ARTHUR || 22

9.3K 539 3
                                    

Setelah membaca secarik surat dari Theresa kemarin, semua tidak lagi sama. Arthur menciptakan jarak di antara mereka berdua. Di lain pihak, Theresa tidak menyerah mendekati Arthur. Sebuah kebetulan bahwa mereka bertemu di taman.

"Arthur," panggil Theresa. Arthur memilih untuk tidak menjawab, apalagi menoleh. Bahkan jika ada Theresa di dekatnya, dia akan berjalan begitu saja seolah-olah Theresa itu bukanlah sosok nyata.

Lama-lama Theresa menjadi geram dibuatnya. Ditariknya lengan Arthur secara paksa, mengatakan, "Apa-apaan sih lo? Lo yang bilang kalau ada apa-apa kasitau lo, giliran gue udah kasitau, lo malah gini!"

Arthur menghela nafas, "Memangnya kamu mau apa sih?"

Theresa menjawab, "Gue mau jawaban."

"Jawaban atas pertanyaa apa?"

"Buat semua yang gue tulis di surat kemarin."

"Jadi kamu memaksa saya untuk bicara hanya karena kamu benar-benar ingin dengar jawaban saya?"

Theresa mengangguk.

"Saya ga suka sama kamu, saya ga tertarik sama kamu. Saya pikir semuanya sudah jelas?"

Theresa menatap Arthur dengan tatapan yang tidak bisa diartikan, "Terus kenapa lo nolong gue? Kenapa lo ada di samping gue pas gue lagi ngalamin masa sulit? Kenapa lo bahkan kasi gue pelukan? Kenapa lo buat gue berharap? Kenapa lo bertindak seakan-akan lo suka sama gue? Kalau kenyataannya engga sama sekali."

"Menurut kamu kenapa?"

Theresa menggeleng tidak tau. Kalau dia tau jawabannya, dia tidak akan menanyakan pertanyaan sebanyak itu.

"Karena selalu saya yang kamu cari waktu kamu sulit. Selalu saya yang kamu cari untuk menyampaikan keluh kesah. Selalu saya yang kamu kunjungi. Lagipula apa alasan lainnya selain rasa kasihan? Sekarang kamu sudah tau kan jawaban dari pertanyaanmu?"

Theresa tertawa paksa, "Memalukan sekali ya? Gue terima perlakuan lo seolah gue ini spesial. Seolah lo punya perasaan yang sama. Nyatanya ga."

"Saya menyesal. Kalau saya tau akhirnya akan menjadi seperti ini, saya tidak akan membuka pintu saat kamu datang. Tidak akan memeluk kamu, hanya untuk mendukung kamu. Dan tindakan lainnya yang membuatmu berpikir tidak rasional."

"Lo jahat!"

"Bukan saya. Kalau kamu ga salah artikan kebaikan saya, semuanya ga akan jadi seperti ini kalau kamu tidak salah paham." Nada bicaranya memang santai, tidak seperti orang yang marah, tapi berhasil menyakiti perasaan Theresa.

"Jadi mau lo apa?"

"Saya mau kamu pergi dari hadapan saya."

Air mata Theresa mengalir, "Gue gatau kenapa, tapi gue ngerasa lo bohong sama gue. Tapi, tenang aja, gue bakal pergi dari kehidupan lo. Makasih buat semuanya."

——

Theresa turun untuk menemui kedua orang tuanya setelah selesai bersiap-siap. Akhir-akhir ini kedua orang tuanya selalu berada di rumah dan menghabiskan waktunya bersama membuat Theresa senang.

"Udah membaik perasaan kamu?" tanya Rina sambil mengelus rambutnya pelan. Theresa memang sudah menceritakan semuanya kepada Rina dan Kent. Keduanya tidak banyak memberikan komentar, mengingat ini hanya masalah anak muda yang kebanyakan masih labil.

"Sudah, sedikit."

"Baguslah," Kent berujar, "ada beberapa hal yang memang perlu kamu tangisi, namun sebaliknya ada beberapa hal juga yang memang perlu kamu lupakan. Yang terpenting adalah jangan sampai kamu jadi larut dalam kesedihan. Kamu cantik. Kamu baik. Masih banyak orang di luar sana yang menyukai dan menghargai kamu dengan sempurna."

"Huh, makasih ya, pa. Aku sayang banget sama kalian." Theresa langsung memeluk kedua orang tuanya dengan erat.

"Yaudah sekarang kalau semuanya udah beres, kita jalan ya?" ajak Kent setelah sesi berpelukannya selesai. Malam ini mereka disupiri oleh seorang supir, bukan Kent yang menyetir. Mereka ingin memiliki quality time di mobil. Sekadar berbincang-bincang tentang keseharian dan perasaan Theresa mengenai segala macam hal.

Kedatangan mereka tentu saja mengundang perhatian tamu yang lainnya. Seperti biasanya, Theresa terlihat sangat cantik. Kedatangan keluarga itu menunjukkan model keluarga sempurna yang diinginkan semua keluarga.

Theresa berusaha mencari Arthur di tengah keramaian. Meskipun dia berhasil membuatnya bersedih hati, dia tetap ingin melihatnya. Di tengah keramaian seperti ini, entah kenapa dia masih bertemu Nico.

Nico menyapa Theresa, tak lupa kedua orang tuanya. Menarik tangan gadis itu pergi, "Lo pasti belum pernah ketemu mama papa gue kan?"

Theresa mengangkat kedua bahunya, "Belum kayanya. Kurang tau juga gue, biasa gue cuma ngikutin papa kenalin gue ke teman-temannya."

Nico mengajak Theresa mendatangi ayah dan ibunya. "Nah, ma, ini yang namanya Theresa."

Wanita paruh baya itu menatapnya bersemangat, "Kamu anaknya Rina kan ya?"

Theresa mengangguk sopan, "Benar. Tante kenal sama mama?"

"Ga juga. Cuma tante langganan sih di boutique mama kamu."

Theresa mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. "Mamaku ada di sana sih, dekat rak minuman, siapa tau tante mau ketemu." Wanita paruh baya itu meninggalkan mereka dan mencoba untuk mengobrol dengan Rina.

"Kamu pasti anak Kent kan?"

Theresa mengangguk membenarkan. "Nico cerita banyak hal tentang kamu, ternyata kamu jauh lebih menarik daripada cerita-cerita Nico."

Theresa tersenyum, "Terima kasih, Om."

"Saya tidak sabar melihat kamu menjadi menantu saya nanti."

"Saya belum bisa memikirkan sampai kesana sih, Om. Saya masih memikirkan tentang karir saya," Theresa meneguk segelas minuman yang diberikan Nico sebelumnya.

"Really? Kekayaan keluarga kamu itu tidak akan ada habisnya!"

"Meski begitu kita gatau kapan perusahaan ini akan selalu berhasil. Lebih baik mengantisipasi, supaya tidak kesulitan kalau perusahaan bangkrut."

Ayah Nico menatapnya takjub, "Kamu benar-benar calon menantu idaman. Kamu ga boleh sampai ketemu laki-laki lain."

Theresa mulai tidak suka dengan percakapan menantu-menantu seperti ini. Sekarang Theresa tau darimana kepercayaan diri Nico berasal. Memang buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.


Untungnya tidak lama setelah itu, ayah Nico berjalan pergi, berbaur dengan tamu yang lainnya meninggalkan mereka berdua. Theresa sedikit merasa tidak nyaman hanya berdua dengan Nico, jadi dia memutuskan untuk ke toilet. Tepat setelah keluar dari toilet, Theresa berpas-pasan dengan Arthur. Tanpa banyak bicara, Arthur pergi begitu saja meninggalkannya. Theresa berupaya untuk mengabaikannya.

Para tamu diarahkan oleh beberapa petugas berbadan kekar untuk masuk ke dalam kapal pesiar. Seluruh tamu dan mempelai akan bersama-sama menikmati semilir angin dan kemewahan dalam kapal pesiar itu. Sungguh acara pernikahan yang luar biasa menyenangkan! Di atas kapal pesiar, para tamu pergi di sudut-sudut yang berbeda. Namun pada saat kembang api diluncurkan, semua tamu mulai berdatangan dan berkumpul hanya untuk melihat kembang api.

Theresa berada di lantai kedua kapal pesiar dan berniat untuk turun saat tiba-tiba kapal itu bergoyang. Arthur yang melihat kejadian itu, langsung saja menahan pinggang Theresa agar tidak jatuh. Nico melihat hal itu. Dia memutuskan untuk melangkah pergi, dia merasa tidak ada yang bisa dia lakukan. Jadi, daripada sakit hati, lebih baik dia pergi meninggalkan kedua insan tersebut.

——

ARTHUR ✔Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora