Ibu Rivan menatap Dila dengan teliti, mencerminkan sebuah kerinduan  yang dalam dan tak bisa disembuhkan oleh waktu. Senyumannya kini terlihat lebih gelap dari sebelumnya. Berbanding terbalik dengan ruangan putih steril yang terlihat cerah namun kaku. Ia kembali membuka mulut dan mengeluarkan penjelasan yang Dila inginkan.

Semuanya berawal ketika Rivan menyaksikan kekasih beliau menyiksanya karena dibawah pengaruh mabuk. Malam itu kebetulan sekali Rivan sedang menginap di kediaman Alghi dengan alasan Ibunya harus mengantar Hardi ke luar kota. Pada malam yang seharusnya damai dan tentram, semuanya berubah ketika Rivan mendengar beberapa teriakan dan suara perlawanan Alghi. Rivan yang diperintahkan untuk diam di dalam kamarpun akhirnya berpikir untuk sekedar mengintip.

Dengan mengendap-endap, ia bersembunyi di balik pagar pembatas di lantai dua, menatap Alghi yang berkali-kali di jambak oleh pria itu. Rivan tahu bahwa pria itu adalah pria yang baik, ia selalu memberikannya mainan dan bahkan ia sering bermain dengan Rivan. Dari kejauhan, Rivan bisa melihat mata Alghi yang berair. Namun akhirnya ia memilih untuk masuk kedalam kamar ketika mendapati Alghi beberapa kali mendorong tubuh pria itu dan membuat pria itu terjerembap lalu membanting pintu cukup kencang hingga getarannya terasa oleh Rivan.

Rivan kecil mencoba untuk tidak menangis dan duduk di atas kasur yang terasa lebih luas juga tak nyaman dengan satu buku cerita di tangannya. Langkah kaki ringan di undakan pun bisa ia ketahui. Berharap-harap cemas, Rivan melihat pintu terbuka secara perlahan, menunjukkan Alghi yang tersenyum dengan sepiring biskuit favorit ditangannya.

Mendengar hal itu, Dila menutup mulutnya. Mencoba untuk menahan emosi yang ingin sekali keluar dari dalam tubuhnya. Itu adalah pemandangan terburuk yang pernah ia dengar dan Rivan lah yang menyaksikan hal itu.

"Alghi mengantarkan Rivan ke rumahku esok paginya dan mengatakan bahwa ia harus dinas ke luar kota selama beberapa bulan. Ia juga mengatakan padaku bahwa aku harus hidup dengan tenang." Ibu Rivan tersenyum kecut dan satu tetes air mata pun jatuh.

"Apa tante tahu ia akan pergi kemana?"

"Ia tidak mengatakan apapun selain tersenyum sembari mengusap kepala Rivan. Itulah saat terakhir aku melihatnya dan berbicara dengannya."

Dila terdiam. Menunggu kelanjutan kisah menyedihkan yang baru terkuak.

"Di bulan ke tiga setelah ia pergi, aku mencarinya. Ia tak pernah mengirimkan pesan atau jejak yang bisa kugunakan untuk mencarinya. Aku tak henti-henti untuk mencarinya bersama orangtuaku, dan tepat pada bulan ke lima kami menemukannya. Tergeletak di kamarnya tak bernyawa. Ia meninggal karena serangan jantung semalam sebelum kami menemukannya."

Dila menggenggam Ibu Rivan dan mengusapnya perlahan, memberi tahunya bahwa ia tidak sendirian.

"Melihatmu sama seperti melihatnya. Saat Rivan berjalan bersamamu di mall itu, aku benar-benar merasakan sebuah deja vu. Aku melihat Alghi di matamu. Sosok yang keras kepala, tangguh, dan penyayang." Elusan lembut di kepala Dila membuatnya rindu dengan kata 'rumah' yang sudah lama tidak pernah ia rasakan.

"Lalu apa itu yang menyebabkan Rivan menderita Aphenphosmphobia?"

Sekali lagi ia terkejut dengan urutan kata yang ia ucapkan.

"Oh itu adalah salah satu faktornya. Faktor utamanya adalah seorang gadis yang ia kencani semasa kuliah."

Dengan perlahan, Ibu Rivan menceritakan bagaimana Rivan sangan mencintai gadis itu. Gadis yang tidak Ibu Rivan sebutkan namanya itu pasti sangatlah cantik. Dilihat dari penjelasan Ibu Rivan  yang detail, gadis itu rupanya merupakan gadis pintar dan banyak sekali pria yang menyukainya. Hubungan mereka berjalan hanya tiga tahun lamanya.

Keluarga Rivan bahkan menyayangi gadis pintar itu, hampir semua keluarga besar Rivan tahu mengenai gadis itu. Keluarga mereka bahkan saling mengenal satu sama lain, berniat untuk mendorong mereka ke jalan yang lebih serius.

Hubungan mereka berakhir dengan tragis ketika malam wisuda. Ibu dari gadis itu menghubungi Rivan, berniat untuk menanyakan kabar anak gadis mereka. Rivan yang saat itu sedang berada di rumah, berkumpul bersama keluarganya, merayakan keberhasilan Rivan yang lulus dengan nilai yang memuaskan hanya diam bergeming. Gadis itu sempat memberitahu padanya bahwa ia sedang berada di rumah. Namun mengapa Ibunya menghubungi Rivan? Dengan meminta izin untuk pergi mencari gadis itu, keluarga Rivan menjadi khawatir dan mendukungnya untuk pergi.

Ia mencari kesana-kemari untuk setidaknya mendapatkan informasi dimana gadisnya itu terakhir terlihat.

'Rivan, maafkan aku. Tapi sepertinya dia ada di club.'

Kalimat yang keluar dari salah satu teman dekatnya itu membuatnya terkejut bukan main. Pasalnya ia tak pernah mengetahui bahwa gadisnya sering berada di tempat seperti itu. Bahkan ia lebih terkejut ketika menemukan gadisnya sedang mabuk, dikelilingi oleh pria hidung belang dengan musik yang mengaung kencang membuat telinganya sakit bukan main. Beberapa kali ia menarik gadisnya keluar dan menempatkannya kedalam mobil.

Hatinya kalut ketika mendengar tiap kata yang keluar dari mulut gadis itu. Sumpah serapah dan bahasa-bahasa yang tak patut untuk di ucapkan menjadi hal yang ia dengar di sepanjang perjalanan menuju rumah gadis itu.  Hal yang lebih memalukan adalah saat ia menggiring gadis itu.

'Kau tahu Rivan, kau adalah pria yang paling membosankan yang pernah ku kencani.'

Awalnya Rivan tidak menghiraukan apapun yang gadis itu katakan, namun ketika gadis itu memeluk lehernya dan menatapnya dengan kedua bola mata yang sayu akibat minuman keras, ia tahu bahwa semua itu adalah hal yang paling buruk. Ia adalah pria sehat dan jika ia tidak memiliki iman yang kuat, ia pasti akan membawa pergi gadis itu.

'Cium aku jika kau mencintaiku.'

Gadis itu memaksanya dan menekan-nekan tubuhnya pada tubuh Rivan. Mengundangnya untuk melakukan sesuatu yang tidak pantas dilakukan. Lalu Rivan menampar gadis itu, amarah mengambil alih tubuhnya. Ia menampar gadis itu dengan menggunakan kekuatan seorang pria dewasa, menimbulkan jejak kemerahan di pipinya. Saat itu ia melihat sosok Alghi yang tersiksa di mata gadis yang ia cintai.

Maka cepat-cepat ia membawa gadis itu ke depan pintu dan menekan tombol bel beberapa kali hingga kedua orangtua perempuan itu muncul di balik pintu, terkejut menemukan anak gadisnya sedang terisak dan bau alkohol. Rivan mengatakan permintaan maafnya dan memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka pada orangtuanya.

Sejak saat itu Rivan mengunci dirinya di dalam kamar dan dalam waktu yang cukup singkat mereka mengetahui bahwa Rivan mengalami hal traumatis dan phobia itupun muncul.

"Jadi... ia mempunyai phobia itu karena tak ingin menyakiti perempuan?"

***

A/N

ALOHA MOOSE!

About time...

Maaf sekali untuk pembaca setia, mulai dari next chapter akan saya private ;-; 

Karena dunia oranye ini mengalami beberapa error, saya takut cerita saya kembali acak dan terhapus ;-;

My best regards,
Matsushina Miyura

Love? Trust? Work? or Hobbies? [Dalam Revisi]Where stories live. Discover now