Amara mengangkat pandangannya hingga ia bisa melihat senyuman Ibu Rivan yang terkesan sedih, penuh penyesalan, dan hal-hal semacam itu.

"Ah, ya aku sedang memikirkan bisnisku."

"Maksudku, sedang memikirkan Rivan bukan?"

Mati kutu dibuatnya, Amara hanya bisa menggigit bibir. Ia tertangkap basah dan tak menyangka jika Ibu Rivan bisa menebak apa yang sedang ia pikirkan dengan begitu cepat. Ia pikir tidak ada salahnya untuk membicarakan Dila dengan Ibu Rivan, bisa saja ia mendapatkan informasi lebih mengenai Dila.

Selama ini ia hanya tahu bahwa Dila adalah sahabat dekat Rivan. Seseorang yang bisa membantu Rivan dalam urusan profesional. Rivan selalu menggambarkan Dila sebagai perempuan yang tidak terikat oleh hal-hal berbau perasaan. Terdengar sangat strict dan penuh prinsip.

Business woman to be

"Em... Menurut Tante, Mbak Dila itu orang yang seperti apa?" Ujarnya sedikit ragu.

Ibu Rivan menarik bibirnya, sedikit terlihat sedih namun lega secara bersamaan.

"Aku tahu cepat atau lambat kamu pasti menanyakan hal ini." Jeda beberapa helaan napas membuat topik pembicaraan ini terasa berat.

"Kamu pasti sudah mengetahui bahwa Rivan pernah memiliki hubungan dengan Dila bukan?"

Ia mengangguk sekali lagi.

"Dila, perempuan itu tidak bisa dijelaskan oleh kata-kata. Tante tidak bisa mendeskripsikannya. Ia orang yang hangat, namun segala hal tentangnya merupakan misteri."

Amara tetap memerhatikan hal itu, ia tidak bisa membayangkan Dila yang dikatakan penuh misteri. Pertama kali ia bertemu dengan Dila saat itu, Dila terlihat anggun dan ramah. Meskipun raut wajahnya terlihat lelah, hal itu tidak bisa menyembunyikan senyuman tulus yang mencirikan bahwa dirinya adalah orang yang terbuka.

"Tante juga tidak bisa menyebutkan jika Dila adalah orang yang munafik. Berpura-pura, menggunakan topeng, atau apapun itu sebutannya. Ia terbuka namun bersembunyi secara bersamaan. Selain fakta mengenai dirinya yang melanjutkan studi di luar negeri, juga keluarganya yang cukup terpandang, tak ada hal lain yang ia ceritakan."

Pandangan Ibu Rivan menatap jauh pada langit-langit ruangan itu. Kembali mengingat-ingat tentang pertemuannya dengan Dila.

"Tapi Tante tahu bahwa ia orang yang tulus. Setiap langkah yang ia tuju pasti memiliki alasan kuat. Sama seperti saat ia memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Rivan."

Senyuman yang luar biasa ramah itu kembali muncul, membuat hati Amara sedikit tertusuk oleh perasaan bersalah tanpa sebab. Senyuman itu memang tulus namun seperti menunjukkan bahwa Ibu Rivan pasrah dengan nasib anaknya.

"Jadi Mbak Dila yang mengakhirinya?"

Ibu Rivan tidak menjawab, hanya mengangguk dan tetap tersenyum.

"Karena ia akan pergi ke Jepang?" Sekali lagi anggukan adalah jawabannya.

"Setidaknya Tante ingin meminta maaf karena sepertinya Rivan sudah melakukan kesalahan padanya. Ia adalah perempuan baik sepertimu."

Elusan di bahu Amara itu begitu lembut.

Kesalahan... pikirnya.

***

Penutupan sudah selesai.

God!

Ia senang karena akhirnya ia menyelesaikan pekerjaannya di kantor lama itu. Ia kini bisa merasakan kebebasan yang sebenarnya. Tetap saja setelah ini akan ada acara makan malam bersama para evaluator. Sedikitnya Dila harus memberikan sesuatu pada mereka.

Sebuket bunga terdengar bagus.

Beberapa evaluator veteran memang membawa istri mereka. Jadi Dila pikir, memberikan sebuket bunga pada para istri dari evaluator veteran merupakan pilihan paling efisien.

Kini ia sedang di perjalanan ke tempat makan malam yang akan dimulai satu jam lagi. Ia sengaja datang lebih awal karena ia akan membeli bunga.

"Nona, ini toko bunga yang cukup dikenal di wilayah ini."

Dila mengangguk, memberikan persetujuan untuk membeli bunga di toko tersebut. Tokonya terlihat rapi dan nyaman. Tidak seperti toko bunga biasa-biasa saja. Jadi bisa di pastikan bahwa pemilik toko bunga ini merupakan seorang profesional.

"Biar saya pili-"

Dila mengangkat tangannya, memberikan petunjuk bahwa dirinya yang akan turun dan memilih bunga sendiri. Namun supirnya yang sudah cukup tua itu tetap memilih untuk menemani Dila, takut-takut terjadi sesuatu.

Tanpa bisa menolak, Dila akhirnya mengizinkan supirnya untuk turun bersamanya.

Dengan langkah yang menjanjikan, Dila kembali berpikir. Apa lebih baik ia memberikan bunga mawar atau lily?

Lily sepertinya terlihat begitu muram dan sedih, namun mawar merah terkesan biasa saja.

Ia menggelengkan kepalanya dan membuka pintu toko tersebut. Terdengar bunyi lonceng kecil berbunyi, Dila sedikit terkekeh karena mengingatkannya dengan cafe yang sering ia kunjungi di Jepang. Bunyi lonceng kecil itu membuatnya rindu suasana cafe tersebut.

"Ya, ada yang bisa kami ban-"

Ucapan pelayan terpotong oleh sedikit tarikan napas yang terkejut, membuat Dila yang sedang fokus memilih bunga memalingkan wajahnya ke arah pelayan.

Oh...

Huh?

Amara?

***

A/N

ALOHA MOOSE!

Waw... mereka bertemu '-' apa yang akan terjadi ya :3

Tunggu lanjutan cerita ini 👍

Jika kalian suka, silahkan vote, comment, share, masukkan ke library dan reading list kalian ^^

See ya!

Warm regards,

Matsushina Miyura

Love? Trust? Work? or Hobbies? [Dalam Revisi]Where stories live. Discover now