33. Menjelang Ujian

10.1K 873 47
                                    

Tasya benar-benar kehilangan Dava sejak hari itu. Sudah hampir sebulan Tasya tidak melihat Dava di sekolah. Setiap Tasya mencari, ada saja yang menghalangi. Entah itu disengaja atau tidak, Tasya tidak tahu.

Hari ini Tasya pulang diantar Bian. Mereka turun dari motor dan masuk ke rumah Tasya dengan tenang. Sesampainya di ruang tamu, mereka melihat bunda yang sedang duduk sendirian sambil membaca majalah. Bunda menoleh sebentar, lalu kembali fokus dengan majalahnya.

"Assalamualaikum, Bun," ucap Tasya sambil menyalami bundanya. Bian melakukan hal yang sama.

"Waalaikumsalam," jawab Bunda dengan singkat tanpa mengalihkan perhatiannya dari majalah.

"Bun, Bian mau main nih," cicit Tasya. Dia tahu kalau bundanya tidak suka dengan Bian, dan bunda sudah mengatakannya langsung pada Tasya. Tetapi dia tidak enak jika menolak niat baik Bian yang ingin mengantarnya. Dadipada naik taksi, 'kan lumayan uangnya bisa ditabung.

"Hm," gumam Bunda tidak jelas.

"Ya udah, Bian duduk dulu ya, aku mau ganti baju," ujar Tasya sambil tersenyum kepada Bian. Dia langsung naik ke lantai atas, meninggalkan Bian dan bundanya yang membisu.

Bian mencoba tenang dengan berdeham pelan. Dia mentapa bunda dari gadis yang sedang dekat dengannya ini.

"Bun ...," panggilnya.

Bunda diam. Dia malah semakin asyik melihat majalah fashion itu.

"Bunda," panggil Bian lagi, dan mendapat respons yang sama.

Bian menahan amarahnya. Dia sudah bosan diperlakukan seperti ini oleh bunda Tasya. Setiap hari dia selalu dianggap tidak ada oleh bunda, dan dia muak.

"Tante!" serunya untuk yang ketiga kali, dan ...,

Berhasil.

Bunda menoleh ke arahnya.

"Ya?" jawab Bunda singkat, padat, dan jelas sejelas-jelasnya.

Bian menghela napas menahan gejolak emosi yang mulai naik ke permukaan.

"Kok Bian panggil baru nengok sih, Tan?" tanya Bian dengan lembut selembut pantat bayi.

"Loh, kamu manggil Tante ya dari tadi? Tante nggak dengar!" jawab Bunda dengan santainya sambil menekan pada kata "tante".

Lagi-lagi Bian menghela napas.

"Tante nggak suka ya Bian panggil Bunda?" tanya Bian to the point. Dia cukup sadar bahwa Bunda tidak menoleh saat dia panggil bunda. Dan hanya menoleh sata dia panggil tante.

"Itu tahu. Ngapain masih dilakuin," kata Bunda santai, matanya kembali menyusuri lembar demi lembar halaman yang ada pada majalah.

Dan Bian haru rela kembali mengontrol kemarahannya.

"Dava aja yang bukan siapa-siapanya Tasya boleh, kenapa Bian enggak, Tan?" protes Bian. Matanya menatap tajam pada bunda yang tidak menoleh sedikit pun.

"Karena Dava calon menatu Tante," jawab Bunda singkat, yang berhasil membuat amarah Bian yang sedari tadi ditahannya mulai memuncak kembali, bahkan sudah sampai di ubun-ubun. Tinggal diberi sedikit saja kata-kata pedas, maka pecahlah amarah itu.

Dan bunda tidak memberikan kata-kata itu, karena begktu selesai mengatakan kalimat tadi, dia langsung beranjak menuju kamarnya tanpa berkata apa-apa lagi.

"Dasar tidak tahu diri!" umpat Bian sambil berdiri. Dia benar-benar merasa muak sekarang.

Tasya yang sedari tadi ada di tangga dan menyaksikan perdebatan keduanya pun turun menemui Bian. Dia sungguh terkejut sekaligus kesal dengan kata-kata Bian yang ditujukan untuk bundanya. Bagaimana pun juga, itu bundanya. Tidak ada yang boleh menghina atau pun merendahkan bunda!

"Bian!" serunya dengan lantang. "Kamu apa-apaan sih?!"

Bian menoleh ke arah Tasya lalu mendengkus kesal dan kembali membuang muka.

"Gue capek deh, Sya. Selalu dianggap nggak ada sama nyokap lo. Lo pikir gue apaan? Jangan seenaknya ya sama gue. Gue bisa lakuin apa aja buat bikin kalian berdua sengsara!" ancam Bian. Kata-katanya sungguh kasar dan melukai Tasya. Gadis itu sampai mengeluarkan air mata berharganya hanya untuk orang tidak waras seperti Bian.

"Segimanapun bunda, dia tetap bunda aku. Nggak ada yang boleh ngehina dia, apalagi ngerendahin bunda! Nggak kamu, nggak siapa pun! Silakan saja kalau kamu mau buat perhitungan, aku nggak takut karena Allah bersamaku!" pekiknya dengan air mata berurai.

"Ini bukan seperti kamu yang dulu, Bi. Kamu berubah! Inikah sifat asli kamu? Jadi selama ini kamu cuma pakai topeng di depan aku?" tanya Tasya sinis.

"Jangan pernah temui aku lagi. Kamu tahu pintu keluar ada di mana."

Tasya memalingkan wajahnya. Dia mengusap kasar air mata yang dengan lancangnya turun, seolah memperlihatkan sisi dirinya yang lemah.

"Gue nggak akan lupain penghinaan ini!" teriak Bian. Dia meyambar kunci motor dan berjalan cepat ke arah pintu lalu membuka dan membantingnya.

Tasya memejamkan matanya saat mendengar deru motor mulai menjauh. Dia berlari ke kamar bunda dan membukanya dengan kasar.

"Bunda ...," lirihnya sambil mememluk bunda yang juga sedang menangis. "Maafin Tasya, Bun. Tasya nggak pernah dengerin kata-kata Bunda."

"Nggak papa, Sayang. Jangan diulangin lagi ya? Harus nurut sama Bunda. Bunda cuma nggak mau kamu kenapa-napa. Insting seorang ibu tidak pernah salah, Nak. Tasya ngerti 'kan?" kata Bunda. Dia menenangkan Tasya dengan mengusap pelan punggung putrinya itu lalu mengecup puncak kepalanya.

"Udah jangan nangis, Sayang."

"Iya, Bunda. Maafin Tasya udah nggak nurut sama Bunda. Mulai sekarang, Tasya bakal turutin semua kata Bunda. Bunda prioritas Tasya dari dulu sampai sekarang. Maaf udah sempat melupakan Bunda sejenak. Tasya janji bakal bahagiain Bunda. Bunda juga jangan nangis." Tasya mengurai pelukan mereka lalu menyeka air mata bundanya. Bunda pun melakukan hal yang sama.

"Terima kasih, Sayang. Tasya kesayangannya Bunda udah kembali! Tasya yang baik hati dan polos," canda Bunda sambil menubit pelan hidung Tasya yang membuat Tasya merengek. Mereka tertawa bersama-sama karena hal kecil itu.

"Kita tidur ya?" ujar Bunda setelah mereka berdiri lama. Dia menuntun Tasya untuk duduk di pinggir ranjangnya dan merebahkan anak gadis satu-satunya ini lalu ikut merebahkan diri di sampingnya. Keadaan menjadi hening cukup lama.

"Bunda," panggil Tasya yang dijawab gumaman bunda.

"Nyanyiin Tasya!" rengeknya. Gadis itu menyerukkan wajahnya di ketiak bunda, seperti saat dia masih kecil dahulu.

"Astaga, Tasya-nya Bunda benar-benar kembali!" canda Bunda sambil terkekeh. Dia mengeratkan pelukannya lalu mulai bernyanyi hingga Tasya terlelap.
   
   
   
  
****
TBC.
Triple  😍

Sampai jumpa di bab selanjutnya....

LUKA (COMPLETE)Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora