Kenyataan Mengejutkan

24.1K 1.4K 15
                                    


Sedan mewah itu meluncur membelah jalanan ibukota menyelip diantara kerumunan kendaraan lainnya. Dibalik kemudi Edward duduk dengan tenang mengendalikan laju mobilnya menuju kantornya. Entah kenapa dari semalam jantungnya berdegup kencang dan ia merasa akan menghadapi sesuatu yang besar hari ini, tapi entah apa.

Mendekati kawasan kantor Edward memelankan laju kendaraannya, matanya menatap awas kendaraan didepannya yang juga melaju pelan menjaga jarak jangan sampai bagian depan mobilnya mencium kendaraan lain.

Tiba-tiba ia tertegun begitu matanya tertuju pada Mona yang baru turun dari busway dengan menggendong seorang anak. Dengan sigap Edward menepikan mobilnya dan mengejar Mona yang memasuki sebuah bangunan, yang menarik perhatiannya adalah bocah lelaki yang berada digendongan wanita itu.

Siapa anak itu?

Edward berlindung dibalik tembok dan mengintip apa yang dilakukan Mona, ia melirik tulisan besar yang tertera didinding bangunan tempat Mona berdiri, daycare, anak siapa yang dititipkan Mona disini? Apa itu anaknya? Kalau iya lalu siapa ayahnya? Apa wanita itu sudah menikah dan punya anak dengan suaminya? Atau jangan-jangan...

Mendadak Edward menegang dan tak berani meneruskan pemikirannya, apa bocah itu...anaknya?

Begitu Mona keluar dari tempat itu Edward bergegas masuk ke tempat penitipan anak itu. Matanya nanar mengawasi setiap bocah yang berlarian didalam ruangan besar itu mencari bocah yang diantar Mona tadi.

"Bapak cari siapa?"

Sebuah tepukan dipundaknya membuat Edward menoleh, seorang wanita paruh baya mengawasinya dengan sorot mata curiga, menatapnya dari ujung rambut sampai ujung kaki kemudian wanita itu mengernyit bingung. Mungkin ia heran ada pria perlente tersasar kepenitipan anak.

"Mmmh maaf buk, saya mau bertemu bocah laki-laki yang tadi diantar Mona, apa bisa?" tanyanya hati-hati, ia khawatir wanita dihadapannya ini menolak dan menganggapnya ingin berbuat jahat pada anak-anak dipenitipannya, berniat menculik mungkin?

"Alif? Memang bapak siapanya Alif?" tanyanya lagi kian curiga.

Edward berpikir sejenak mencari jawaban yang akan meyakinkan wanita ini, "saya omnya Alif, saya dan Mona lagi ada masalah dan Mona melarang saya menemui anaknya. Tapi ibu jangan khawatir, saya tak berniat jahat pada Alif, saya sangat merindukannya dan menemuinya sebentar, boleh bu?" tanya Edward penuh harap, ia ingin memastikan dugaannya dan mencari kebenaran mengenai Alif.

Wanita itu tampak berpikir sejenak, akhirnya ia mengangguk melihat wajah memelas pria tampan didepannya. "Ikut saya."

Edward bersorak dalam hati dan mengekori wanita itu memasuki ruangan lain. Daycare ini sangat luas dengan dekorasi khas anak-anak, gambar kartun dan warna-warna cerah mendominasi seluruh ruangan begitu juga dengan mainan dan sarana lainnya, pantas bocah-bocah itu betah ditempat ini.

"Itu Alif," tunjuk wanita itu kearah bocah yang sedang asyik mewarnai, bocah itu seperti tenggelam dalam dunianya sendiri dan tak mempedulikan rekan-rekan mungilnya yang sibuk berebutan mainan.

"Terima kasih bu..."

"Yuni, panggil saya Yuni."

Edward mengulurkan lengannya, "Saya Edward, terima kasih Bu Yuni. Oh ya bu, kalau boleh tahu berapa usia Alif?"

Yuni berpikir sejenak, "sekitar tiga tahun lebih."

Edward tersenyum, "Sekali lagi terima kasih, bu."

Yuni mengangguk dan meninggalkan Edward yang mendekati Alif, mata pria itu mengawasi lekat bocah tampan yang masih asyik dengan crayonnya. Jantung Edward serasa mau copot dari tempatnya, begitu Alif mendongak dan bertantang mata dengannya. Wajah Alif sangat mirip dengannya, ia seperti melihat dirinya saat masih balita. Saat itu juga Edward yakin Alif adalah darah dagingnya.

Edward luruh dilantai, rasa bersalah kian menghantam dirinya. Pantas saja Mona tak bisa memaafkannya, ia meninggalkan jejak dalam diri wanita itu yang sangat mirip dengan dirinya. Setiap kali melihat Alif pasti Mona merasa sakit dan terluka karena wajah Alif selalu mengingatkan Mona pada kelakuan biadabnya. Wajar jika wanita itu mengutuk dirinya disetiap tarikan nafasnya dan menghantui hari-harinya. Edward menangkup wajahnya menyesali perbuatannya dimasa lalu.

"Om, om tidak apa-apa?"

Suara mungil itu menyadarkan Edward, perlahan ia menurunkan tangannya dan mendapati Alif berdiri didepannya, menatapnya dengan mata berbinar-binar.

"Om lagi sedih ya, kok nangis?" jemari kecil Alif bergerak menghapus titik bening yang tiba-tiba meluncur dipipi tegas pria itu.

Edward terharu dan menahan jemari kecil itu dipipinya, "Kamu Alif kan, anaknya Ramona?"

Alif mengangguk, "Om kenal mama Alif?"

Bukan hanya kenal nak, karena kesalahankulah kau terlahir kedunia ini, sesal batin Edward, "tentu saja, om dan mamamu satu tempat kerja, oh ya Alif lagi apa?"

Alif kembali keposisinya semula, duduk dilantai menghadapi kertas bergambar dan crayon, "Alif lagi mewarnai, oh iya nama om siapa?" Alif kembali mendongak kearah Edward yang sudah duduk disampingnya.

Edward terdiam, tak mungkin kan ia menyuruh Alif memanggilnya dengan sebutan 'papa', "panggil om Edward saja," putusnya kemudian.

Alif menelengkan kepalanya dengan mata menyipit, persis yang sering dilakukan Edward, "om Ed...ward, ah susah nyebutnya, Alif manggilnya om ganteng aja ya."

Edward tersenyum, dielusnya kepala Alif perlahan, "terserah Alif saja."

Alif manggut-manggut dan kembali disibukkan dengan crayon, tangan mungilnya begitu trampil menjejakkan warna-warna kegambar mobil didepannya ditemani Edward. Keduanya sibuk berceloteh dan tertawa layaknya anak dan ayahnya. Edward bahkan nyaris lupa dengan tujuannya berangkat dari rumah jika saja ponselnya tak berdering dan mendapati nama sekretarisnya terpampang disana.

"Astaga hari ini ada meeting penting," ia menepuk keningnya keras membuat Alif menoleh, "Alif om harus pergi kekantor, tapi Alif bisa janji sama om nggak?"

"Janji apa om?" tanya Alif polos, mata bocah itu kembali beradu dengan manik elang Edward.

"Jangan bilang sama mama kalau Alif bertemu dengan om, oke?"

Alif menautkan alisnya tak setuju, "Tapi om, kata mama Alif nggak boleh bohong, dosa."

Edward menggaruk tengkuknya, susah juga ya ngajak anak sekecil Alif bekerja sama, tapi setelah dibujuk akhirnya Alif mengerti dan menyetujui permintaan Edward.

Edward memeluk Alif dan mencium pipinya sebelum berpamitan dengan Bu Yuni, pria itu juga meminta wanita pemilik daycare itu merahasiakan pertemuannya dengan Alif dan untungnya bu Yuni memahaminya. Edward kembali kemobilnya dan melajukannya keparkiran kantor.

***

Cinta Diujung LukaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora