10. Pendekatan 2

15.8K 1.3K 83
                                    

Hangout bersama orang yang dicintai itu bagaikan mendapat emas sekarung. Bahagia! Itu yang Dava rasakan sejak tadi, yang membuat dia tersenyum-senyum sendiri sejak mereka memilih mengakhiri acara belajar mereka.

Dava terdiam menatap wajah Tasya yang sibuk dengan es krim di depannya. Wajahnya seperti anak kecil yang baru saja memakan es krim untuk pertama kalinya. Berlepotan es krim di mana-mana.

"Pelan-pelan, Sya. Aku enggak bakalan minta," peringat Dava yang membuat Tasya menghentikan aktivitasnya. Tasya tersenyum cengengesan lalu melanjutkan makannya.

Sejenak Dava tertegun. Dia merasa seperti de javu. Senyuman itu, perkataan itu, cara Tasya makan es krim, tatapan Tasya, semuanya seperti pernah Dava lalui. Tapi kapan? Sepertinya Dava melupakan sesuatu.

Dava menggelengkan kepalanya; mengusir pikiran itu dari kepalanya. Dia kembali menatap Tasya yang tampak sudah selesai dengan es krimnya.

"Dilap, Sya."

Dava menyodorkan tisu yang sejak tadi ada di depannya. Sebenarnya Dava ingin dia yang melakukannya, tetapi jarak nya jauh dan tangannya tidak sampai. Walaupun dekat pun Dava tidak akan melakukannya. Tidak setelah insiden lap keringat beberapa waktu yang lalu.

"Sekarang kita mau ngapain?"

Tasya menekuk wajahnya, menatap ke luar jendela kafe yang ada di samping kirinya. Dia merasa bosan sedari tadi hanya duduk saja, tidak ada kegiatan lain. Apalagi setelah mood boster-nya--es krim--hilang.

Dava tampak berpikir, terbesit suatu ide di kepalanya. "Gimana kalau kita sharing aja?" usul Dava.

Dava berusaha menyembunyikan senyumnya saat dia melihat Tasya yang mengangguk sambil tersenyum antusias. Hatinya menjerit senang karena sebentar lagi dia akan mengetahui apa yanh disukai dan tidak disukai oleh Tasya. Sebut saja Dava sedang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan! Biar saja! Toh memang itu yang dilakukannya.

"Oke. Sekarang dari kamu ya! Kamu suka sama apa?" tanya Dava yang sudah meletakkan kedua tangannya di atas meja.

"Apanya nih? Warna? Benda? Lebih spesifik lagi."

"Kamu suka warna apa?"

"Aku lebih suka biru sih. Tapi yang enggak tua banget. Pokoknya semua warna yang soft-soft tapi lebih sreg ke biru."

Tasya menjawab dengan senyum manis di bibirnya. Dia memang selalu suka jika membahas warna kesukaannya. Dia selalu mengagumi warna biru di hidupnya. Entah mengapa sejak kecil dia selalu membeli barang yang berwarna biru. Bahkan baju-bajunya pun kebanyakan berwarna biru. Sampai dia bingung memilih baju saat ada acara yang ada dress code-nya.

"Selain warna biru, apalagi hal di hidup kamu yang paling kamu sukai?"

Tasya berpikir sejenak. "Delapan."

Dava mengangkat satu alisnya bingung. "Delapan? Maksudnya?" tanyanya.

"Aku suka angka delapan."

Dava berdeham. "Ada apa sama angka delapa?"

Tasya terdiam. Dia mengalihkan pandangannya ke luar jendala. Lagi. Tasya menatap lalu lalang kendaraan yang lewat.

"Angka delapan itu istimewa." Tasya mulai bercerita. "Angka delapan tidak ada putusnya. Dia menyambungkan dari ujung ke ujung. Dan aku suka."

Tasya menjeda ucapannya. Dia menyesap teh yang sudah mulai dingin.

"Dulu saat aku umur delapan tahun, tepat saat hari ulang tahunku, ayahku meninggal. Aku syok lihat ayahku tiduran di sofa sambil menahan sakit di dadanya. Di saat aku baru aja niup lilin, ayahku tiba-tiba duduk dan menyentuh dadanya. Bunda cepat-cepat manggil ambulans. Saat aku sama bunda masuk ke ruang rawat ayah, dokter bilang kalau ayah udah enggak bisa diselamatin lagi. Di situ aku merasa hancur. Walaupun aku masih delapan tahun, aku tahu apa yang terjadi sama ayah. Dan di saat-saat terakhirnya, ayah berpesan sama aku supaya aku enggak nangis. Ayah bilang meskipun dia nanti udah enggak ada, tapi kasih sayang dia akan tetap mengalir di hati aku seperti angka delapan, yang enggak akan putus. Sejak saat itu, aku suka angka delapan. Karena itu akan membuat aku merasa dekat sama ayah."

Tasya berhenti menangis saat merasakan usapan lembut pada pipinya. Tasya tidak menyangka dia akan menangis lagi saat kembali menceritakan masa-masa tersulitnya. Dia pernah menceritakan hal ini pada temannya dulu sewaktu sekolah menengah pertaman. Tetapi reaksi tubuhnya tidak sebegini frustrasinya. Dia bahkan tidak meneteskan air matanya sama sekali.

Tetapi dengan Dava, entah kenapa Tasya bisa menangis. Bahkan dia tidak tahu kapan air mata itu denagn lancangnya turunke pipinya. Dia tidak bisa merasakannya. Rasanya tidak ada hambatan saat bercerita dengan Dava. Justru hatinya menjadi lebih ringan sekarang.

Dava sudah berpindah duduk di samping kiri Tasya. Dia mengusap pelan pipi Tasya yang terus saja bercucuran air mata. Dia tahu pasti sulit untuk menceritakan hal terberat dalam hidup kepada seseorang yang bukan siapa-siapa. Ingin rasanya Dava mendekap Tasya ke dalam pelukannya, tetapi dia masih ingin hidup besok pagi. Dava pun sadar jika mereka bukan mahram.

"Sstt ... tenang, Sya," ujar Dava. Tangannya berpindah membelai kepala Tasya yang tertutup kerudung. Dava bisa melihat sorot kesedihan pada kedua bola mata Tasya.

Dava terus menenangkan Tasya sampai gadis itu benar-benar berhenti menangis. Sepanjang Dava menenangkan Tasya, Dava berpikir topik apa yang cocok untuk mengalihkan pembicaraan ini.

"Udah. Ayah kamu udah tenang di sana. Enggak usah nangis. Kamu hanya perlu berdoa kalau kamu kangen sama ayah kamu," kata Dava.

Tasya mengangguk. Dia mengibaskan tangannya di depan hidung saat merasa ada sesuatu yang mengalir di sana. Tangannya yang satu meraba-raba meja; mencari kotak tisu untuk mengelap hidungnya.

Dava yang tanggap langsung memegang punggung Tassya dengan tangan kanannya, dan mengarahkan tangan kirinya pada hidung Tasya. Menekan pelan agar airnya hilang dan mengelapkannya pada tisu yang sudah didapat oleh Tasya.

"Udah baikan?" tanya Dava, dan Tasya mengangguk pelan.

"Udah. Daripada sedih-sedih gini, mending kamu tanya sama aku apa pun yang mau kamu tanyain."

Tasya berpikir sejenak. Dia sudah lupa dengan kesedihannya sesaat setelah Dava menyentuh hidungnya untuk menghilangkan cairan asin yang mengalir di hidungnya tadi.

"Apa yang kamu suka?" tanya Tasya saat dia tidak tahu mau menanyakan apa.

Mendengar pertanyaan itu, Dava menyeringai. Dia berdeham sebelum menjawab pertanyaan Tasya.

"Mau tahu aja, apa mau tahu banget?" goda Dava yang membuat Tasya mencebikkan bibirnya kesal.

"Ihh ... yang bener dong!" rengek Tasya. Dia memalingkan wajahnya ke depan. Tasya tidak kuat menatap wajah Dava yang agak dekat dengannya karena mereka duduk bersebelahan.

"Ya aku nanya, mau tahu aja apa mau tahu banget, Say. Eh ... Sya, maksudnya," ujar Dava yang kembali menggoda Tasya.

"Mau tahu aja!" seru Tasya penuh penekanan.

"Oh, ya udah." Dava memalingkan wajahnya.

"Dih? Ya udah."

"Beneran nih enggak mau tahu?"

"Kan aku tadi udah tanya, dan kamu enggak jawab!" seru Tasya. Dia memutar bola matanya malas saat melihat Dava yang sedang menahan senyumnya.

"Coba kamu tanya aku sekali lagi," pinta Dava.

Tasya berdecak, tetapi tetap melakukan perintah Dava. "Apa yang kamu suka?"

Ada jeda sebelum Dava menjawab pertanyaan Tasya. Dia menatap lekat kedua mata Tasya.

"Kamu."
   
     
     
   
****
TBC.

Gimana sama bab ini?

Jangan lupa vote dan komen yak teman. 😚

Sampai jumpa di bab selanjutnya....

LUKA (COMPLETE)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu