26. Kebahagiaan Baru

10K 934 48
                                    

Setelah menjadi sok pahlawan dengan menolong Tajhu kemarin, Dava kembali menjadi pendiam lagi. Dia hanya menyaksikan dari jauh senyum Tasya yang selalu mengambang jika bersama dengan Bian. Entah ada apa dengan diri Bian, yang membuat Tasya jatuh cinta seperti itu, yang jelas itu membuat dada Dava sesak saat melihatnya.

"Udahlah, Dav, ikhlasin aja. Siapa tahu kamu dapat yang lebih baik dari dia!"

Dan sejak tahu permasalahannya itu, Rico terus saja sok-sokan menasehatinya, seolah dirinya pakar cinta, padaha sendirinya jomblo. Seperti saat ini, saat sepasang mata Dava sedang mengawasi gerak-gerik Tasya yang sedang duduk berdua bersama Bian di bawah pohon rindang depan kelas Tasya.

"Kamu ngomongnya enak, Ric. Nggak tahu ngejalaninnya kayak gimana. Aku kenal dia dari kecil, aku suka sama dia bahkan dari aku belum pubertas, sampai udah mau tua kayak gini. Dia bahkan lupa sama aku. Terus dengan gampangnya kamu suruh aku lupain dia? Nggak bisa!" jelas Dava menggebu-gebu. Sebisa mungkin dia menekan rasa sesak di dadanya agar sedikit berkurang, setidaknya sampai bel masuk berbunyi.

Bicara soal bel masuk, Dava lupa bahwa dia belum salat Zuhur sama sekali. Dia terlalu fokus dengan Tasya sampai melupakan kewajibannya itu.

"Ric, udah salat belum?" tanya Dava sedikit panik. Pasalnya jarum jam menunjukkan bahwa sebentar lagi bel masuk akan berbunyi.

Rico yang ditanya justru mendengkus pelan. "Aku tadi udah nawarin ka mi u buat salat bareng, tapi kamu tolak. Ya udah salat sendiri aja!"

"Kapan? Ya ampun! Udah ah, aku mau salat dulu. Nanati kalau ada guru yang cariin aku, bilang aja lagi salat, oke?"

Dengan kecepatan kilat, Dava berlari menuju Musala sekolah. Dari lawan arah, Tasya dan Bian sedang berjalan berdua beriringan, entah mau ke mana.

Dava yang terburu-buru pun tidak sengaja menyenggol bahu Tasya.

"Eh, sorry, sorry, aku buru-buru!" ujarnya.

Mata Bian sudah melotot seakan ingin melompat dari tempatnya. "Kalau jalan tuh lihat-lihat! Lo lama-lama ngeselin juga ya? Lo mau caper sama Tasya?!" tuduh Bian dengan geraman yang terdengar jelas.

Dava memutar bola matanya malas. Dia berdecak lalu mengibaskan tangannya ke udara. "Udahlah, nggak usah drama! Aku lagi buru-buru nih, bentar lagi masuk tapi aku belum salat. Sebelum bel bunyi, aku ma—"

Tet ... tet ... tet ....

Dava memejamkan matanya. Belum juga kalimatnya selesai, bunyi bel sudah memotongnya lebih dulu. Tanpa basa basi, Dava segera berlari meninggalkan sepasang anak manusia yang sedang menatapnya dengan pandangan yang berbeda. Yang datu dengan pandangan sinisnya, dan yang lain dengan pandangan sama paniknya seperti Dava.

"Ayo, Sya, kita pergi," ajak Bian, mencoba meraih tangan Tasya.

Tasya bergerak mundur. Napasnya sudah mulai tidak teratur saking paniknya.

"Kita jadi ke kantin 'kan, Sya?" tanya Bian memastikan, saat melihat tanda-tanda penolakan Tasya.

Dengan ragu Tasya berkata, "Kamu ... duluan ya? Aku ... juga lupa belum salat."

Mata Bian menyipit mendengar perkataan Tasya, seolah ragu dengan gadis itu. "Ini bukan alasan kamu buat ketemu sama Dava 'kan?!" tuduh Bian.

Tasya menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Bukan, astaga! Kamu 'kan tahu dari tadi aku sama kamu terus. Jadi memang belum salat Zuhur. Makanya aku mau salat dulu. Daripada nanti-nanti 'kan lebih baik sekarang aja!" jelas Tasya pelan-pelan, berharap Bian dapat mengerti keadaannya.

Bian terdiam sejenak. Dia lalu mengangguk mengiakan. "Jangan lama-lama!"

Tasya mengangguk cepat. Setelah itu, Tasya berlari ke arah Musala, berharap bahwa Dava belum memulai salatnya agar mereka bisa berjamaah. Kalau bisa berjamaah, kenapa harus sendiri-sendiri? Berjamaah pahalanya lebih besar!

Setelah meyambar mukena dengan asal, Tasya segera masuk ke dalam Musala dan mendapati Dava yang sedang menatapnya dengan bingung.

"Aku bareng ya?" pinta Tasya dengan agak canggung.

Mereka sudah lama tidak berbicara secara baik-baik, pantas saja jika Tasya sedikit asing dengan Dava sekarang. Bahkan rasa canggung itu kembali hadir, sama seperti saat dulu awal dia kenal dengan Dava.

"Boleh," jawab Dava singkat, dengan raut wajah datar.

Dava membalikkan badannya. Menahan senyum bahagianya yang tidak kuasa muncul saat melihat Tasya ada di belakangnya, menjadi makmumnya. Dava tidak pernah membayangkan akan salat berjamaah dengan Tasya. Namun kenyataan ini berhasil membangkitkan sisi bahagianya yang sempat tertidur lama di sudut hatinya.

Dava menarik dan mengembuskan napas dengan perlahan. Memfokuskan diri dan mulai salat dengan khusyuk.

Beberapa menit berlalu. Mereka sudah selesai salat bersama dan sedang mengenakan sepatu masing-masing.

"Sya," panggil Dava mencoba membuka pembicaraan.

"Hm...."

Dava diam sebentar. "Kamu ... mau masuk ke kelas!?" tanyanya saat matanya tak sengaja melirik jam tangan di pergelangan tangan kirinya.

Tasya menggeleng pelan sebagai jawaban. "Aku ditungguin Bian di kantin. Duluan ya!"

Sisi bahagia Dava mulai meredup dengan sendirinya saat mendengar satu nama yang akhir-akhir ini sering membuatnya uring-uringan sendiri. Nama seseorang yang tiba-tiba hadir dan merusak semua kebersamaannya dengan gadisnya.

"Bian lagi, Bian lagi. Capek ah, masa Abang diduain mulu! Padahal udah seneng-seneng bisa berduaan salat berjamaah, baru juga mau dianterin ke kelas, eh malah pergi sama si anak kota!"

Dava terus menggerutu di sepanjang koridor menuju kelasnya. Kebetulan dari Musala menuju kelasnya melewati ruang kelas Tasya. Dava menengok sedikit ke dalam. Benar. Tasya tidak ada. Hanya ada tasnya yang tersisa tanpa pemiliknya. Dava lalu melihat siapa yang sedang mengajar. Dia menghela napas lega saat hanya pelajaran seni, hanya menggambar dan gurunya tidak galak. Coba kalau gurunya galak, bisa habis Tasya nanti.

Dava mempercepat langkahnya menuju kelas. Takut jika Bu Ani memarahinya karena terlalu lama telatnya. Saat jari-jari tangannya sudah siap menekan kusen pintu, dan dadanya sudah berdegup kencang sedari tadi, tiba-tiba saja pintu terbuka dari dalam, membuat Dava dan seseorang yang sedang membuka pintu memundurkan langkahnya sambil mengelus dada; sama kagetnya.

"Astaga, Dav, kirain guru tahu!" ujar orang tersebut yang ternyata Rico.

Dava mengernyit mendengar perkataan Rico. "Jam kosong kah?" tanya Dava, dan Rico mengangguk sebagai hawabannya.

Sekali lagi Dava menghela napas lega. Tidak apa dia harus panik dan was-was sedari jam istirahat tadi. Semua itu sebanding dengan dia yabg bisa salat berjamaah dengan gadis yang dia cintai.

Dan Dava ingin mengulang kebersamaan tadi.
  
   
  
****
TBC. 

Sampai jumpa di bab selanjutnya.... 😘

LUKA (COMPLETE)Where stories live. Discover now