pengorbanan dan air mata. Tak jarang ia terpuruk tak kuat menanggung beban hidup, tapi begitu manik mungil milik Alif menatapnya semua beban itu terangkat dari pundaknya. Bergantian ia dan Rossie menjaga Alif, bahkan Rossie memutuskan hubungan dengan semua kekasihnya dan fokus mengurus Alif. Ramona berhutang budi pada sahabatnya itu dan Rossie merasa itu sudah jadi kewajibannya karena ia ikut andil dalam kesengsaraan yang dialami Mona.

Saat Alif berumur satu tahun Mona berhasil menamatkan pendidikannya dan berkelana mencari pekerjaan. Beruntung ia diterima disebuah kantor besar yang bergerak dibidang konstruksi. Mona mulai menabung dan satu setengah tahun kemudian ia berhasil membeli sebuah rumah mungil.

Tidak besar memang tapi cukup asri dan nyaman. Rumah satu lantai dengan dua kamar tidur dan satu kamar mandi dikamar utama, ruang tamu merangkap ruang keluarga dan sebuah dapur.

Semula Rossie keberatan dan tak setuju Mona dan Alif pindah, tapi setelah diberi pengertian oleh Mona akhirnya Rossie mengerti dan mengikhlaskan keduanya meninggalkan dirinya. Mona beralasan ia tidak ingin selamanya merepotkan Rossie, apalagi suatu saat nanti Rossie menikah dan tinggal bersama suaminya. Tidak mungkin selamanya Mona berada diapartemen itu.

Mona mengelus kepala putranya pelan, wajah dan sorot mata Alif sangat mirip dengan orang yang paling dibencinya. Orang yang telah merenggut harta berharganya dan membuatnya terpaksa meninggalkan keluarganya. Terkadang saat rasa sakit itu datang mengoyak hatinya, ia membenci Alif dan rasanya ingin menyingkirkannya dari hidupnya. Tapi rasa sayang jauh lebih besar dari pada rasa bencinya. Apalagi bocah itu tidak bersalah sama sekali, ia bahkan tidak menginginkan lahir didunia. Mona buru-buru menghapus kebencian dihatinya dan memeluk putranya erat-erat. Saat ini hanya Alif yang jadi prioritas hidupnya, Alif oksigennya dan Alif semangat hidupnya.

Alif tumbuh menjadi bocah tampan yang menggemaskan, pipi gembilnya membuat orang-orang menjadi gemas dan ingin menciuminya, manik hitamnya berbinar-binar, rambutnya tebal dan hitam legam, dan sialnya ketampanan Alif mengcopast keseluruhan pria tak dikenal itu. Entah apa yang akan terjadi seandainya Mona bertemu lagi dengan dia. Terkadang Mona berpikir mungkin pria itu sekarang sudah beristri dan memiliki keluarga bahagia. Dan satu-satunya yang diharapkan Mona tidak bertemu lagi dengan orang itu, selamanya!

"Ayo sayang, kita turun," Mona membimbing anaknya turun dari busway, keduanya beriringan masuk kesebuah gedung tak jauh dari kantornya.

"Selamat pagi Alif sayang," Yunita, pengasuh Alif di daycare menyambutnya di pintu, menciumi pipi gembil Alif.

"Pagi bunda Yuni," jawab Alif dan mengelap bekas ciuman dipipinya.

Mona berjongkok menyamakan tinggi dengan putranya, "Alif sayang, mama kerja dulu ya, Alif baik-baik disini jangan nakal dan jangan merepotkan bunda Yuni, mengerti?"

Alif mengangguk, Mona mencium kening anaknya dan Alif mencium punggung tangannya, "Mbak Yun titip Alif ya," ucapnya dan menyerahkan tas kecil milik Alif.

"Jangan khawatir Mona, Alif anak yang penurut dan dia tak pernah bertingkah macam-macam," sahut Yunita.

Alif membalas lambaian tangan Mona dan masuk diiringi Yunita kedalam ruangan. Mona berbalik dan meneruskan langkah menuju kantornya. Ia sangat terbantu dengan adanya daycare dekat tempat kerjanya, karyawan lain juga banyak yang menitipkan anak mereka disana.

"Pagi Mona, semangat sekali pagi ini," sambut Andi yang sudah duduk manis dikursinya.

"Pagi Andi, aku biasa saja sama seperti sebelumnya, tumben kau datang pagi sekali." Mona menata mejanya, matanya melirik sekilas pada Andi yang tengah memperhatikannya.

"Kau tidak tahu ya ada berita besar dikantor kita, bos baru akan datang."

Mona menaikkan sebelah alisnya, "Oh ya? Siapa namanya?"

Andi mengedikkan bahunya, "aku tidak tahu, yang kudengar dia putra tunggalnya Pak Soni Wijaya, CEO lama kita dan anaknya itu yang menggantikan ayahnya."

Mona mengangguk-angguk kecil seolah paham dengan penjelasan Andi, padahal ia tak terlalu tertarik dengan semua itu.Masa bodo mau CEO lama atau baru yang penting ia bisa bekerja dan menghasilkan uang yang banyak untuk masa depan Alif.

"Perhatian semua!! Pimpinan baru kita sudah datang, persiapkan diri kalian untuk menyambutnya!!" Bu Arini bertepuk tangan mengalihkan perhatian para karyawan.

Semua berdiri dan menoleh kearah pintu ruangan menanti sosok pemimpin baru yang dimaksud bu Arini. Karyawan perempuan kasak-kusuk membicarakan bos baru.

"Mudah-mudahan bos barunya masih muda dan tampan, biar ada vitamin penyemangat kerja hi..hi.." Hani terkikik, ia memang pemuja pria tampan dan suka berganti-ganti pasangan.

Semua bersorak menertawakan Hani, wanita genit itu bersungut-sungut tak senang ditertawakan rekan-rekannya.

"Belum tentu sang bos mau denganmu Han, dia pasti lebih tertarik denganku," Widia tak mau kalah, ia membusungkan dada menonjolkan bagian tubuhnya. Satu kantor sudah tahu Hani dan Widia sering bersaing memperebutkan lelaki.

"Sirik!!" Hani mendengus.

"Kita lihat saja siapa yang dipilih bos, kau atau aku!!" Widia tak mau kalah.

"Udah-udah, kalian ini memperebutkan pepesan kosong, belum tentu sang bos memilih salah satu dari kalian. Siapa tahu dia sudah punya istri dan anak." Andi menyela perdebatan keduanya.

"Ssssttt!!! Jangan berisik, bos sudah datang!!"

Cinta Diujung LukaWhere stories live. Discover now