Mona belum siap bang

24.4K 1.5K 69
                                    

Dua part untuk hari ini, cukup kan?

Happy reading,

Mona menggerakkan kelopak matanya perlahan, retinanya langsung menangkap langit-langit putih diatasnya dan aroma obat menerjang penciumannya. Mona tersadar ia masih berada dirumah sakit menunggui Alif dioperasi tapi kenapa sekarang ia yang terbaring dibrankar?

Sontak ingatannya melayang sosok laki-laki yang dilihatnya sebelum kegelapan menenggelamkannya. Bang Ar, gumamnya dan matanya menoleh kesebelah kiri saat merasakan tangan seseorang membelai rambutnya.

"Sudah sadar?" Ardito tersenyum lembut kearah adiknya yang menatapnya dengan mata membola, detik berikutnya sorot mata itu berganti menyiratkan ketakutan.

"Bang," suara Mona terdengar bergetar, ia berusaha bangkit dan menjauh dari Dito, melepaskan jemari Dito yang membelai punggung tangannya, "abang masih marah? Ampuni Mona bang, Mona bikin keluarga kita malu, ampun bang." Mona menangkup wajahnya dengan tubuh gemetar, ia masih ingat tatapan kemarahan yang diberikan Dito beberapa tahun yang lalu dan saat ini ia tak berani bertantang mata dengan abangnya, Mona merasa sangat kecil didepan abangnya, rasa malu dan takut membuat ia kian menyurukkan tubuhnya berharap Dito tak melampiaskan marahnya sekarang, tidak disaat ia tengah bersedih dengan kondisi anaknya.

"Sssst Abang nggak marah," Dito kembali menjangkau tubuh adiknya membawanya dalam dekapannya, "abang yang seharusnya minta maaf dek, abang tak berbuat apa-apa saat kau dalam kesulitan, abang bukan kakak yang baik, abang malah diam saja saat papa memberimu pilihan sulit, maafin abang ya? Maafin Abang, Ini kesalahan abang, apa yang terjadi padamu adalah hukum karma yang seharus abang yang menanggungnya, maafin abang." Dito menciumi puncak kepala adiknya, air matanya meluncur turun membasahi rahang tegasnya. Ini kali pertama Dito menangis didepan orang banyak, biasanya ia menyembunyikan air matanya dan menangis diam-diam, berusaha terlihat baik-baik saja padahal didalam hatinya hancur.

Mona mengurai pelukannya dan menatap wajah Dito heran, "apa maksud abang?"

"Panjang ceritanya, tapi yang jelas perbuatan sikunyuk itu padamu terjadi tak lepas dari kesalahan abang , abang ikut andil semua ini." ucap Dito dan menunjuk Edward yang duduk bersebelahan dengan Adit disofa tak jauh dari mereka.

Mona mengernyitkan keningnya, ia menatap Edward dan Dito bergantian, "Abang kenal pak Edward?"

"Mereka sahabat abang, dari dulu abang sengaja menjauhkan mereka darimu eh....ternyata..." Dito mendengus, ujung matanya melirik Edward dengan raut tak suka.

"Jodoh takkan kemana Dit, lo tau itu," sahut Adit yang sedari tadi diam saja memperhatikan dua kakak beradik itu.

Dito kembali mendengus, entah kenapa hatinya masih kesal pada kedua orang itu terutama Edward, kemarahannya belum berkurang meski ia berhasil membuat pria itu babak belur.

Mona menatap Edward lama kemudian beralih pada Dito,"kenapa Pak Edward babak belur begitu? Abang hajar ya?" tuduhnya.

Dito mengangguk polos, ia menunjukkan raut tak berdosa seolah perbuatannya tadi dibenarkan, padahal kalau mau Edward bisa saja mengadukannya kepihak berwajib dengan tuduhan penganiayaan, dan dokter ganteng itu akan mendekam dipenjara beberapa waktu. Tapi sayangnya Edward tak setega itu, walau bagaimanapun Dito calon abang iparnya. Sebenarnya Edward berniat mendekati Mona dan memeluknya, ia mengurungkan niatnya melihat pelototan Dito, biar saja saat ini pria itu menguasai adiknya sebelum statusnya berubah menjadi istri Edward. Dan saat itu terjadi Edward membalik keadaan menguasai Mona dan Alif. Edward menyeringai membayangkan rencana jahat yang memenuhi pikirannya.

Mona memukul lengan Dito, "Abang kok tega banget sih ngehajar pak Edward separah itu, kan kasian."

Dito melotot sementara Edward mengulum senyum, ia sangat bahagia Mona membelanya, "Loh kok Abang dimarahi, seharusnya sibrengsek itu mendapat balasan jauh lebih berat dari sekedar pukulan." Protes Dito tak senang.

"Bukan membela bang, tapi kasian Pak Edwardnya, dia masih lemas habis donor darah buat Alif. Walau bagaimana pun Pak Edward berjasa menyelamatkan nyawa Alif, golongan darah Alif langka bang dan hanya Pak Edward yang mempunyai golongan darah yang sama, bukannya terima kasih malah dipukuli," sungut Mona.

Dito menghela nafas, Mona benar tadi ia gelap mata dan langsung menghajar Edward tanpa menghiraukan kondisi pria itu yang masih lemah. "yaudah abang minta maaf." Ujarnya pelan, nyaris nggak terdengar.

"Minta maafnya sama Pak Edward bukan sama Mona!"

Dito kembali mendengus, ia menekan rasa kesalnya sebelum berbalik menatap Edward, "Sorry bro gue kehilangan kendali tadi."

Edward sumringah, jalan didepannya perlahan terbuka lebar, "it's oke kakak ipar." Pria itu menatap Mona dan mengucapkan terimakasih lewat sorot matanya.

"Gimana keadaan Alif bang?"

"Operasinya berhasil dan saat ini kondisi Alif stabil, mungkin sekarang sudah siuman."

Mona menautkan alisnya, "secepat itu? Baru beberapa menit yang lalu dioperasinya."

Dito mencubit hidung adiknya, "Kamu sih pingsannya kelamaan, eh abang curiga deh tadi bukannya pingsan tapi bercampur dengan tidur ya kan?"

"Berapa lama Mona pingsan?" Mona penasaran.

"Sehari semalam."

"Hah!! Selama itu? Mona mau lihat Alif bang, ngomong-ngomong siapa yang jaga Alif," Mona beringsut turun dari ranjang sementara Dito bersiap melepas infus ditangan Mona.

"Rossie, calon mertuamu, dan....." Dito menatap adiknya intens.

"Dan?"

"Mama sama papa."

Gerakan Mona terhenti, ia terkesiap dan raut pias kembali menyelimuti wajahnya. Ia megap-megap seperti kehabisan udara dan tubuhnya bergetar, "Bang, Mona tidak siap."

***

Cinta Diujung LukaOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz