29. Goodbye

856 24 0
                                    

Ini udah tiga hari setelah mama Alvin meninggal, dan Alvin masih belum bisa meneriima kenyataan, sampai-sampai Alvin tidak mau keluar kamar untuk bertemu teman-temannya atau kerabat yang peduli dengan keadaannya. Bahkan Alvin tidak mau menemui Airin, atau menghubunginya. Alvin benr-benar menutup dirinya.

Airin menekan kakinya membiarkan ayunan yang di dudukinya, mengayun dengan pelan menimbang lamunannya. Sekarang gadis itu sedang duduk di sebuah ayunan Taman Bermain di Komplek kediamannya. Airin menatap kosong Pohon Cemara yang tumbuh menguning di depannya. Pikirannya melayang tanpa arah dan tujuan, merindukan sosok yang selalu menjadi candu dalam setiap rasa rindunya, Alvin. Airin merindukan Alvin, laki-laki yang membuatnya pernah berkelut dengan cinta dalam diam, seseorang yang membuatnya tidak pernah menyerah dan terus berjuang, seseorang yang berhasil menaikan pacu jantungnya, yang selalu membuat tersenyum meski di belakangnya, seseorang yang telah membuatnya bahagia dengan ungkapan cintanya, bahkan selalu bersama di setiap saat, seseorang yang dengan malu-malu bertindak lembut di depan bunda. Dan kini Airin hanya bisa merindukannya, karena Alvin tidak mau bertemu dengannya atau hanya sekedar menghubunginya. Laki-laki itu berubah dingin dan membuat Airin takut kehilangannya.

Ayunan itu mengayun pelan menimbang Airin, dan Airin masih bergeming. Dengan tiba-tiba seseorang menarik ayunannya dan mendorong dengan kecepatan sedang membuat ayunan yang di duduki Airin mengayun dengan tempo cepat. Airin kaget, namun gadis itu tersenyum.

" Alvin" Airin bergumam, namun tidak menoleh ke belakang. Airin takut perkiraanya salah, Airin takut yang mendorong ayunannya sekarang bukanlah orang yang ditunggunya.

" Kamu masih menunggu Alvin?" dan ternyata benar. Yang ada bersamanya sekarang bukan orang yang ditunggunya. Airin menoleh saat Johan duduk di ayunan di samping Airin. dan Airin hanya mengangguk pelan.

" Alvin tidak akan datang" ucap Johan datar, Johan memang sakit melihat Airin bersama Alvin. Tapi melihat Airin seperti ini Johan merasa lebih sakit. Awalnya Johan berpikir ini semua cara Tuhan untuk membuatnya kembali dekat dengan Airin. tapi nyatanya salah, ini cara Tuhan untuk membuat Johan sadar, bahwa Airin bukan untuknya dan tidak terlahir untuknya. Karena kenyataanya bagaimana pun Johan berlari mengerjar Airin, Airin tetap tidak berhenti berlari mengejar Alvin.

" Aku tahu" Airin tersenyum, namun Johan tau senyumnya itu sebeuah pengelabuan agar rasa khawatir Airin tidak begitu kentara. Orang lain mungkin terkelabui namun tidak dengan Johan. Johan sangat tau Airin mengkhwatirkan kekasihnya sekarang.

" Terus kamu akan menunggu, dan tidak berniat untuk menemuinya gitu?" Airin menoleh kearah Johan, mencari tau maksud dari ucapaan laku-laki itu barusan. " kamu terlalu lama berpikir" Johan bernjak dari ayunanya, menarik Airin untuk mengantarnya menemui Alvin.

***

Alvin duduk bersimpuh di depan jendela, sudah tiga hari laki-laki itu menutup dirinya. Menyesali kepergian mamanya. Mata yang dulu berbinar dan tajam, kini lemah dan terlihat sayu. Senyum yang dulu selalu terpancar dari bibirnya, kini tenggelam bersama kesedihannya. Alvin tidak berhenti menyalahkan dirinya saat Alvin tau Lusia pergi untuk merayakan kelulusannya, andai saja waktu itu Alvin pulang cepat dan melarang Lusia untuk bertemu papanya, mungkin kejadiaanya tidak akan seperti ini. Alvin tidak akan sendirian, mamanya juga tidak akan hilang.

Waktu berputar begitu cepat, saat Alvin sadari upuk barat sudah bersemburat jingga. Alvin tersenyum kecut saat menyadari bahwa hari sudah senja. Dan dirinya masih duduk di depan jendela tanpa berbuat apa-apa. Bahkan nampan yang berisi sarapan dan makan siangnya belum dia sentuh sedikitpun. Alvin terlalu kenyang dengan kenyataan pahit yang telah ia makan beberapa hari lalu.

Am I Wrong (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang