ARTHUR | 25

9.6K 542 0
                                    

Beberapa hari kemudian, Arthur diijinkan untuk pulang. Theresa juga ikut membantu Oliver membayar biaya rumah sakit, mengingat dia merasa bahwa dia adalah orang yang berperan dalam kecelakan Arthur, sehingga dia juga perlu bertanggung jawab. Theresa tidak membayar biaya rumah sakit dengan uang kedua orang tuanya, melainkan uang hasil kerjanya sendiri yang sedari dulu ditabungnya.

Theresa sedang membantu Arthur untuk mengemasi beberapa barang saat Oliver mengatakan, "Arthur, papa perlu bicara sama kamu."

"Ada apa?" tanya Arthur, masih dengan aura dinginnya.

Theresa merasa tidak sepantasnya jika dia tetap berada dalam ruangan dan mendengar percakapan antara Arthur dan Oliver, jadi dia memutuskan untuk pergi, "Kayaknya gue mau pergi dulu ya, mau cari angin."

"Jangan jadiin itu alasan. Tetap di sini." Mau tak mau Theresa mengiyakan perkataan Arthur dan duduk di sebelahnya.

Oliver menghembuskan nafasnya pelan, dan mengatakan, "Papa ga tau apa yang buat kamu ga suka sama papa sejak hari itu."

"Gausah pura-pura gatau."

"Tapi satu hal pasti yang perlu kamu tau, papa ga pernah ninggalin mama kamu dan kamu hanya karena wanita lain."

Arthur berdecak kesal, "Saya ga bodoh. Saya mungkin masih kecil saat kejadian itu terjadi, tapi saya melihat dengan jelas dengan mata kepala saya bahwa anda lebih memilih wanita itu."

Oliver pasti sedang mencari-cari muka karena ada Theresa hanya supaya dikasihani. Kira-kira begitulah yang Arthur pikirkan.

"Kamu salah, Arthur. Justru papa datangin dia buat minta dia untuk pergi. Untuk ga ganggu keluarga kita lagi. Supaya kita bisa hidup dengan nyaman. Supaya kita bisa bahagia sama kayak keluarga lainnya."

Arthur tertawa sinis, "Tapi akhirnya anda meninggalkan saya dan mama dengan mudahnya. Saya rasa anda bahkan tidak memikirkan perasaan kami. Saya rasa anda tidak akan mengerti perjuangan yang mama lakukan untuk membesarkan saya seorang diri. Saya rasa anda gatau gimana rasanya kehilangan sosok mama yang sangat saya cintai karena kesalahan yang sudah anda lakukan. Saya rasa anda tidak akan pernah mengerti semua ini karena anda tidak peduli. Kenapa anda mencari saya tepat setelah mama meninggalkan saya? Anda merasa menyesal setelah semua yang anda lakukan? Saya benar-benar tidak mengerti jalan pikiran anda."

"Papa tau semua masalah kalian, dari jauh papa selalu mengamati kalian. Papa mungkin memang salah karena menceraikan mama kamu, tapi papa melakukannya dengan terpaksa. Jika papa tidak menikahi wanita itu dan menceraikan mama kamu, nyawa kalian akan terancam, posisi papa di perusahaan juga akan terancam, jadi―"

"Posisi anda di perusahaan lebih penting sehingga anda memilih untuk meninggalkan saya dan mama? Anda membuat saya terkejut. Benar-benar terkejut," potong Arthur.

"Posisi papa bukan jadi masalah, papa bisa mengulang semuanya dari awal. Tapi papa lebih mementingkan nyawa kalian. Kamu gatau Arthur betapa gilanya pikiran kakek kamu. Papa melakukan semuanya demi kalian berdua."

"Lalu kenapa kembali setelah mama pergi? Bukankah semua sudah terlambat?" tanya Arthur sinis.

"Kakek kamu tidak lagi mempermasalahkannya. Dia bahkan meminta maaf sebesar-besarnya setelah mengetahui mama kamu sudah tidak ada. Kakek kamu tidak lagi memaksa papa untuk terus bersama wanita itu."

Theresa benar-benar merasa tidak nyaman harus terus duduk di sana. Menurutnya, kehadirannya benar-benar mengganggu.

"Kenapa saya harus percaya kata-kata anda? Anda pembohong terbaik yang pernah saya kenal."

"Arthur! Lo ga boleh ngomong kayak gitu ke papa lo," tegur Theresa tidak suka.

"Papa? Saya ga pernah anggap dia papa setelah kejadian itu," desis Arthur.

Theresa mengunci tatapan Arthur dengan matanya, "Gue gatau masalah lo sama papa lo apa. Tapi gue rasa lo perlu buang ego lo dan coba buat percaya sama papa lo. Lo ga bisa terus-terusan salahin papa lo.

"Papa lo punya kewajiban. Papa lo punya pilihan yang sulit. Di satu sisi dia cinta sama mama lo, sayang sama lo, dan gamau tinggalin kalian. Tapi di sisi lain, dia juga seorang anak, sama kayak lo, yang harus dengerin kata orang tuanya. Lo ga boleh liat semua ini hanya dari diri lo sendiri, coba lo bayangin lo di posisi papa lo. Gimana rasanya?

"Gue mungkin ga tau gimana rasanya kehilangan orang yang gue sayang, tapi gue hampir mengalaminya. Gue hampir kehilangan lo, dan benar itu buat gue sedih. Mungkin itu yang lo rasain pas mama lo ninggalin lo. Mungkin itu juga salah satu alasan lo gamau kasi kesempatan buat papa lo supaya bisa ngomong dan jelasin semuanya ke lo. Dan mungkin karena itu juga lo sulit banget buat punya perasaan untuk gue."

Theresa mengalihkan pandangannya menatap ayah Arthur. "Maaf tidak sopan, tapi om bodoh karena lebih memilih wanita lain. Namun, Theresa kagum juga sama om. Theresa tau niat om baik, tapi om pilih cara yang salah dan akhirnya buat Arthur kecewa sama om. Harusnya waktu itu om jelasin semuanya ke mereka supaya mereka mengerti. Karena semuanya sudah terlambat, coba perbaiki masalah di masa sekarang. Buat hubungan yang lebih baik antara om dan Arthur."

Oliver tidak sedikit pun merasa tersinggung dengan perkataan Theresa, dia justru bersyukur bertemu dengan gadis pemberani itu. Sorot mata sendu Oliver terlihat saat dia mengatakan, "Tentu, Theresa. Saya mau. Tapi bagaimana caranya saya melakukannya tanpa persetujuan Arthur?"

Theresa menatap Arthur dalam, "Arthur, kasi papa lo kesempatan kedua. Everyone deserve second chance, right? Kasi papa lo kesempatan buat benerin semuanya seperti semula."

Arthur berjalan dan memeluk ayahnya. "Pa," panggilnya.

Arthur sadar bahwa bagaimanapun hanya Oliver yang dia miliki sekarang dalam kehidupannya. Jika terus-menerus memusuhi ayahnya pun, ibunya tidak akan kembali, karna sudah tenang di tempatnya. Penyesalan dan permusuhan tidak akan bisa mengembalikan apapun.

Lagipula hidup terus melangkah maju, tidak sedikit pun bisa diputar. Maka, selagi ada waktu dan kesempatan, Arthur mau membuka lembaran baru dan memulai kembali hubungan yang sepantasnya dengan ayahnya.

Dengan begitu, Arthur harap hidupnya akan jauh lebih bahagia. Arthur juga berharap kebahagiaan yang sama untuk ayahnya, tidak hanya sekarang, tapi selamanya. Arthur yakin, keputusan yang dia buat saat ini, untuk menerima kembali ayahnya, adalah keputusan yang tidak akan pernah dia sesali. Melainkan keputusan terbaik yang pernah dia buat.

Melihat Arthur yang mau berdamai dengan masa lalu, membuat hati Theresa menghangat. Theresa terharu melihat dua sosok yang sebelumnya saling bersikap dingin, bisa kembali memiliki hubungan ayah-anak sebagaimana mestinya. Semoga Arthur dan ayahnya selalu berbahagia, pinta Theresa dalam hatinya.

——

ARTHUR ✔Where stories live. Discover now