ARTHUR | 22 (2)

9.4K 532 1
                                    

Theresa yang berada dalam kondisi setengah mabuk menatap wajah Arthur dan mengatakan, "Lo suruh gue pergi dari hadapan lo, tapi lo selalu muncul di saat gue butuh bantuan. Lo nyata atau sekedar ilusi yang gue buat karena terlalu berharap sama lo sih?"

Arthur tidak menjawab. Dia meletakkan tubuh Theresa di salah satu bilik yang memang tersedia di kapal persiar itu. Tangan Theresa menyentuh pipi Arthur lembut, "Kalau gue lagi bermimpi saat ini, gue harap gue ga bangun. Supaya gue bisa terus sama lo."

Arthur sempat berpikir bahwa sepertinya gadis ini, yang sedang menyentuh pipinya, terlalu banyak meneguk alkohol, sehingga menjadi seperti ini. Segera setelah memastikan Theresa dalam posisi yang aman di atas kasur dan tidak akan jatuh, dia memutuskan untuk meninggalkan bilik itu. Tapi, tangan Theresa menahannya pergi.

"Jangan, jangan pergi. Cukup lo di kehidupan nyata ninggalin gue."

Arthur mendengar Theresa terisak, dia duduk di dekat Theresa, memandangi gadis itu lama dan merasa apa yang diperbuatnya itu sangat jahat. Gadis itu memang tidak bersalah, hanya saja posisinya yang tidak bisa mengimbangi posisi Theresa membuatnya menyerah pada perasaan. Dia merasa tidak percaya diri untuk bersanding dengan Theresa. Sekeras apapun dia berusaha, mereka tak akan pernah sama. Arthur tidak ingin gadis yang seharusnya bahagia itu menjadi tidak bahagia hanya karena menjalin hubungan dengannya. Lebih baik dia bersikap keras, agar gadis itu pergi meninggalkannya dan barangkali bertemu pria yang lebih cocok dan tentu saja setara dengan dia.

Sekarang Theresa benar-benar terlelap. Perlahan, Arthur meninggalkan ruangan itu.

"Lo benaran ga suka sama Theresa?" tanya Nico yang entah sejak kapan sudah berdiri tepat di sebelahnya saat Arthur baru saja keluar dari bilik.

Arthur tidak menjawab. Dia sendiri masih bingung, apa yang harus dilakukannya dengan perasaannya.

"Gue agak capek sih ngomong sama lo. Suka banget cuekin gue," protes Nico.

"I dont know."

"Maaf gue sebenarnya nguping pembicaraan lo di taman tadi dengan Theresa, gue jadi prihatin sama lo. Kenapa? Karena lo bahkan gatau gimana perasaan lo sendiri ke dia, tapi dengan beraninya lo bilang lo ga suka sama dia."

Semua kalimat Nico benar. Dia pun jadi prihatin dengan dirinya sendiri. Kalimat yang gegabah dan tanpa dipikirkan menghancurkan semuanya.

"Tolong jaga dia ya, kayak lo jaga tubuh lo sendiri. Dia berhaga, setidaknya untuk gue. Jangan pernah buat dia nangis lagi, Ar!" Nico menepuk pelan bahu Arthur dan berjalan pergi.

Bertepatan dengan pertemuan singkat dengan Nico tadi, acara dinyatakan selesai, Arthur memutuskan untuk pulang. Dia berpapasan dengan orang tua Theresa. JIka ditanya, apakah Kent dan Rina kesal kepada Arthur, jawabannya tentu saja iya. Karena anak mereka, Theresa, dibuat nangis oleh Arthur yang selama ini memiliki nilai baik di mata kedua orang tua Theresa. Namun mereka sudah dewasa untuk menyikapi suatu masalah dengan jauh lebih bijak.

"Kamu lihat Theresa?"

"Theresa ada di salah satu bilik tadi."

"Saya tau kalian sedang dalam masalah. Tapi bisa kamu bantu saya?

"Bantu apa ya?"

Kent mengatakan, "Saya dan istri saya sedang terburu-buru, paman Theresa masuk rumah sakit. Jadi, jika kamu tidak keberatan, tolong pastikan dia sampai di rumah dengan selamat."

"Baik, om. Nanti saya akan antar dia."

Rina menambahkan, "Di rumah tidak ada siapa-siapa. Semua pekerja diliburkan mengingat kami akan segera berlibur."

ARTHUR ✔Where stories live. Discover now