18. Tantangan

11.2K 1K 119
                                    

Lagi dan lagi. Dava berada di ruangan yang dulu sering didatanginya. Di depannya, duduk seorang wanita cantik yang sangat dihormati Dava, Bu Ana.

"Dav, besok Senin Ujian Akhir Semester sudah dilaksanakan. Ibu harap, kamu bisa membimbing Tasya sebaik mungkin. Ibu lihat akhir-akhir ini Tasya menjadi dekat dengan Bian. Bukannya Ibu tidak percaya pada Bian. Ibu hanya mencoba profesional dengan tetap memilih kamu yang sejak awal sudah menjadi tutor Tasya. Ibu harap kalian juga profesional dengan tidak mengingkari kesepakatan ini. Ini juga untuk kebaikan kalian 'kan? Apalagi Ibu Tasya yang sudah beberapa kali menelepon Ibu demi menanyakan mengapa Tasya sudah jarang belajar lagi. Kamu tidak ingin mengecewakan kami bukan?"

Dava hanya diam. Dia bingung sendiri sekarang. Bukan maksudnya tidak mau belajar lagi dengan Tasya. Tetapi jika yang mau dibimbing saja tidak mau belajar, Dava bisa apa? Dava bahkan sudah menekan egonya, bertanya setiap hari pada Tasya sejak SMS-nya beberapa waktu yang lalu yang ditolak mentah-mentah oleh Tasya. Dava berusaha membujuk Tasya. Tapi jika orangnya saja sudah tidak mau, masa Dava harus mengemis pada Tasya? Tidak elite sekali!

"Dava? Bisa 'kan?" tanya Bu Ana sekali lagi saat tidak mendapat respons dari Dava.

Dava gelagapan. Dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali untuk menutupi kegugupannya. "Emh ... iy–"

"Atau jangan-jangan kalian lagi ada masalah?" tebak Bu Ana, memotong perkataan Dava.

Dava secara spontan menggeleng keras, menolak argumen Bu Ana. "Enggak kok, Bu," elaknya. Dav mencoba untuk bertingkah biasa agar Bu Ana tidak semakin curiga kepadanya.

"Ya sudah. Ibu harap kamu bisa menepati ucapan kamu. Dari dulu Ibu selalu percaya padamu, Dav. Jangan menyia-nyiakan kepercayaan Ibu," tutup Bu Ana yang tatapannya sudah mulai melembut.

Dava mengangguk pelan, tak lupa ikut melontarkan senyum manis andalannya. Dava pamit lalu keluar dari ruang BK. Dlam hati Dava berjanji akan berusaha membujuk Tasya lebih keras lagi agar gadis nakal itu mau belajar seperti dulu.

Dava menghela napas lelah. Dia berjalan pelan untuk kembali ke kelas. Lagi, lagi, Dava berpapasan dengan dua makhluk yang kini menempel bagaikan prangko. Dava mendengkus keras-keras agar mereka menyadari kehadirannya.

Hal itu berhasil. Tasya menoleh sekilas dan dari tatapannya, Dava melihat keterkejutan yang sangat kentara. Tasya menghentikan langkahnya, yang membuat langkah seseorang di samping Tasya ikut berhenti. Mereka berdua kompak menatap Dava yang kini mengibas-ngibaskan kerah bajunya, seolah kepanasan. Tentu saja bukan panas dalam artian yang sebenarnya. Hatinya yang memanas melihat Tasya yang lagi-lagi jalan berduan dengan Bian.

"Kamu di sini, Dav? Sejak kapan?"

Pertanyaan polos Tasya membuat Dava ingin menjedorkan kepalanya ke tembok. Setelah sekian lama, kenapa pertanyaan tidak bermutu itu yang keluar dari bibir Tasya?!

"Sejak Nabi Adam belum ketemu sama Siti Hawa!" jawab Dava dengan ketus.

Tasya mengerjap pelan. "Emang saat itu kamu udah lahir?" tanyanya. Kepalanya tampak sedang berpikir keras. "Berarti kamu udah tua dong! Kok nggak keliatan?! Jangan-jangan ... kamu vampir?!" terka Tasya semakin menjadi-jadi.

Dava mendengkus kesal. Kesal dengan kepolosan Tasya yang semakin hari bukannya berkurang justru semakin bertambah.

"Iya, Sya, aku vampir! Siap-siap aja nanti malam kamu bakal aku gigit!" seru Dava sambil memperagakan seorang vampir yang akan menggigit mangsanya.

Bola mata Tasya membulat. Refleks tangannya langsung menampar Dava saat laki-laki itu mencoba mendekat untuk menakuti Tasya.

"Aduh! Kok ditampar sih, Sya?!" pekik Dava tidak terima. Dia memegangi pipi sebelah kirimya yang baru saja mendapat salam manis dari tangan Tasya.

LUKA (COMPLETE)Where stories live. Discover now