31. Rindu

9.8K 905 52
                                    

Sejak saat itu, Dava benar-benar sudah tidak mempedulikan Tasya lagi. Dia bahkan tidak berkunjung ke rumah Tasya secara diam-diam, hingga Bunda selalu saja menanyakan Dava kepada Tasya.

Tasya pun bisan selalu ditanya tentang Dava. Dia saja jarang melihat Dava di sekolah. Hanya sesekali lihat saat upacara atau olah raga, selain itu, Dava hilang bagaikan ditelan bumi.

Dava benar-benar menepati ucapannya, batin Tasya.

Dia sedang duduk di sofa yang ada di balkonnya sambil iseng menghitung bintang di langit.

"Udah sebulan aku nggak lihat Dava ke sini lagi. Dan bunda selalu nanyain dia mulu, kayak yang anaknya itu dia bukan aku. Dav, bunda kangen sama kamu," gumam Tasya. Aku juga kangen, lanjutnya.

"Terakhir kali aku lihat kamu dua minggu yang lalu, dan kamu kayak nggak kenal sama aku. Aku tahu ini yang aku inginkan. Tapi entah kenapa aku ngerasa berat ngelakuinnya."

Tasya mengambil sebuah foto cetak yang tak sengaja dia temukan di kamar bundanya. Fotonya dan Dava. Tasya terkekeh pelan, ternyata selama ini bundanya selalu menjadi mata-mata saat dia belajar.

Terlihat di sana Dava sedang serius menjelaskan sesuatu kepadanya yang hanya bertopang dagu.

Tasya menyentuh foto itu, menyusuri wajah Dava secara perlahan. "Kamu di mana?" lirihnya.

Tasya sedang bingung sekarang. Tadi pagi dia mendengar bahwa Dava sudah tidak masuk sekolah tiga hari dengan keterangan sakit. Ingin rasanya dia pergi ke rumah Dava dan menanyakan kebenaran berita tersebut, tetapi langkahnya selalu terhenti di depan gerbang rumah Dava. Rumah itu tampak sepi dari luar, tidak seperti biasanya.

Tasya memutuskan menunggu Dava di dalam mobil jemputan ibunya sampai sore. Tidak ada aktivitas yang berarti. Tudak ada yang keluar maupun masuk ke dalam rumah itu. Entah ke mana orang-orang yang ada di dalamnya. Bahkan lampu-lampu tidak dihidupkan.

Tasya memutuskan pulang saat jarum jam menunjukkan pukul tujuh malam. Untung saja dia sedang tidak salat, jadi dia tidak meninggalkan kewajibannya itu.

Sepulangnya Tasya, dia hanya mengurung diri di dalam kamar sambil mengamati selembar foto itu. Tidak menghiraukan bundanya yang sejak tadi menyuruhnya untuk makan.

"Sya? Makan yuk!"

Tasya menghela napas bosan. Suara bundanya kembali lagi terdengar. Tasya benar-benar malas bergerak saat ini. Dia hanya ingin sendiri dengan foto Dava di tangannya.

"Kalau enggak mau nanti bunda buka pintunya pakai kunci cadangan loh! Ayo dong makan, ini udah jam sepuluh, Sayang. Udah telat banget kamu makannya," bujuk Bunda dengan halus.

"Nan—"

"Jangan nanti-nanti mulu!" geram Bunda memotong perkataan Tasya. "Disuruh makan aja susahnya minta ampun! Kamu kenapa sih?" tanya Bunda yang sudah mulai kesal dengan tingkah Tasya.

Tasya menghela napas beratnya. "Iya, Tasya keluar."

Tasya menaruh kembali foto itu di meja depannya lalu ditutupi buku tulis agar tidak terbawa angin.

Tasya keluar dari kamar dan berjalan ke arah meja makan. Di sana sudah ada bundanya yang sedang cemberut menatapnya.

"Kamu itu diauruh makan kok susah banget! Nanti kalau magh kamu kambuh gimana? Untung aja enggak! Kamu itu kayak anak kecil aja! Kayak putus cinta aja pakai ngambek-ngambek segala sampai mogok makan!" omel Bunda. Tangannya bergerak mengambilkan nasi dan lauknya untuk Tasya, sedangkan mulutnya masih asyik mmengomel ke sana ke mari.

Tasya tidak terlalu memperhatikan perkataan bundanya kecuali satu kalimat yang langsung terngiang di kepalanya.

Kayak putus cinta aja pakai ngambek-ngambek segala sampai mogok makan.

Kalimat itu berhasil memenuhi kepala Tasya, sampai rasanya dia ingin rebahan saking beratnya.

Aku? Putus cinta? batinnya bertanya-tanya.

"Astaga, Tasya! Kamu nggak dengerin Bunda ya?!" ujarnya galak.

"De-dengerin kok, Bun," jawab Tasya tergagap karena pikirannya masih melayang.

"Ya udah makan. Bunda udah laper nungguin kamu turun."

Semua makan dalam keadaan hening. Tidak ada yang membuka suara. Hanya suara dentingan sedok yang beradu dengan piring yang terdengar.

"Sya," panggil Bunda saat mereka sudah selesai makan malam.

Tasya memejamkan matanya, dia menduga jika bundanya akan menanyakan tentang Dava lagi, seperti malam-malam sebelumnya. Itulah salah satu alasan Tasya tidak mau makan malam.

"Kenapa, Bun?" jawab Tasya mencoba baik-baik saja.

"Bentar lagi kamu ujian nasional 'kan?" tanya Bunda.

Tasya mengernyit heran. Kok ujian? Bukan Dava lagi sekarang topiknya? Apa bunda udah lupain Dava kali ya? batin Tasya bertanya-tanya.

"Tuh 'kan bengong lagi!"

"Eh, iya, Bun. Bentar lagi ujian, emang kenapa?" tanya Tasya.

"Kamu belajar yang bener, jangan sampai nilaimu jelek! Kamu harus buat Bunda sama Ayah bangga!" semangat Bunda.

Tasya tersenyum. Dia mengangguk sekali lalu memeluk bundanya. Jadi kangen ayah.

"Sana tidur! Udah malam," suruh Bunda setelah melepaskan pelukan mereka. "nanti kamu bangun kesiangan."

"Nggak papa, 'kan besok minggu!" canda Tasya yang mendapat hadiah pelototan dari bunda.

"Perawan kok bangun siang! Sana tidur!" ujar Bunda dan Tasya bersamaan. Mereka tertawa sejenak laku mulai masuk ke dalam kamar masing-masing.

Tasya langsung berjalan ke arah balkon dan kembali duduk di sana. Dia mengambil foto tadi dan mengamatinya terus sambil mengingat perkataan Bundanya tadi.

Putus cinta?

Semenyeramkan itukah dia sampai dikira putus cinta?

Tasya menghela napas lelah. Dia memilih mengambil bantal dan selimut dan membawanya ke balkon. Dia mengamati foto Dava sampai dia tidur di sofa balkon hingga pagi.
  
    
    
****
TBC. 

Haiii...
Yang kesel sama Tasya mana nihh??  😆
Tasya baik kok. 😊

Jangan lupa vote dan komen yak, guys 😍

Sampai jumpa di bab selanjutnya.... 😘

LUKA (COMPLETE)Where stories live. Discover now