Lega

23.9K 1.4K 36
                                    

Hai guys balik lagi nih meski telat he...he...

Buat Yofitar, nyari ide biasanya bisa kapan saja dan dimana saja [kecuali diWC ya, disana biasanya saya konsentrasi buat ngebom bukan nyari ide].

Biasanya sih saya dapetin ide dari nonton film atau baca cerita orang, cerita siapapun saya baca nggak pilih dia penulis lama atau penulis baru, asal ceritanya bagus, bahasanya nggak kaku dan penulisannya rapi, jelas titik komanya dan jelas pengaturan paragrafnya, pasti saya baca.

Karena saya pengkhayal ulung ya sambil baca diotak saya juga terbentuk sendiri cerita yang akan saya tulis, kalau lagi mood saya bisa langsung menuangkan imajinasi saya dilaptop.

Buat kak Desinara, this part special for you, sorry gak bisa balas WA, saya jarang tengok Hp soalnya...he...he.

Happy reading,

Mona berdiri kaku menatap pintu putih yang sedikit terbuka didepannya, samar-samar dari celah pintu ia mendengar suara bercakap-cakap dari dalam ruangan ditingkahi suara pelan anak kecil. Mona menahan tangisnya, ia mengenal itu suara kedua orangtua yang sudah lama tak didengarnya, ia merindukan mereka.

Mona menoleh, sebuah tangan menyentuh pundaknya dan meremas pelan seolah memberi kekuatan, Dito tersenyum lembut seraya mengangguk mengisyaratkan semua baik-baik saja, Mona balas mengangguk memantapkan hati sebelum tangannya mendorong pelan pintu didepannya.

"Mama." Alif yang melihat Mona langsung tersenyum tangannya melambai kearah Mona, meski bocah itu terbaring lemah diatas ranjang namun matanya berbinar menatap mamanya. Selang infus tersambung kepergelangan mungilnya membuat Mona terenyuh, kepala bocah tampan itu dililit kain kasa begitu juga beberapa bagian kaki dan tangannya. Ternyata anaknya lumayan parah.

"Mona sayang."

Mona mematung, pandangannya yang tadi terfokus ke Alif perlahan mulai teralihkan, disamping ranjang berdiri kedua orang tua Edward, Rossie, papa serta mama Mona. Wanita paruh baya itu tersenyum lembut, matanya berkaca-kaca menatap putri kesayangannya, begitu pula pria gagah yang berdiri disamping Mama Mona.

Dada Mona terasa sesak, sekian tahun tak melihat kedua orangtuanya membuat rindu Mona kian membuncah, ditambah rasa bersalah yang kini bersarang dihatinya membuat wanita muda itu tak berani menggerakkan kakinya, retina matanya mengabur tertutupi selaput bening yang perlahan berubah menjadi rembesan air mata. Haru dan takut bercampur aduk dalam dirinya.

"Ma, pa..." paraunya, ia bergerak maju dan menjatuhkan diri dihadapan kedua orang tuanya, bersimpuh dengan kedua telapak tangan beradu didepan dada memohon pengampunan, "Ampuni Mona, Mona berdosa, Mona anak durhaka tak menuruti perkataan papa, Mona membuat malu keluarga,Mona siap dihukum Pa..."tangis Mona kembali pecah, ia bersujud dikaki papanya, lelaki yang sangat dihormatinya.

"Astaga sayang jangan begini nak, ayo bangun," Randi, Papa Mona mencegah aksi anaknya, ia membawa putrinya berdiri dan memeluknya erat, begitu juga mama Mona, ketiganya bertangisan haru sambil berpelukan.. "Papa yang seharusnya minta maaf, tak seharusnya papa berkata seperti itu padamu. Seharusnya sebagai orang tua kami mendampingimu disaat kamu berada dalam kesulitan. Papa egois nak, maafkan papa ya..."

Mama Mona tak bisa berkata-kata, ia sesegukan dan tangannya mengelus lembut punggung putrinya. Suasana dalam ruang rawat dicekam keharuan, semua yang ada disitu ikut merasakannya. Kecuali Alif yang melihat adegan saling peluk dan tangisan itu bingung, "kok pada nangis ya," celetuknya.

Cinta Diujung LukaWhere stories live. Discover now