ARTHUR || 6

12.7K 705 0
                                    

Theresa masih cukup kesal dengan kalimat-kalimat yang dilontarkan oleh Christina. Dia merasa sangat beruntung saat ayahnya mengatakan tidak akan ada kerja sama lagi, yang berarti dia tidak akan bertemu dengan Christina lagi. Membayangkan melihat Christina saja dia muak, apalagi benar-benar bertemu.

Setiap dilanda perasaan sedih, kacau, gundah, letih, marah, dan emosi negatif lainnya, Theresa suka sekali mengebut di jalanan. Memang, Theresa tau bahwa menyetir dengan cara yang seperti itu membahayakan. Tetapi, hal-hal yang memacu adrenalin tersebutlah yang membantunya menjadi tenang.

Hal inilah yang dilakukan Theresa sekarang, yaitu mengebut di jalanan yang sepi. Tentu saja sepi mengingat ini sudah sangat larut. Sudah waktunya bagi kebanyakan orang untuk beristirahat, kecuali Theresa.

Namun sepertinya ini hari tidak beruntungnya. Karena jika dia terlambat menginjak rem, namanya tentu akan terpampang jelas di koran besok sebagai pembunuh. Untungnya, gerakan refleksnya begitu cepat, sehingga berhasil mengerem sebelum melayangkan nyawa seseorang.

Ingin rasanya Theresa memarahi orang tersebut karna tidak berhati-hati. Namun, setelah dipertimbangkan, justru dirinya-lah yang tidak berhati-hati, sehingga tidak sepantasnya dia memarahi korban yang malang itu. Maka, dengan berat hati, dia memutuskan untuk turun dan membantu korbannya tersebut, sambil berharap orang tersebut tidak apa-apa. Betapa terkejutnya Theresa saat mengetahui bahwa ternyata orang yang hampir ditabraknya adalah Arthur.

"Saya masih ingin sekali untuk terus hidup, menikah, lalu punya anak. Kalau kamu tidak mau melakukannya, tolong jangan rebut hak orang lain," omel Arthur tidak terima, wajahnya menunjukkan bahwa dia kesakitan saat mencoba untuk berdiri.

"Sama! Gue juga mau menikmati hidup kaya gitu, jangan sok tau deh," balas Theresa galak sambil membantu Arthur untuk berdiri. Sayangnya, bantuannya ditolak begitu saja.

"Saya bisa, makasih."

Namun, Theresa tetap membantunya. Beruntung Theresa memegangnya karna kaki Arthur keselo. "Aduh, gue minta maaf ya? Sini biar gue bantu, sekalian gue antar balik ke rumah."

"Saya bilang tidak usah, tidak apa."

"Tapi, gue ga enak. Gue antarin aja kok, terus pulang deh. Gimana?"

Merasa tidak ada pilihan lain, akhirnya Arthur memilih untuk mengiyakannya. "Antar saja, oke?" Theresa mengangguk mantap, mengiyakan pertanyaan tersebut.

Theresa membantu Arthur masuk ke dalam mobil dengan sangat berhati-hati. Kemudian, mengemudikan mobil dengan baik dan benar, agar tidak mendapat tatapan sinis dari Arthur.

Mengikuti arahan dari Arthur, akhirnya mereka sampai di sebuah perumahan. Perumahan biasa yang tidak terlalu mewah, tidak juga sederhana. Meski begitu sepertinya rumahnya nyaman untuk ditinggali.

Theresa bergegas membantu Arthur untuk turun dari mobil dan masuk ke dalam rumahnya. Seperti sebelumnya, Arthur tentu saja menolak bantuannya. Tapi, dengan sedikit bujukan―sebenarnya paksaan―Theresa berhasil melakukannya.

"Lo tinggal sendiri?"

"Ya."

"Sepi dong, soalnya rumahnya kelihatan cukup besar."

Arthur tidak merespon hal tersebut dan mengatakan, "Saya sudah sampai dengan aman di depan rumah. Terima kasih banyak ya."

"Em.. Tapi gue kan mau bantuin? Berhubung lo lagi keseleo, pasti susah mau ngapa-ngapain. I'm here, in case you need help."

Arthur menggeleng cepat. "Pulang aja. Yang kamu lakulan sudah cukup, sudah saya anggap sebagai permintaan maaf."

"Gamau," tolak Theresa tegas.

"Ngeyel banget, heran," ujar Arthur dengan suara kecil yang rupanya masih bisa didengar oleh Theresa.

"Siapa suruh lo sering tolak permintaan gue, kena kan getahnya."

Arthur mengatakan, "Kamu pulang aja sana. Udah malam, saya bisa sendiri kok."

"Gamau. Lo lakuin aja apa yang mau lo lakuin, terus anggap gue gaada. Gampang kan?" usul Theresa yang langsung mendapat tolakan dari Arthur.

"Saya bilang pulang. Saya ini laki-laki dan kamu itu perempuan. Kamu tau kan apa konsekuensinya?"

Meskipun sedikit was-was, Theresa tetap tak gentar. Dia yakin Arthur bukan tipe laki-laki seperti itu. Keyakinan itu datang begitu saja.

"Gue ga takut."

Arthur menaikkan sebelah alisnya dan berjalan mendekat, "Hormon testosteron laki-laki meningkat pesat waktu subuh. Saya ga bakal kasitau apa yang bisa terjadi."

Bisikan ini terdengar nyata. Membuat Theresa berhasil menyetujui permintaan Arthur untuk kembali ke rumah. "Oke, oke. Gue pulang. Tapi, kalau ada apa-apa, don't hesitate to call me!"

Arthur mengantar Theresa sampai ke depan pintu apartemennya. Tepat sebelum Theresa keluar, gadis itu berbalik dan memaksa Arthur untuk duduk di salah satu kursi terdekat.

"Lo ga diabetes atau sirkulasi darah lo terlambat kan?"

Arthur menggeleng, "Kenapa?"

"Gapapa sih. Kalau lo diabetes mungkin lebih baik konsultasi ke dokter dulu." Dengan cekatan, Theresa mengambil beberapa es batu untuk mengompres kaki Arthur.

Beberapa menit kemudian, Theresa kembali dengan es yang dibungkus kantong plastik. "Kenapa harus dikompres segala sih?"

"Soalnya es bisa jaga ligamen lo supaya ga meradang, terus bisa menghentikan pendarahan kalau misalnya ligamen lo robek," jelas Theresa.

"Kamu yakin?"

Theresa mengangguk yakin. Setidaknya, begitulah yang selalu orang tua Theresa lakukan kalau dia keseleo. Di buku yang sering dibacanya pun dijelaskan hal yang sama.

Theresa menempelkan es yang dibungkus kantong plastik di pergelangan kaki Arthur selama kira-kira 20 menit.

"Nah udah nih. Gue pulang dulu." Arthur mengangguk.

"Jangan lupa buat kompres kaki lo 3 sampai 5 kali sehari selama 3 hari pertama. Jangan lupa loh ya!"

Gadis itu lalu berjalan pergi dan hilang dari pandangan Arthur. Setelah gadis itu pergi, Arthur tersenyum samar, dia terkesan dengan perlakukan dan pengetahuan gadis bar-bar itu―setidaknya, itulah yang Arthur pikirkan tentang gadis itu.

——

ARTHUR ✔Where stories live. Discover now