ARTHUR | 9

11.2K 605 0
                                    

Sinar matahari membangunkan Theresa dari tidur nyenyaknya. Dia mengambil posisi duduk sambil menggosok pelan matanya. Ada aroma sedap dari luar yang menarik perhatiannya, sehingga dia memutuskan untuk meninggalkan kamar. Ternyata Arthur sedang memasak, hanya membuat pancake sih, tapi aromanya menyenangkan.

Theresa berjalan mendekat, tanpa berbasa-basi langsung mengatakan, "Ini buat gue ya?"

Tentu saja Arthur tidak mau. Dia langsung menggeleng, berusaha mengabaikan ekspresi cemberut Theresa yang entah kenapa secara tiba-tiba menjadi sedikit menggemaskan. Hanya sedikit.

"Ih pelit," protes Theresa.

Kemudian Arthur meletakkan sebuah piring berisi pancake tepat di hadapannya. Tujuannya sih hanya untuk mengundang rasa penasaran Theresa, setidaknya dia bisa mencicipi aroma pancake tersebut, meski tidak bisa memakannya.

Tanpa pikir panjang dia langsung menarik piring itu. Mengambil foto dan membagikannya di Instagram. Tidak lupa memakannya setelah itu, agar Arthur tidak mengambilnya lagi.

 Tidak lupa memakannya setelah itu, agar Arthur tidak mengambilnya lagi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

liked by nicoooo and 5000 others
theresa.ivanka breakfast.
View all 1580 comments
nicoooo OTW!
peninggibadan Terimakasih, Kak, sudah promosikan produk kami. Nah yang mau tinggi kaya dia, silahkan cek ig kami
lucyanaa makanan doang kenapa banyak yang like :(

Theresa menyuapkan potongan kecil ke dalam mulutnya tepat saat Arthur kembali. "Kamu kenapa makan makanan saya?"

"Soalnya gue ga dibuatin, jadi gue makan yang ada aja," jawab Theresa apa adanya.

"Saya agak nyesal ngijinin kamu nginap di sini."

"Kalau gue sih berterimakasih udah diijinin. Tambah ganteng deh," katanya sambil mengedipkan sebelah matanya. Arthur menatapnya datar.

Arthur merebut kembali makanannya, "Kalau mau buat sendiri sana. Bahannya masih ada."

Theresa berdecak kesal, tapi tetap melakukannya karena bagaimanapun dia cukup lapar. Sepertinya tidur menguras banyak sekali energinya. Tidak butuh waktu lama bagi Theresa untuk menyiapkan sepiring pancake untuk dirinya dan duduk kembali di hadapan Arthur.

"Arthur," panggilnya. Yang dipanggil hanya berdeham.

"Lo emang hobi ya diemin orang gitu? Atau cuma gue?"

"Kan saya bilang kemarin jangan tanya apapun."

"Itu kan kemarin, sekarang kan udah ganti hari. Lo gada bilang ga boleh."

Arthur tidak tau harus bereaksi apa. Rasanya dia ingin menelan hidup-hidup gadis yang ada di hadapannya ini.

"Kamu bawel, saya bingung gimana harus tanggapinnya. Makanya saya diamin. Saya juga bukan tipe orang yang suka bersosialisasi," jelas Arthur.

"Memangnya kenapa?"

"Kepo deh."

"Ih lo tau bahasa gaul juga? Gue kira lo kaku banget. Terus lo kenapa ngomongnya formal banget, pakai saya kamu?"

"Saya kan jarang bersosialisasi, jadi secara ga sadar waktu saya ngomong saya pakai kosakata seperti ini. Jadinya, terbiasa."

Theresa mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebenarnya, dia tidak masalah. Malah menganggap hal ini unik. Karena di jaman yang sudah modern ini, banyak hal yang berubah, tapi Arthur masih tetap menggunakan bahasa yang sangat formal.

"Terus gue mau tanya, kenapa lo ga suka makan sama orang lain? Beberapa kali gue ajak ditolak terus, baru kali ini berhasil."

"Hm soalnya berisik. Saya suka makan dalam keadaan yang tenang. Kalau makan sama orang lain selalu ada dentingan sendok dengan piringnya atau benda lain, atau suara dari mulut seseorang saat makan, semuanya terdengar menyebalkan."

"Ih tapi kan gue diam."

Arthur melemparkan tatapan tidak percayanya. "Daritadi memangnya kamu diam?"

Theresa hanya bisa tersenyum canggung dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Segera setelah dia menyelesaikan sarapannya, dia mencuci piringnya. Dia juga mencuci piring milik Arthur sehabis cowok itu makan. Hitung-hitung untuk menunjukkan rasa terima kasihnya karena Arthur sudah bermurah hati kepadanya―meskipun mungkin terpaksa.

"Kamu gamau pulang? Saya yakin jauh lebih membantu."

Theresa mencubit lengan Arthur keras. "Kalau ngomong jangan suka nyebelin deh."

Arthur mengusap lengannya yang dicubit Theresa tadi, "Saya kan cuma bertanya."

Theresa mengabaikannya dan melihat notif yang ada di ponselnya. Layar ponselnya menghitam, tulisan Mom's calling memenuhi layar ponselnya.

"Kamu di mana? Kami khawatir."

"Sebentar lagi pulang, Ma, ini baru beres sarapan."

"Okay. Kamu di mana sekarang?"

"Kemarin waktu Theresa sakit, Theresa dibantu sama pegawai, namanya Arthur. Sekarang masih di rumah dia."

"Waduh, kalau gitu buruan pulang ya? Ga baik yang belum menikah tinggal bersama."

"Okay, maaf bikin Mama dan Papa khawatir ya."

"Okay, that's fine. Kami tunggu kamu di rumah, hati-hati di jalan ya."

"Okay. Theresa matiin ya, Ma."

Panggilan pun terputus, Theresa menyimpan ponselnya di dalam tasnya. Dia merasa aura yang menyeramkan dari Arthur yang ternyata sedang menatapnya.

"Napa lo?"

"Katanya udah mau pulang," sindir Arthur.

"Antarin ya?"

Arthur menggeleng. "Sekali saya turutin permintaan kamu, bukan berarti saya akan turuti terus."

"Galak banget."

"Biarin. Pulang aja sana."

Karena terus-terusan di usir sedari kemarin, akhirnya Theresa memutuskan untuk pulang. Dia juga tidak enak terus menerus merepotkan Arthur yang kemungkinan besar akan bertambah kesal kepadanya.

Theresa mengambil tas kecilnya. "Makasih udah nampung gue."

"Sama-sama," jawab Arthur tidak sabaran.

Arthur mengantar Theresa sampai ke depan pintu rumahnya. Sebelum Arthur menutup pintunya, Theresa menahannya, "Gue pastiin kita bisa akrab."

"In your dream."

Pintu ditutup begitu saja di hadapan Theresa membuatnya terkejut. Theresa menaiki taksi, pulang ke rumahnya.

Di perjalanan pulangnya, Theresa terus mendumel. Dia masih bingung, bagaimana ada orang seperti Arthur bisa hidup di dunia yang keras ini? Lagipula manusia kan makhluk sosial, harus banyak bicara. Atau jangan-jangan dia bukan manusia, Theresa bergidik memikirkannya.

——

ARTHUR ✔Where stories live. Discover now