9. Ngalah itu Penting

17.1K 1.3K 65
                                    

Beberapa minggu berlalu dan intensitas belajar Dava dan Tasya semakin sering, bahkan hampir setiap hari. Setiap hari Dava harus menyiapkan stok kesabaran sebelum belajar dengan Tasya. Dia harus bisa sabar menghadapi sifat Tasya yang satu itu.

Banyak pelajaran yang sudah mereka bahas. Bahkan sampai pelajaran seni pun Tasya tanyakan, padahal hanya menggambar.

Mereka pun sering hangout saat weekend. Mendatangi tempat wisata yang belum pernah Tasya datangi. Dava menyebut itu sebagai kencan. Dia menurut saja saat Tasya memintanya untuk mengantar ke tempat-tempat tertentu, bahkan membayari segala sesuatu menyangkut kencan mereka.

Bertemu dengan Tasya saja sudah membuat Dava tersenyum-senyum sendiri, apalagi jika berkencan dengannya. Rasanya Dava ingin pingsan saking bahagianya.

Hari ini mereka janjian belajar di kafe dekat rumah Tasya. Selama ini memang mereka selalu memilih tempat belajar di dekat rumah Tasya atau  di rumah gadis itu sendiri jika ada bundanya di rumah, karena Tasya takut jika pergi jauh-jauh. Dia tidak terbiasa menjadi anak kelayapan. Dia tipikal gadis rumahan yang selalu menghabiskan weekend dengan bundanya.

Dava sudah rapi dengan kaos hitam dan celana pendeknya; duduk di pojok kafe menunggu Tasya yang belum datang. Dia mengetukkan jarinya pada meja hingga menimbulkan bunyi samar-samar.

"Dav!"

Dava tersenyum saat indra pendengarannya menangkap suara seseorang yang beberapa minggu ini selalu menghiasi harinya. Dia berdiri saat gadis itu sudah sampai di depannya dan sedang tersenyum ke arahnya.

Dava mengamati penampilan Tasya yang menurut Dava semakin hari semakin cantik. Tasya terlihat anggun dengan gamis merah muda dan kerudung warna senada yang dikenakannya.

"Udah lama?" tanya gadis itu.

Dava menggeleng dan kembali tersenyum. "Duduk, Sya."

Tasya menarik kursi di hadapan Dava dan duduk di sana. Dia meletakkan tasnya di atas meja, mengeluarkan buku Matematika serta alat tulis. Semua itu tak lepas dari pengamatan Dava. Dia menatap lekat pada Tasya yang kini juga menatapnya sambil mengerutkan dahinya.

"Kenapa, Dav?"

Dava menggeleng. Dia meraih buku Tasya dan mulai membacanya.

"Sekarang mau belajar yang mana?"

Tasya menjawab jika dia belum paham tentang refleksi yang ada dalam bab Transformasi Geometri.

"Bagian mana yang belum jelas?" Dava berkata dengan pandangan yang masih terfokus pada buku di tangannya.

Tasya ikut melihat bukunya dan berkata, "Cara hitungnya aku masih bingung. Ini gimana kok bisa jadi gini? Kok rumusnya beda-beda? Yang bener itu yang mana sih, Dav? Kok aku jadi bingung gini sih?" tanya Tasya panjang lebar. Dia menggaruk dahinya yang tidak gatal.

Dava mengambil napas sebelum mulai menjelaskan. "Refleksi itu 'kan pencerminan?" pancing Dava, dan Tasya mengangguk.

"Nah, sesuatu itu enggak selalu dicerminkan dalam satu hal yang sama 'kan? Pasti beda-beda. Maka dari itu rumusnya enggak cuma satu. Dalam Transformasi Geometri ini, ada lima rumus untuk nentuin bayangan titik tertentu. Penceminan terhadap sumbu X, sumbu Y, garis Y=X, garis Y=-X, sama terhadap titik asal 0. Rumusnya ada sendiri-sendiri. Bentar," jelas Dava. Tangannya bergerak membalik halaman demi halaman buku catatan Tasya, mencari tabel rumus yang biasa dibuatkan oleh Bu Anita di papan tulis yang nantinya dicatat oleh murud-muridnya.

Tangan Dava berhenti saat matanya menangkap tabel itu. Dia tersenyum dan membalikkan buku catatan tersebut ke arah Tasya. "Ini kamu catat. Masa kamu lupa?" tanya Dava. Tasya hanya mengangguk sambil tersenyum cengengesan.

LUKA (COMPLETE)Where stories live. Discover now