ARTHUR || 10

11.2K 610 13
                                    

Theresa sedang beristirahat di rumahnya, dia memutuskan untuk pulang lebih awal karena merasa kondisi kesehatannya sedang tidak baik. Dia memutuskan untuk pulang, daripada terus berada di perusahaan namun merepotkan orang lain. Meski begitu dia sesekali tetap melakukan pekerjannya, yakni melanjutkan design produk baru yang akan segera diluncurkan dalam beberapa tahun mendatang.

Di saat dia sedang sibuk, ponselnya berdering menandakan ada panggilan masuk. Theresa melihat sekilas siapa yang menghubunginya, rupanya Nico, dia memutuskan untuk mengabaikannya. Namun, selang beberapa menit kemudian, Nico kembali menghubunginya. Akhirnya, Theresa mengangkatnya karena tidak mau terus mendapat panggilan dari orang tersebut terus menerus.

"Tadi aku lihat kamu pulang lebih dulu. Kamu gapapa?"

"Sedikit kurang sehat aja."

"Perlu ke dokter?"

"No, I'm fine. Thankyou!"

"Okey. Cepet sembuh ya. Perusahaan sepi gada kamu."

"Iya. Makasih."

Theresa memutuskan panggilan tersebut secara sepihak dengan alasan dia sibuk. Entah kenapa tepat setelah panggilan tersebut berakhir, perutnya menjadi semakin sakit. Theresa pikir sakit perut ini bisa ditanganinya dengan tidur sebentar, jadi dia meletakkan laptop dan ponselnya di atas sebuah lemari kecil yang letaknya tepat di sebelah tempat tidur Theresa.

Belum setengah jam Theresa tidur, dia terbangun dengan rasa sakit yang tak tertahankan. Bahkan tanpa sadar air matanya mengalir membasahi pipinya. Dia mengambil ponselnya, berusaha menghubungi seseorang. Siapa saja. Yang penting bisa membantunya. Setelah sambungan teleponnya terhubung, Theresa langsung mengatakan bahwa dia membutuhkan bantuan. Tidak memperdulikan siapa yang sedang dihubunginya.

Di lain tempat, Arthur berusaha sebisa mungkin untuk tidak peduli. Dia yakin ada orang lain di rumah Theresa, setidaknya ada pembantu atau supir yang bisa membantunya.

Tadi, secara tidak sengaja, Theresa memang menghubungi Arthur. Belum sempat Arthur mengatakan apapun sebagai jawaban, panggilan tersebut terputus. Belum lagi ada isak tangis dari Theresa yang didengarnya dari panggilan tersebut. Hal ini membuatnya menjadi lebih khawatir, bahkan perasaan ini bisa melupakan keinginan untuk mengabaikan gadis itu.

Arthur segera mengambil jaket dan bergegas pergi. Dia baru sadar kalau dia bahkan tidak tau di mana gadis itu tinggal, jadi sekarang dia menjadi kebingungan bagaimana cara menolong gadis itu. Arthur teringat bahwa sepertinya Siska masih di ruang kerjanya, jadi Arthur memutuskan untuk naik ke lantai atas.

Arthur mengetuk pintu sebelum masuk, sebagai tanda untuk menunjukkan kesopanannya. Tepat saat Arthur masuk, Siska mengatakan, "Letakkan saja berkas yang perlu ditandatangani tersebut di atas meja Miss Theresa ya."

Arthur berdeham. "Tapi saya tidak membawa berkas satu pun untuk ditandatangani."

Siska menengadahkan kepalanya. "Oh, maaf, Arthur, saya tidak tau. Ada perlu apa kesini?"

"Jika kamu tidak keberatan, sebenarnya saya ingin menanyakan alamat."

Siska menatapnya bingung. "Alamat? Alamat siapa? Saya?"

Arthur menggeleng. "Alamat Theresa."

Siska mengangguk. "Tinggalkan kontakmu saja, nanti saya kirimkan alamatnya."

Arthur menuliskan nomornya di kertas kecil yang memang tersedia untuk Siska menuliskan hal-hal apa saja yang harus dilakukannya dan jadwal-jadwal Theresa yang bertumpuk. Setelah selesai Arthur memutuskan untuk pergi, tidak lupa mengucapkan terima kasih.

Siska mengambil ponselnya, menambahkan nomor Arthur dalam kontaknya. Lalu menuliskan alamat milik Theresa kepada Arthur. Kemudian, entah atas dasar apa, dia juga mengirimkan alamatnya. Dia berpikir siapa tau Arthur membutuhkannya, barangkali untuk tujuan tertentu. Tidak lama kemudian, dia mendapat balasan terima kasih dari Arthur. Siska memutuskan untuk membacanya saja dan meletakkan kembali ponselnya, melanjutkan pekerjaannya.

Arthur memasang helmnya.  "Merepotkan."

Arthur menuju alamat yang sudah dikirimkan oleh Siska. Sekitar 20 menit kemudian, Arthur kira dia tersesat. Untungnya di ujung jalan kecil yang dilewatinya ini, dia melihat ada sebuah pagar besar yang menjaga agar rumah megah tersebut aman. Di sepanjang jalan tersebut terdapat taman yang bisa dibilang sangat luas. Di tengah-tengah jalan juga ada sebuah air mancur. Rumah ini mengesankan.

Seorang pria bertubuh tegap menghentikan motor Arthur. "Ada apa?" Suara pria itu terdengar tegas dan menyeramkan.

"Saya teman Theresa, saya tidak terlalu yakin tapi saya rasa dia butuh bantuan. Tadi dia menghubungi saya," jelas Arthur.

Pria itu menghubungi salah satu temannya, memintanya untuk mengecek kondisi Theresa. Ternyata benar. Theresa sedang kesakitan. Akhirnya Arthur diijinkan masuk, bahkan diijinkan untuk menaiki salah satu mobil yang sebelumnya hanya bisa dilihatnya di televisi atau majalah, untuk mengantar Theresa ke rumah sakit terdekat.

Theresa dibawa ke salah satu rumah sakit yang bisa dibilang terkenal untuk kalangan orang penting. Tanpa perlu sibuk mengurus identitas, Theresa langsung diantar ke ruang VVIP dan ditangani oleh dokter terbaik di rumah sakit itu.

Arthur tidak tau kondisi Theresa jelas. Tapi, setahunya, saat dia datang, Theresa muntah dan demam tinggi. Selain itu, Arthur melihat bahwa Theresa terus memegang perut bagian bawahnya di sebelah kanan. Itulah yang Arthur jelaskan kepada dokter saat ditanyai mengenai keluhan pasien.

"Saya menduga ini radang usus buntu," tambah Arthur. Dr. Dave terlihat setuju dengan hipotesis Arthur.

Dia menekan bagian perut Theresa dan gadis itu menggeram lalu saat tekanannya dilepas, gadis itu berteriak kecil. "Siapkan CT Scan." Perawat itu segera bekerja sesuai instruksi.

Tak lama kemudian hasil CT Scan keluar. Dr. Dave menunjukkan kepada Arthur bahwa Theresa benar-benar terkena radang usus buntu, tidak lagi yang ringan, tapi akut. "Satu-satunya cara adalah dengan pengangkatan usus buntu."

"Tapi saya bukan keluarganya, bukankah harus ada persetujuan dari keluarga untuk menangani ini?"

Dr. Dave mengangguk membenarkan, "Pihak rumah sakit langsung menghubungi keluarga Miss Theresa begitu dia datang. Jadi, segala perawatan medis yang akan diterima Miss Theresa sudah diketahui."

Arthur mengangguk mengerti. Masih terpesona. Tidak menyangka gadis seperti Theresa ternyata adalah seorang yang kaya raya. Juga memiliki relasi yang sangat luas. Dia merasa tidak ada apa-apanya dan tidak pantas berteman dengan Theresa.

***

Theresa didorong ke ruang operasi dan kelihatan jelas bahwa gadis itu ketakutan dari raut wajahnya. Pasalnya, dia memang tidak suka dengan rumah sakit. Tapi sekarang dia harus berakhir di rumah sakit.

"Arthur," panggil Theresa.

"Kenapa?"

"You are not allowed to go anywhere. Stay here!" Arthur mengangguk. Setelah memastikan, Arthur tidak membohonginya, pintu ruang operasi ditutup.

Arthur berjalan pergi. Tapi kemudian langkah kakinya berhenti, dia merasa tidak bisa melangkahkan kakinya. Dia memutuskan untuk menunggu Theresa seperti permintaannya.

Operasi telah selesai, dan Theresa dimasukkan ke kamar rawat inap. "Lo bakal pergi pas gue udah tidur nanti?" Arthur menggeleng.

"Beneran?" Arthur mengangguk.

"Kalau kamu tidak tidur, saya pulang sekarang," ancam Arthur.

"Oke, oke, gue tidur. Tapi janji ya!" Arthur mengangguk lagi.

***

ARTHUR ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang