14. Puisi

12.6K 1.1K 61
                                    

Tasya sedang berjalan dengan riangnya saat matanya menangkap siluet seseorang yang dia kenali. Laki-laki itu sedang fokus dengan ponsel di tangannya sambil menyandar pada motor. Dengan langkah lebar, Tasya mendatangi laki-laki itu sambil menahan senyumnya.

"Dava!" sapa Tasya. Dava sampai mengernyit heran melihat Tasya yang begitu senang hari ini.

"Kamu kenapa?" tanyanya setelah memasukkan ponsel ke dalam saku celana.

Dava menatap curiga pada kedua tangan Tasya yang ada di balik tubuhnya, seolah ada sesuatu yang dia sembunyikan. "Kamu pegang apa?" tanya Dava saat rasa penasarannya sudah memuncak.

Bukannya menjawab, Tasya justru tersenyum malu-malu sambil menyodorkan selembar kertas kepadanya. Dava menerima kertas tersebut dengan heran. Apa istimewanya dari selembar kertas putih kosong? Dava sampai menggaruk kening saking bingungnya.

"Ini apa, Sya?" tanya Dava. Dia membolak-balikkan kertas tersebut, dan hasilnya pun sama; kosong.

Tasya kembali tersenyum malu-malu. "Kertas," jawabnya singkat. Terlalu singkat malah sampai Dava lagi-lagi menggaruk keningnya.

"Iya tahu ini kertas. Tapi buat apaan? Kamu mau nggambar?" tanya Dava lagi dengan sabar.

Tasya menggeleng sambil mengelak. Dia menatap Dava dalam-dalam, seolah ingin Dava paham apa yang dia maksud.

Sudah dua bulan sejak kejadian Dava menyatakan perasaannya. Dava pun semakin gencar menaruh perhatian kepada Tasya. Entah gadis itu paham dengan segala perhatiannya atau tidak, yang jelas Dava akan berusaha agar Tasya bisa membalas perasaannya.

Sekarang pun Dava selalu menjemput dan mengantar Tasya saat sekolah. Bagaikan supir pribadi, Dava sudah ada di rumah Tasya sejak pukul enam. Tidak kurang dan tidak lebih. Karena masih terlalu pagi, dia sampai tidak sarapan dulu dari rumah. Akibatnya, dia menjadi lebih sering sarapan di rumah Tasya daripada di rumahnya sendiri. Bunda Tasya pun tidak mempermasalahkannya. Justru bunda Tasya sangat antusias menjamu Dava sebagai tamunya. Bahkan kadang Tasya merasa dianaktirikan.

Sering Dava dan bunda Tasya bekerja sama untuk menggoda gadis itu hingga Tasya akhirnya cemberut. Pernah Tasya marah pada Dava sampai berhari-hari karena sudah mengerjainya.

Mengingat kebersamaan mereka dua bulan ini, membuat Dava melupakan tingkah Tasya yang sejak tadi tersenyum aneh ke arahnya. Dia bahkan tidak berkedip menatap Tasya dengan pikiran melayang mebgulang kejadian-kejadian lucu yang mereka alami beberapa bulan terakhir ini.

"Dav?" panggil Tasya saat dirinya menemukan Dava yang tidak fokus dengan ucapannya.

"Dava!" seru Tasya saat Dava mulai tersenyum-senyum sendiri.

"Dav! Jangan stres dulu dong! Baru juga berapa bulan ngajarin aku, masa udah stres sih?" ujar Tasya dengan paniknya. Dia mengguncang bahu Dava hingga laki-lami itu terbangun dari lamunannya.

"E-eh? Kenapa, Sya?" tanya Dava sambil mengerjapkan matanya.

Tasya mendengkus. "Harusnya aku yang tanya, kenapa kamu ngelamun sambil senyum-senyum sendiri?! Aku pikir kamu udah gejala stres!" cetus Tasya tanpa disaring terlebih dahulu.

"Ya ampun, Sya, kamu doain aku gila?!" seru Dava. Matanya melotot sambil memandang sebal pada Tasya yang kini tangah mendelikkan matanya.

"Aku bilanh stres ya, bukan gila. Tolong bedain!" tegas Tasya.

Dava justru terkekeh melihat wajah jutek Tasya. "Kamu aneh ya," ungkap Dava.

Tasya menaikkan sebelah alisnya dengan bingung. "Aneh gimana?"

"Ya aneh aja. Tadi dateng-dateng langsung senyum-senyum sendiri. Sekarang malah jadi jutek. Ekspresi kamu bisa berubah dalam waktu singkat ya?" goda Dava sambil menatap Tasya yang kini sedang ternganga.

"Dav?" panggil Tasya.

"Kenapa, Sya?"

Tasya terdiam sejenak. "Ke toko yuk!" ajaknya.

Dava mengernyit heran. "Kamu mau beli apa?"

"Cermin."

Kerutan di dahi Dava semakin bertambah banyak. "Buat apaan? Emang kamu di rumah nggak punya cermin?"

Tasya menarik napasnya sebentar lalu menatap Dava kembali. "Kamu yang yang nggak punya kaca di rumah! Aku kasihan sama kamu, makanya aku ajak ke sana! Mirror dong! Kamu tadi juga aneh gitu kali!" gerutu Tasya sambil menghentakkan kakinya.

Dava cemberut mendengar ucapan Tasya. Dia berdecak sebelum bertanya, "Udah ah! Ini tadi jadinya kertas apa, Sya? Kok dikasih ke aku?"

Dava kembali menanyakan perihal kertas yang tadi diberikan oleh Tasya. Benar-benar masih putih bersih, tanpa noda sedikit pun, tanpa tekukan-tekukan di sisi-sisinya. Yang Dava heran, apa hubungannya dengan kertas ini?!

"Ih, 'kan kemarin kamu bilang kalau aku bisa dapet nilai ujian Fisika lebih dari delapan puluh, kamu mau buatin aku puisi keren! Ya itu udah aku modalin kertas, tinggal keluarin pulpen terus catet deh! Sana cepetan buat! Aku maunya sekarang!" pinta Tasya sambil berkacak pinggang.

Dava menjadi gelagapan sendiri. Pasalnya dia belum mempunyai persiapan untuk hal ini. Dia kira Tasya akan mendapat nilai di bawah delapan puluh. Tetapi kertas hasil ujian yang kini terpampang di depan wajahnya membuktikan bahwa ucapan Tasya benar. Kertas itu seolah mengejeknya yang kini menjadi panik.

"Duh, Sya. Besok aja ya? Aku belum persiapan nih!" pinta Dava. Nadanya terdengar memelas, berharap agar Tasya mau menuruti permintaannya. Karena Dava yakin, jika tidak menggunakan ekspresi ini, pasti Tasya langsung menolak mentah-mentah. Tetapi dengan ekspresi memelas andalan Dava ini, lihatlah, Tasya melengkungkan bibirnya ke bawah; seolah akan menangis.

"Ya udah deh, besok nggak papa."

Yes!! sorak Dava dalam hati. Apa dia bilang, pasti berhasil!

"Tapi ...," kata Tasya. Dia terdiam sejenak. Bibirnya tersenyum manus ke arah Dava yang sudah mulai menyipitkan matanya. Alarm tanda bahaya seolah berbunyi di kepala Dava. Pasti ada yang tidak beres!

"Buatnya sembilan yah, sesuai sama nilai ujian Fisika-ku," lanjut Tasya sambil cengengesan.

Dava ternganga. Matanya memandang nanar pada selembar kertas yang kini sudah lusuh di tangannya. Sembilan? Sembilan?!

Mati saja sana!

****
TBC.  

Sampai jumpa di bab selanjutnya....

LUKA (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang