21. Dilema

11K 958 34
                                    

Setelah kejadian di danau itu, Dava yang awalnya ingin menyerah, akhirnya dia mengurungkan niatnya. Dia bertekad untuk membuat Tasya menjadi lebih nyaman lagi bersamanya daripada bersama Bian.

"Pokoknya aku nggak boleh nyerah! Apa pun yang terjadi, aku akan buat Tasya nyaman sama aku. Masa Dava yang gantengini kalah sama Bian yang ... gimana ya? Nggak enak juga sih ngomongnya, tapi itu fakta sih. Kata Mama, jujur itu indah! Ya, aku akuin deh. Masa kalah sama Bian yang ... pas-pasan. Eh, kelepasan!"

Dava terus berceloteh di depan cermin sambil merapikan rambutnya—yang bahkan sudah sangat rapi itu. Semangatmya berkobar saat dia teringat watak Bian yang sedikit kasar itu. Dia tidak mau Tasya disakiti!

Hari sudah malam dan Dava masih saja berdiri di depan cermin yang ada di kamarnya; memuji-muji dirinya dan menjadi anak yang sedikit alay.

Hingga suara ketukan pintu membuat Dava menghentikan celotehannya. "Ya, Ma?" sahut Dava kepada mamanya yang sudah dia hafal suaranya.

"Kamu bicara sama siapa? Ada temen kamu ya di dalam?" tanya Mama Dava. Tersirat jelas nada heran pada suaranya.

Dava mengerjapkan matanya pelan. "Kok Mama denger sih? Duh, malunya!" lirih Dava sambil mengusap wajahnya. Apalagi saat dirinya mendengar suara handle pintu yang dibuka. Cepat-cepat Dava menyambar ponsel yang sedadi tadi ada di meja samping kiri cermin.

"Dav?"

"Emh ... Dava lagi teleponan sama temen Dava, Ma. Biasa, anak muda," jawab Dava mencoba untuk terlihat tenang. Tangannya sudah dia letakkan di kuping kanannya sambil membawa ponsel. Dava meletakkan jari telunjuk tangan kirinya di bibirnya, seolah mengisyaratkan pada mamanya untuk mengecilkan suaranya.

"Eh, sebentar ya, Kan. Aku lagi dipanggil Mama nih. Iya, nanti aku telepon lagi. Oke bye!"

Sekali lagi Dava berpura-pura sedang berbicara kepada temannya melalui ponselnya. Ish ... padahal, Kan itu siapa saja Dava tidak tahu. Dia hanya asal memanggil nama laki-laki—tentu saja agar mamanya tidak bertanya lagi jika Dava menyebut nama perempuan.

"Udah, Ma. Mama mau ngomong apa sama Dava?" tabya Dava setelah meletakkan kembali ponselnya ke tempat semula.

Mama Dava memiringkan kepalanya sedikit heran. Tingkah Dava agak mencurigakan. Namun, dia segera menepis pikiran negatifnya itu. Dia memilih keluar dari kamar Dava setelah menyuruh anaknya untuk makan malam.

"Huh, untung Mama nggak curiga. Bisa dimasukin rumah sakit waras nanti kalau tahu anak gantengnya ini ngomong sendiri!" Dava bergidik ngeri membayangkan jika dirinya benar-benar dimasukkan ke rumah sakit itu.

"Jangan Ya Allah, amit-amit! Maafkan Dava yang sudah bohong Ya Allah. Ini antara gengsi dan malu Dava!" ucap Dava sambil memelas.

"Ah, chat Tasya dulu deh, sebelum turun."
      
        
      
***  
 
   
   
Tasya baru saja pulang sehabis jalan-jalan bersama Bian. Entah mengapa, sejak Bian pulang lagi ke sini, Tasya menjadi semakin dekat dengan laki-laki itu. Dia selalu saja tidak bisa menolak keinginan Bian atau pun membantah ucapannya. Tasya tahu itu salah. Harusnya hanya ucapan bundanyalah yang dia dengarkan. Apalagi akhir-akhir ini Tasya sering pulang malam karena selalu diajak Bian keliling kota dulu.

Memang sih, ada perasaan senang. Tetapi melihat bundanya yang marah-marah membuat Tasya menjadi agak resah. Dia tidak ingin membuat bundanya sakit. Tasya tidak ingin durhaka kepada bundanya. Namun, ajakan Bian terkesan menggiurkan. Tasya yang selama ini menjadi anak rumahan, tentu saja langsung menyambut dengan antusias saat ada yang mengajaknya jalan-jalan. Apalagi setelah menyelesaikan Ujian Akhir Semesternya hampir dua minggu yang lalu.

Dan ... sudah tiga hari pula Tasya tidak melihat Dava, tidak bertemu dengannya, tidak berkomunikasi lagi—oke, yang terakhir itu salah Tasya karena tidak pernah membalas pesan atau pun mengangkat telepon Dava. Dia hanya merasa tidak enak jika melakukan itu di saat dirinya sedang bersama Bian. Tasya merasa itu tidak tepat.

Namun, karena ulahnya itu, hati Tasya menjadi agak mengganjal. Serasa ada yang kurang dari hatinya. Entah apa itu, Tasya tidak ingin terburu-buru menyimpulkan semuanya.

Gadis itu menghela napas lelah. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Tasya beranjak dari duduknya menuju kamar mandi.

Tak lama kemudian, Tasya sudah duduk kembali di kasurnya sambil menyenderkan tubuhnya pada tumpukan bantal di belakangnya. Dia membuka tas selempangnya guna mencari benda pipih yang selalu dia rindukan.

"Ah, ketemu," ujarnya saat merasakan tangannya menyentuh sesuatu yang dingin.

"Buka ah. Dari tadi nggak buka ponsel. Siapa tahu ada yang kangen sama aku." Tasya terkikik geli dengan ucapannya sendiri.

Dia lalu menghidupkan ponselnya yang sedadi tadi dia matikan. Setelah menunggu beberapa saat, ponsel Tasya sudah bisa dia gunakan kembali. Belum sempat Tasya menyentuh ponselnya, ada bunyi notifikasi tanda pesan masuk. Dengan agak malas dia membuka pesan tersebut yang berasal dari Dava.

Dava Abiyoga
Lagi ngapain, Sya? Jangan telat makan! Nanti magh kamu kambuh. Selamat malam ya :) Aku selalu merindukanmu :*

Tasya menghela napas setelah membaca pesan dari Dava. Dia memejamkan matanya sejenak. Dia memilih tidak membalas pesan itu. Tasya langsung merebahkan tubuhnya, bersiap untuk tidur.

Satu jam berlalu.

Tasya mendudukkan tubuhnya yang sedari tadi tidak bisa diam. Dia merasa posisinya tidak pas. Entah itu pengaruh dari pesan Dava atau tidak. Tapi Tasya akui bahwa pesan Dava memang sedikit berpengaruh pada reaksi tubuhnya.

Sejak kejadian di danau itu, Dava menjadi semakin sering menghubunginya. Entah itu lewat pesan atau panggilan yang selalu diabaikan oleh Tasya. Dia sebenarnya tidak ingin melakukan ini. Dia juga sedikit rindu kepada Dava, rindu berdebat lagi dengan Dava. Tapi kata-kata Bian masih terngiang jelas di telinganya. Dia berkata bahwa Dava hanya iseng dengan pesannya tersebut. Hanya iseng dengan perasaannya tersebut. Maka dari itu Tasya sedikit menghindar dari Dava akhir-akhir ini.

"Ya ampun, aku nggak tahu lagi harus gimana! Pengin pegang janjiku sama Bian, tapi aku kangen sama bawelnya Dava. Tapi kalau aku deket lagi sama Dava, aku sudah terlanjur janji sama Bian. Ish! Nggak tahulah. Mending tiaur aja. Nikmatin liburan yang tinggal beberapa hari lagi, Sya! Nggak usah mikirin yang aneh-aneh! Bye!"
    
    
   
   
****
TBC.

Sampai jumpa di baba selanjutnya....

LUKA (COMPLETE)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu